Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2018

Two Germany Girls in Tawangalun Train

Kereta Tawangalun jurusan Stasiun Rogojampi, Banyuwangi – Stasiun Malang Kota Baru mempertemukan kami dengan teman perjalanan yang tidak biasa. Seat 2-2 tersebut membuat kami bersua dengan dua orang wanita Jerman yang hendak liburan ke Batu, Malang. Dua orang perempuan yang mencurahkan 7 minggu dalam hidupnya untuk terbang bebas menjelajahi bumi Indonesia. “I think it’s long enough.” Kata saya. “Yeah, hahaha.” Kata mereka disertai sedikit tawa. Kami tak banyak bicara, selayaknya ‘orang asing’ pada umumnya. Sampai tiba di suatu menit, saya dan Adis membuka sekotak bolu gulung yang dibekali saudaranya yang baik sekali. Sebagai warga Indonesia yang dikenal ramah, rasanya tak baik merusak citra bangsa dengan tidak ikut serta menawari mereka. #ceilehhh “Do you want?” Saya menawari. “What is it?” “This is roll cake. Please, take it.” Mereka terlihat agak ragu pada awalnya. Mungkin memang belum tentu keputusan baik menerima makanan dari orang asing. “

Mr. Nanang, Penjual Cincau yang Jago 4 Bahasa

"I learn everything." Begitu kata Mr. Nanang, salah seorang penjual es cincau kelapa muda di Jl. Padjajaran Kota Bogor. Mr. Nanang bukan penjual es cincau biasa. Sudah jadi rahasia umum kalau kemampuannya berbahasa Inggris, Spanyol, Belanda dan Jerman berhasil menarik perhatian banyak orang termasuk saya. Meskipun ia ada masalah dengan pengucapan sehingga kadang perkataan bahasa asingnya agak sulit dimengerti, binar matanya tetap terpancar dan kepercayaan dirinya patut jadi juara. "I learn from books." katanya saat ditanya dari mana ia belajar semua bahasa itu. Kemampuannya berbahasa asing juga terlatih dari pengalamannya selama 14 tahun menjadi tour guide berkeliling Indonesia. Ia juga menjelaskan kekagumannya pada seorang Kahlil Ghibran dan mahakaryanya yg berjudul 'Sayap-sayap Patah'. "I am regeneration of Kahlil Ghibran, trust it!", Candanya. Selain berjualan cincau, Mr. Nanang juga menjadi guru di sebuah SMP dan SMK di

Filosofi Kopi Jogja

Bagi seorang first timer, mengomentari cita rasa kopi rasanya hal yang terlalu berani. Apalagi bicara soal filosofi rasanya, yang keluar paling cuma bau kentut. Tapi di rumah seduh Filosofi Kopi Jogja, si first timer berusaha meracik sedikit kesimpulan lewat ‘pertunjukan’ di meja sebelahnya. Sebuah keluarga rupanya sedang berkumpul bersama. Style mereka necis, tampak betul dari keluarga berada. Sang ayah bertubuh gagah. Si ibu tampak glamour bersama baju yang dilihat dari Tugu Jogja sekalipun kelihatan mahalnya. Anak-anaknya sudah pasti, tak kalah keren. Sekilas, semuanya terlihat sempurna sampai si first timer sadar bahwa ada kepincangan di sana. Percayalah, bahwa mereka tak sering saling bicara satu sama lain. Hampir semuanya sibuk dengan gawai masing-masing. Paling lepas hanya sebentar untuk menyeruput kopi dan makan camilan. Dari apa yang dilihatnya, si first timer mengerti satu hal. Bahwa sejatinya filosofi dari kopi bukan cuma terletak dari kepiawaian lida