Langsung ke konten utama

Ekspedisi Perbatasan Indonesia-Singapura : 3T (Terindah dan Tak Terlupakan) Part I


 
Dan Tuhan melatih kita dengan kekecewaan, dengan sesak, dengan isak. Agar kita mengerti, dan siap, untuk sesuatu yang lebih besar lagi.

Perkenalan

Pada bulan maret 2019, ada hadiah awal tahun yang takkan pernah menjadi basi dan terlambat untuk diceritakan. Alhamdulillah, Saya menjadi salah satu Volunteer Fully Funded terpilih Nays Social Project bersama 11 orang lainnya untuk pergi ke Pulau Mapur, Bintan, Kepulauan Riau selama 8 hari dalam rangka pemberdayaan masyarakat di daerah perbatasan. Dengar-dengar, yang mendaftar untuk program ini mencapai 1000 orang lebih. Cukup speechless ketika nama saya tertulis menjadi salah satu volunteer terpilih. Girang bukan main. Proses seleksi selesai dilakukan sebulan sebelum keberangkatan. Ada 4 divisi yang akan melaksanakan pemberdayaan di sana yaitu divisi kesehatan, divisi ekonomi, divisi pendidikan dan divisi lingkungan. Saya? Masuk divisi lingkungan bersama dua orang lainnya.



Tanggal 15 Maret 2019 menjadi tanggal keberangkatan kami. Sebelum berangkat, kami harus menyusun program terlebih dahulu dan mempersiapkan segala sesuatunya. Cukup intens berkomunikasi lewat grup whatsapp selama satu bulan. Setiap divisi mengajukan program sesuai dengan kondisi di lapangan. Kami semua dibekali gambaran mengenai kondisi pulau Mapur oleh para panitia.

Sampai akhirnya, hari yang dinanti-nanti tiba. Kami dijadwalkan bertemu di Bandara Soekarno Hatta Pukul 14.00 WIB. Bawaan saya adalah satu buah carrier berukuran 65L, dua kardus donasi dan satu buah ember komposter. Untung saja jalur transportasi menuju  bandara yang saya lalui tidak begitu rumit sehingga memudahkan perpindahan barang bawaan. Sebetulnya, saya sempat deg-degan untuk sampai ke hari ini karena saya tau ini bukan misi ala-ala, tapi ada amanah dari orang lain berupa donasi dan kepercayaan yang harus kami pertanggungjawabkan. Bismillah, kami bertatap muka untuk pertama kalinya di Bandara Soekarno Hatta.


Bawaanque (source : dokumentasi pribadi)
Pukul 14.00 WIB kami mulai bersua satu per satu dan berkenalan. Yang pertama kali datang adalah Ardi asal Bandung, anak Geofisika yang datang terlalu pagi. Dengar-dengar angkutan umum yang ditumpanginya hanya ada di jam-jam tertentu. Pukul 7 sudah sampai, terbayang berapa episode drama korea yang bisa dia tonton di bandara sampai pukul dua siang. Ah, sayangnya dia mungkin nggak suka Korea.

Ardi (source : @nayssocialprojects)
Yang datang kedua adalah Imam, sama-sama dari Bandung. Seorang mahasiswa Public Relation semester akhir yang seharusnya bawa segudang sunblock untuk mengikuti ekspedisi ini. Pukul 10 dia sudah datang di Bandara. Paling Cuma bisa nonton 3 episode drama korea sampai pukul dua, eh tapi belum tentu juga dia suka korea. Cuma bawa satu tas ransel sedang dan satu jinjingan. Memang laki-laki, apa yang dibawa oleh mereka simple sekali.

Imam (source : @nayssocialprojects)
Selanjutnya adalah Bagas yang kemudian kami panggil Pak Ustadz karena terobosan program Bintan Mengaji-nya, asal Bekasi dia bilang. Seorang Mahasiswa Psikologi Universitas Borobudur. Pernah ikut Ekspedisi Nusantara Jaya dan jadi ketua umum berbagai organisasi. Gilak, padahal masih muda! Mungkin 10 tahun ke depan, wajahnya akan terpampang di dalam kertas di seluruh kotak TPS se-Indonesia. Jadi caleg, hehehe.

Bagas (source : @nayssocialprojects)
Selanjutnya saya kenalan dengan Yufarey alias Dinda. Perempuan manis asal arek-arek Suroboyo. Meddok kali pengucapannya. Dia masih kuliah di Institut Teknologi Surabaya jurusan Desain Komunikasi Visual alias DKV semester akhir sama seperti Imam. Kutebak saja kalo mereka sekalian melarikan diri dari beban skripsi yang pengerjaannya bikin haha hihi sendiri. Dinda ini sedang ngerjain project design batik untuk skripsinya. Keren deh!


Dinda (source : @nayssocialprojects)
Tak lama, saya kenalan dengan seorang homo sapiens lainnya bernama Septian Johanka. Dari wajahnya saja kami semua sudah tahu kalau dia keturunan etnis Tionghoa. Kakeknya asli Tionghoa, tapi dia lahir dan besar di Karawang. Tapi katanya, nggak cocok kalau bisnis beras. Pertama kali lihat langsung tau kalo dia bukan Cina ala-ala. Paling sering memberikan tanggapan di grup baik soal program atau donasi. Bahkan ia berinisiatif untuk menggalang donasi program lewat kitabisa.com dan berhasil merayu Chelsea Islan untuk mengkampanyekan donasi. Gilak kan?! Manusia kreatif yang satu ini selanjutnya kami sering panggil Kak Jo atau Kokoh. Sesampainya di bandara, Kak Jo langsung minta pertolongan lewat grup whatsapp untuk bawain barang-barang di depan pintu masuk. Pas disamperin oleh saya dan Imam, semua sudah aman terkendali dia naikkan ke keranjang. Yang dorong dia juga sampai di titik perkumpulan. (lalu apa gunanya saya dan Imam? Hahaha) kami semangati saja baiknya di posisi belakang sambil koreografi tarian kucek jemur ala acara musik dahsyat.

Kak Jo (source : @nayssocialprojects)
Kemudian ada Ghozi datang, salah satu panitia Nays Social Project yang akan menkoordinir kami hingga sampai ke Pulau Mapur. Ghozi adalah salah satu Mahasiswa Ilmu Komputer Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Pembawannya kalem, padahal kalau di chat pribadi aktif sekali. Rajin senyum karena saya yakin dia mengerti betul kalau itu ibadah. Satu yang nggak disangka adalah panitia yang satu ini usianya lebih muda dari saya. Malu rasanya. Dulu seusianya. Belum pernah aku bikin project sebesar ini. Gambaran seorang Ghozi akan terdengar cukup manis. Bagiku, wajahnya cukup mirip dengan detektif tintin tapi versi kulit sawo matang dan rambut hitam. Dan ada janggutnya. Laki-laki kelahiran 1997 ini tampak relijius dan berwibawa. Sikapnya tampak lebih dewasa dari para pemuda seusianya.

Ghozi (source : dokumentasi Nays)
Oke, lanjut ke cerita perkenalan selanjutnya dengan seorang manusia dari Aceh bernama Aldi Febryan. Tubuhnya tinggi besar dan sedikit brewokan. Rambutnya ikal dan logatnya khas sekali. Aku tak sempat tanya berangkat dari mana dia karena sebelumnya kutahu orang ini bisa jadi ada di beda kota dalam beberapa hari saja. Usut punya usut ia adalah Mahasiswa lulusan jurusan ekonomi di salah satu kampus di Aceh. Lewat pembawaannya, langsung tergambar kalau Bang Aldi punya jiwa kepemimpinan yang kuat. Dan juga, jenaka! Yang sampai saat ini belum kuketahui adalah berapa jumlah tas yang dibawa oleh Bang Aldi.

Aldi (source : @nayssocialprojects)
Kami semua berkumpul, berkenalan dan berbasa basi secukupnya. Senyuman-senyuman hangat khas orang-orang baru yang baik membuat suasana perlahan menjadi nyaman. Sudah lewat jam makan siang waktu itu, sekitar pukul 3. Kami memutuskan untuk makan di KFC bandara sambil menunggu kedatangan yang lainnya dan menunggu keberangkatan yang menurut jadwal adalah pukul 17.30 WIB. Sampai di depan KFC, saya mengenal satu wajah homo sapiens lainnya karena kepoin semua wajah peserta Nays di sosial media jauh hari sebelumnya.

“Hei, Fadli nays kan ya?”

Dia yang sudah pesan makanan dan baru saja mau melahap makanannya tertahan dan tertegun oleh sapaan saya. Mungkin dalam benaknya berpikir, “Ini siapa ya sok kenal banget.”

“Iya.” Jawabnya sambil mengangguk

Seketika, Fadli nggak jadi makan. Sibuk bersalaman dan masih tertegun memperhatikan kami semua. Kami duduk bersama dengan meja bersebelahan. Ngobrol cukup lama dan kami bagi tugas untuk memesan. Saat itu Fadli belum juga makan. Nasinya masih terbungkus rapi, ayamnya bertengger percaya diri. Seketika salah seorang anggota berkata, “Fadli, makan aja duluan.” Barulah dia mulai makan, hahaha Fadli..Fadli...

Fadli adalah seorang Mahasiswa Institut Teknologi Surabaya(ITS) jurusan ekonomi. Masih kuliah dan ia juga jadi salah satu yang termuda di antara kami. Asalnya dari Bandung. Rambut Fadli Gndrong seperti gaya rambut mahakeren ala mahasiswa. Ia masuk divisi ekonomi bersama Bang Aldi. Fotonya paling unik di sosial media Nays. Sudah kuduga bahwa manusia yang satu ini pembawaannya eksentrik namun tetap asyik.

Fadli (source : @nayssocialprojects)
Singkat cerita, kami kedatangan anggota lain berjenis kelamin wanita, menghampiri kami ketika sedang makan di KFC. Usut punya usut, inilah yang namanya Kak Ratna, anggota divisi kesehatan yang ternyata selalu minta dibahagiakan. Pembawaannya tenang dan keibuan. Kak Ratna asli Sulawesi namun tengah menetap di Jogja. Bidan dengan track record yang tak perlu diragukan lagi. Pernah dua tahun mengabdi di daerah pedalaman dalam program Nusantara Sehat milik Kementerian Kesehatan. Hmm dua tahun mengabdi di pedalaman adalah pengalaman yang sangat keren, tapi semua itu terbantahkan ketika akhirnya kami tau Kak Ratna jadi nggak tau siapa Tayo dan Avatar the Legend of Aang. Ini sungguh tidak bisa ditolelir hahaha (peace!!!)

Kak Ratna (source : @nayssocialprojects)
Ada dua lagi anggota lainnya. Ainun dan Safit.

Ainun, anak medan yang sekolah SMA di Jerman selama dua tahun lamanya. Baru lulus kabarnya dia, jadi salah satu yang termuda di antara kami semua selain Fadli. Selama itu pula dia sering makan kebab karena terbatasnya makanan halal. Tapi setelah diselidiki, ada maksud lain dari orang tuanya mengirim Ainun sekolah di Jerman. Selain untuk belajar, melatih mental dan mencari pengalaman, ternyata Ainun juga dikirim untuk bekerja di pabrik cokelat. Bayangkan, buruh di sana digaji 25 juta per bulan. Akupun kalau jadi mamaknya pasti punya alasan terselubung macam ini. Hahaha bercanda yaa bercanda lhooo. Mamak bapaknya nggak ada niat itu kok. Akunya aja yang suudzon. Ainun anak yang ceria dan pintar! Karena lokasi Ainun di Batam, jadinya kami janjian di Kijang saja.

Ainun (source : @nayssocialprojects)
Satu lagi adalah Safitri Mukhlisa. Mahasiswa kedokteran yang tak lama lagi setelah kegiatan Nayas, akan wisuda. Safitri berdomisili di Palembang dan akan menyusul di tengah waktu kegiatan karena ada kegiatan kampus yang tidak bisa ditinggalkan. Safit cukup aktif di grup whatsapp sebagai salah satu anggota divisi kesehatan. Kata Kak Jo, wanita yang satu ini lumayan sengklek jadi jangan heran nanti kalau ketemu. Dan benar, dokter yang satu ini cukup mengherankan. Nantilah ya saya ceritakan keanehannya hahaha. Maaf ya Safit.


Safit (source : @nayssocialprojects)

Safitri (source : dokumentasi Nays)
Ohya semua peserta sudah diperkenalkan. Ada dua pemuda hebat lainnya selain Ghozi yang ada di balik nama National Youth Inspiration (Nays) yang sudah membuka kesempatan bagi kami untuk bisa ikut kegiatan ini. Mereka adalah...Agiiiiil, Euiiiis dan Araaaaa yeayyyy!!!

Eh bentar, bukan bukan bukan!!!

Yang benar adalah Drajat dan Linda. Para pemuda keren lain di balik Nays Social Project yang tak lain dan tak bukan adalah otak di balik ide cemerlang dan mulia ini. Mereka, para mahasiswa semester tua yang buat saya punya ide sangat istimewa membentuk Nays. Tentu masih ada anggota Nays lain yang belum saya sebutkan. Yang kuyakin, tak kalah hebatnya namun tak bisa ikut serta karena ada keperluan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Kalau kuflashbak ke masa lalu, seumuran mereka, aku belum kepikiran bikin project sebegininya. Proud of you guys!!!

Drajat, sebelah kiri. (source : Dokumentasi Nays)
Linda (source : Dokumentasi Nays)
Pada saat keberangkatan, hanya Gozi yang menemani kami. Drajat dan Linda sudah di lokasi seminggu lebih cepat. Tak heran, mereka sudah hitam duluan.

Saatnya terbang!

Bersama kita bisa. hore! (dokumentasi volunteer)
Kami dijadwalkan berangkat pukul 17.30 WIB dari Bandara Soekarno Hatta. Namun sejak ashar, cuaca cukup buruk. Hujan besar, awan hitam dan petir menggelar teater di langit Jakarta sore itu. Saya sedikit cemas. Tak heran kalau kemudian ada kabar bahwa pesawat kami delay. Hampir 2 jam. Nggak apa-apa. Sungguh nggak apa-apa. Kami cuma laper aja.

Sekitar pukul setengah tujuh, akhirnya pesawat kami melayang di langit malam. Udara masih basah, kaca jendela ditumpangi ribuan tetes hujan entah dari langit sebelah mana. Bagai kami semua, tetes-tetes hujan yang berkesempatan jatuh bersama di tempat yang sama untuk sementara. Sebelum kembali menguap, kembali ke asal dan jatuh terpisah di tempat yang berbeda.

Bandara Soekarno Hatta (source : dokumentasi pribadi)
Bicara soal orang-orang baru. Entah perasaan saya saja saat itu, tapi saya punya perasaan yang nyaman begitu saja berada di tengah-tengah mereka semua. Padahal, kami baru pertama kali bertemu saat itu. Ada perasaan yang baik dan positif. Mereka adalah orang-orang muda dengan segudang ide dan ilmu di kepala.

Mereka membawa obor impian kemana-mana. Jika api yang satu padam, yang lain mampu menerangi, menyanggupi, tanpa harus merasa rugi.

Tak perlu lelah bersandiwara, saya merasa tenang, dan ... apa adanya.

Cinta satu malam, oh indahnya, cinta satu malam, buatku melayang

saatnya istirahat (source : Dokumentasi Kak Jo)
Pasti kamu berpikir, belum apa-apa sudah ada yang cinlok. Cinlok bandung, dikukus dadakan, limaratusan. Tapi bukan di antara kami yang cinlok (tapi mungkin juga iya). Melainkan cinta lokasi di sebuah penginapan bernama (siap tiup terompeetttt) ini diaaaaa .... Penginapan Nusantara .... yeayyy!!!

Siapa yang cinta lokasi di penginapan nusantara?

Sebentar, ini mau diceritakan.

Singkat cerita kami sampai di Bandara Raja Haji Fisabilillah Kepulauan Riau pada pukul 21.00 WIB dan langsung dijemput mobil sewaan ke lokasi penginapan. Dari bandara, kami harus menempuh satu jam perjalanan menuju penginapan di daerah Kijang. Tak jauh dari pelabuhan tempat kami akan menyeberang ke Pulau Mapur.

Jalanan sudah sepi ketika kami sampai. Sebuah penginapan mungil bernuansa putih biru dari luar. Plang besi berukuran setengah kali setengah meter bertengger di luar dengan cahaya yang tidak terlalu terang. Satu yang saya pikirkan, saya teringat wartel (warung telekomunikasi) zaman dulu. Nuansa dari luar tak jauh berbeda. Waktu kecil, saya cukup sering datang ke wartel untuk menelpon Ayah untuk sekedar mengobrol sebentar atau meminta uang kiriman. Jadi hapal betul suasananya. Tertulis “Penginapan Nusantara” beserta alamat lengkapnya. Kami menurunkan barang dan memutuskan beristirahat setelah mencari makan.

Penginapan Nusantara sangat sederhana. Terdiri dari puluhan kamar yang berjajar dan berhadapan satu dengan yang lainnya. Terbagi ke dalam dua lorong. Kamar mandi memang di dalam. Satu kipas angin kecil tersedia dan rela dikerjai semalaman demi mengusir udara panas. Saya sudah pasti satu kamar dengan Kak Ratna dan Dinda. Para lelaki menghuni kamar di sudut lain. Yang disayangkan adalah penginapan ini bergaya ekstrovert (hahaha) alias terbuka. Khususnya bagian atap. Jadi, kalau kita heboh mengigau di malam hari, kamar lain di sekitar kita akan mendengarnya dengan cukup jelas. Namun kami sudah cukup lelah, tak ada tenaga lebih untuk memikirkan banyak hal. Jam 12 kami selesai bersih-bersih dan bersiap untuk tidur. Perjalanan cukup panjang dan melelahkan. Saatnya istirahat.

Namun, cerita cinta satu malam baru digelar ...

Pukul 01. 00 WIB. Kami para perempuan sudah tertidur. Tapi saya dan Kak Ratna setengah terbangun setelah mendengar sekelompok orang berjalan di lorong. Ada laki-laki dan perempuan tertawa-tawa cukup keras. Tidak jelas mereka bicara apa. Saya perkirakan sekitar empat orang. Hanya itu saja saya dan Kak Ratna dengar. Karena terlalu lelah, saya tidak terlalu menghiraukan dan kembali tidur. Tapi ternyata para lelaki terlibat dalam kisah yang lebih jauh lagi.

Keesokan harinya, kami semua mendadak jadi grup Lambe Turah ...

Saya tidak ingat dialog jelasnya seperti apa, tapi intisari dari kisah semalam sangat nyata rasanya setelah habis kami dimakan tawa mendengar kisah para anak lelaki.

“Si Ardi itu ya, kok polos kali. Malam-malam bangunkan aku katanya mendengar ada yang sesak nafas di kamar sebelah. Kasian kasian bang.”Ucap Aldi dengan logat Aceh khasnya disusul tawa kami semua

“Iya-iya aku tauuu sudah diam.”Tambahnya, tawa kami kembali meledak

Tak cuma itu saja kejadiannya. Berselang, ada seorang lelaki bertelanjang dada mengetuk kamar mereka. Ardi yang membukakan pintu. Rupanya lelaki itu salah kamar. Entah apa yang dilakukan seorang lelaki bertelanjang dada di luar kamar menginap. Mungkin, nggak betah di kamar yang satu pindah ke kamar lain. Hmm mungkin ya.

Daannnn ...

Tragedi sesak nafas menjadi bahan candaan kami hampir setiap hari. Tak ada ada hari tanpa pembahasan Penginapan Nusantara. Kalau melihat rekam jejak di dunia maya, hotel ini memang tidak mempunyai rekam jejak yang bersih. Dan oleh karenanya, tak heran banyak aktivitas “aneh” yang akan kami temui di sini. Termasuk, mendengar perempuan “sesak nafas” di malam hari beserta suara kasur yang berdenyit tak karuan. Tapi sebagai catatan, saya pribadi tidak menyalahkan panitia soal ini. Jika bisa menginap di tempat yang lebih baik tentu akan lebih nyaman dan menyenangkan. Mungkin alasan hotel ini jatuh menjadi pilihan disesuaikan oleh jarak yang cocok karena dekat dengan pelabuhan. Tapi di luar semua itu, tak akan ada cerita tragedi sesak nafas kalau kami tidak menginap di sini. Yang ternyata, membuka pintu tawa kami di hari-hari berikutnya. Menjadi pengalaman pembuka yang jenaka.

Udara pagi di depan Penginapan Nusantara (source : dokumentasi pribadi)
Menuju Pasar Kijang

Pagi hari setelah sarapan, kami harus bersiap menuju Pelabuhan Kijang. Meninggalkan Penginapan Nusantara, terima kasih telah membekali kami tawa yang manis di tengah situasi tragis. Love you! I will never forget that place.

Sebelum ke pelabuhan, kami harus membeli barang-barang yang diperlukan untuk program di Pasar Kijang. Saat itu sekitar pukul 10.00 WIB tapi udara Kijang sudah panas sekali. Kami naik mobil pick up ke Pasar Kijang. Panas bukan kepalang, tak kalah juga dengan keseruannya. Bagiku sangat asyik menikmati hal-hal sederhana bersama orang-orang baik. Kami berlomba-lomba menutup wajah dengan jaket, sarung, banner, atau barang lain yang sekiranya berguna. Di antara kami semua, ada manusia bernama Septian Johanka alias Kak Jo alias Kokoh Jo bersama seorang manusia lainnya bernama Aldy Febrian yang tenang-tenang saja bermandi terik matahari. Meski sama-sama tenang di situasi yang sama, namun bisa kutebak kalau alasan mereka jauh berbeda. Koko Jo sudah terlanjur ditakdirkan putih, Bang Aldi sudah terlanjur bernasib hitam. Mau diapakan lagi? Hahaha damai ya mas broooo ...

Mau kemana kita? (source : Dokumentasi Aldi)
Sarung keramat (source : Dokumentasi Nays)
lalala moment (source : dokumentasi pribadi)
Makan Siang dan Telepon Jenaka

Pelabuhan Kijang (source : dokumentasi pribadi)
Setelah berbelanja, kami sampai di Pelabuhan Kijang. Bersiap untuk menyebrang ke Pulau Mapur. Tempat kami mengabdikan diri seminggu lamanya. Di situlah kami pertama kali bertemu seorang wanita muda bernama Ainun Azizah. Ainun adalah anggota divisi lingkungan. Bersamaan denganku. Sudah cukup intens berbincang di whatsapp sehingga tak begitu kikuk ketika bertemu. Ia diantar kedua orang tuanya dari Batam karena membawa cukup banyak barang untuk program hidroponik. Tak hanya orang tuanya. Ada dua orang lelaki dewasa bersama Ainun. Salah satu dari lelaki itu seperti seumuran dengan Ayah Ainun, satu lagi, mungkin anaknya karena terlihat jauh lebih muda. Wajah mereka mirip sekali. Dua lelaki tinggi besar berkulit gelap itu juga kami salami.

Lelaki muda bersama Ainun itu ternyata bernama Samsudin Siregar, yang juga akan ikut bersama kami melaksanakan pengabdian dengan jalur self funded.  kehadiran seorang manusia berperawakan tinggi, chubby dan berkulit hitam bernama Samsudin Siregar, ternyata menjadi salah satu nyawa dalam tawa kita semua. Hahaha!


Bang Udin (source : @nayssocialprojects)
Kapal menunggu cukup lama. Belum ada tanda-tanda kapal akan segera berangkat. Karena perut mulai menggelar konser, kamipun makan terlebih dahulu di salah satu kedai tak jauh dari pelabuhan.
Dalam satu meja menu beragam tersedia saat itu. Ada soto, siomay dan satu yang cukup menarik perhatian adalah makanan khas Bintan bernama Mie Lendir. Bentuk Mie Lendir pada umumnya hampir sama dengan mie ayam. Tebal dan lurus. Namun bumbu merahnya sungguh menggoda. Ditambah setengah buah telur rebus di atasnya. Kata Koko Jo, ia langsung bisa mencium aroma laut lewat mie lendir ini.

Mie Lendir khas Bintan (source : dokumentasi pribadi)
Ketika sedang asyik makan, handphone saya berdering. Tertulis di panggilan tersebut “Bu RT Pulau Mapur”. Sebelum kedatangan ke Mapur, saya memang beberapa kali sudah berhubungan dengan Bu RT untuk meminta beberapa pertolongan terkait persiapan program. Tak heran Bu RT menelpon saya ketika itu.  Tak pikir lama, langsung saya angkat.

“Dek sudah dimana kalian sekarang? Kok belum datang juga ke mapur?”

“Oh iya bu. Ini kami lagi makan di Kijang sambil nunggu kapal, sebentar lagi selesai.”

“Jangan sore-sore lah kalian. Semakin sore ombak semakin besar.”

“Oh iya bu ini sudah mau beres makannya. Tunggu ya bu.”

“Iya iya.”

Cukup senang rasanya dihubungi oleh bu RT dan merasa kedatangan kami telah ditunggu-tunggu. Tak lama kami bergegas menuju pelabuhan kembali. Sambil menunggu kapal berangkat, kami merapikan barang. Kemudian, telepon saya berdering lagi. Tertulis nama “Bu RT Pulau Mapur” (lagi) di handphone saya.

“Dek udah dimanakah sekarang?”

“Sudah di pelabuhan bu, sudah selesai makannya, ini mau berangkat”

“Iya jangan lama-lama, ombak keburu tinggi nantinya.”

“Iya bu iya tak lama lagi kita berangkat.”

Akhirnya kapal kami siap berangkat dan mulai menyalakan mesin. Satu persatu peserta menaiki kapal atau biasa disebut pompong. Let’s start everything!!!

Perjalanan dimulai (source : dokumentasi Nays)
Mogok!

Lalu lalang pulau-pulau kecil
Pohon-pohon cemara pesisir melambai-lambai di tepian
Angin berisik
Tawa kami lebih berisik lagi
Langit biru terpantul sejajar denganku
Bersikeras hilangkan resah, nikmati saja sudah
Berderu air laut dipecah setapak rindu para petualang baru
Terima kasih semesta,
Kau pandai mengibur segala lara
Hidup jadi berkali-kali lebih indah kala itu rasanya

Pemandangan di perjalanan (source : dokumentasi pribadi)
Pemandangan di perjalanan (source : dokumentasi pribadi)

Berhenti adalah hal yang paling ditakuti para pejalan. Berhenti sama dengan mati. Para pejalan hidup dari bergerak. Meditasi mereka bukan diam. Meditasi mereka adalah mengayunkan langkah melihat dunia. –Windy Ariestanty

Tapi kenyataannya, semesta membuat kami berhenti sementara di perjalanan. Pompong kami mogok! Mesin pompong yang berisik tiba-tiba jadi pendiam, kami semua mengambang di tengah birunya lautan Bintan.

Motor dan mobil mogok tentu sudah biasa. Pompong/kapal mogok? Bagi saya ini pengalaman pertama. Hari-hari baru, keberanian-keberanian baru selalu saja melahirkan pengalaman yang juga baru.

“Hei tau nggak bu RT sampai nelpon 2x lho nanyain kita dimana. Katanya kalau kesorean ombak makin besar. Tadi pas makan telpon, pas di dermaga pun telpon.”Kata saya ke teman-teman di sebelah saya.

Seingat saya, suara saya cukup keras saat itu membicarakan Bu RT. Saya juga menceritakan pengalaman jenaka telponan bersama Bu RT sebelum keberangkatan ke Bintan. Bagaimana dia harus pergi ke Dermaga terlebih dahulu untuk mencari sinyal.

Hampir satu jam kami terombang ambing di tengah laut. Tentu kami tak cuma diam begitu saja selama menunggu pompong bantuan. Ada banyak hal bermanfaat yang kami lakukan. Misalnya saja, makan dan tertawa-tawa. Hahaha!

Ya tentu bermanfaat dong? Makan bermanfaat untuk bertahan hidup, dan tertawa bermanfaat untuk membuat manusia hidup lebih lama. Kira-kira begitu. Iyain aja.

Berhenti tak selalu semenakutkan kata Windy Ariestanty. Berhenti terkadang dirasa perlu untuk menikmati sesuatu yang sering kita anggap angin lalu. Padahal Tuhan menaruh harga pada setiap hal. Hanya saja, jiwa manusia kadang tak selalu mampu membelinya.

Kami menemukan keseruan baru di sana. Melihat lumba-lumba. Pertama satu, selanjutnya sekelompok. Laut yang tenang tanpa suara pompong membuat mereka percaya diri meliuk-liuk bersama gelombang laut. Kami kegirangan sambil berteriak-teriak manja. Alam lagi-lagi pandai menambah kebahagiaan.

“Lumba-lumba sinii dong siniii”. Kata kami bergantian.

Mungkin cuma sebagian orang dari kami yang berpikir logis dengan tidak meneriakan kata-kata itu.

Tak lama pompong bantuan datang. Menggiring kapal kami ke pulau terdekat untuk diperbaiki. 15 menit kemudian, kami menepi di pulau kecil bernama Pulau Air Kelubi.

Dermaga Desa Air Kelubi (source : dokumentasi pribadi)
Sambil menunggu kapal diperbaiki, saya, Kak Jo, Ainun, Dinda dan Imam memutuskan untuk berkeliling pulau. Yang lain memilih beristirahat di dermaga. Cuaca terik sekali siang itu.

ngadem dulu (source : dokumentasi pribadi)
Tak begitu banyak penduduk di pulau ini. Rumah-rumah tampak tidak rapat. Cukup jauh satu sama lain. Di sana terlihat beberapa kebun sayur dan apotek hidup. Tumbuhan di sana terlihat cukup terawat. Pohon buah tropis seperti jambu air dan mangga  berbuah lebat. Tak lama kami bertemu dengan salah seorang nenek yang tengah panen tomat di halaman rumahnya. Nenek Rum namanya, sudah renta. Memakai topi petani, ia meneduhkan pandangannya sendiri.

Nenek Rum (source : dokumentasi pribadi)
“Ini kebun punya nenek?”Tanya saya

“Iya nenek tanam ini sendiri”

Disambutnya kehadiran kami dengan senyuman. Tampak satu kantong plastik bening berisi tomat cherry tengah dikumpulkannya. Kata Nenek Rum, ia bertanam untuk dikonsumsi sendiri. Tapi jika ada orang lain ingin membeli hasil pertanian di kebunnya, ia persilahkan.

Kebun Nenenk Rum tidak begitu luas. Ia hanya memaksimalkan lahan pekarangan rumahnya saja. Di sana ada tomat, cabai, terong, caisim, seledri sampai talas. Tak disangka saya akan bertemu talas (lagi) di salah satu pulau terluar Indonesia. Nenek Rum menanam talas di polybag. Dijajarkannya talas-talas itu dengan rapi. Keterbatasan membuat manusia lebih menghargai segala yang dipunyai.

Nenek Rum tinggal sendirian. Anak-anaknya sudah besar. Sudah punya hidupnya sendiri-sendiri. Kata Nenek Rum, saat menginjak usia remaja, para pemuda di pulau ini banyak pergi ke Bintan untuk meneruskan sekolah. Bahkan ada yang sampai ke luar kota untuk meneruskan kuliah. Kalau sudah begitu, kecil kemungkinan mereka akan kembali tinggal di pulau ini. Mereka akan bekerja di kota dan membangun kehidupan sendiri di sana.

Semakin banyak mengenal dunia, para pemuda jadi semakin punya banyak pilihan.

Nenek rum mengajak kami duduk-duduk mengobrol di teras rumahnya. Cukup banyak hal yang ia ceritakan. Para orang tua memang terkadang hanya butuh teman bicara, butuh didengarkan, bahkan untuk hal-hal sepele seperti kenapa para ayam bertelur lebih cepat dari biasanya atau, mengapa para anak muda sudah makan mie instan pagi-pagi sekali berulang kali di televisi.

Bersama Nenek Rum (source : dokumentasi pribadi)
Nenek rum juga memperkenalkan kami pada buah khas lokal. Namanya buah rukam mirip buah cherry-cherry-an menurutku. Merah dan berukuran sama. Kata nenek rum, buah ini manis kalau warnanya sudah merah keunguan. Eits, tapi jangan langsung dimakan. Sebaiknya buah ini ditekan memutar terlebih dahulu oleh kedua telapak tangan. Dan ternyata, kalau langsung dimakan rasanya masih sepat. Kalau sudah ditekan-tekan rasanya berubah jadi manis. Ajaib!

Buah Rukam (source : dokumentasi pribadi)
Sehabis shalat Dzuhur, kami melanjutkan perjalanan menuju Pulau Mapur karena pompong sudah selesai diperbaiki. Bismillah, siap melaju ke ujung batas Indonesia Biru.

Melanjutkan Perjalanan

Kami kembali mengarungi Selat Singapura menuju Pulau Mapur. Hampir sore saat itu. Gelombang laut memang mulai terasa cukup besar. Hal itu terlihat dari semburan air yang kami lawan, menyemprot ke samping bagian kapal. Baju jadi sedikit basah untuk teman-teman yang duduk di pinggir pompong. Tiba-tiba Ghozi mengatakan sesuatu.

“Kalian tau nggak sebetulnya dari tadi itu ada sama kita di pompong. Berangkat barengan dari pelabuhan Kijang?”

Aku cukup kaget mendengarnya. Karena tak lama baru membicarakan Bu RT. Meskipun tidak bicara macam-macam ya tetap saja. Malu juga kalau pembicaraanku didengarnya.


“Dia duduknya di sana, di atas. Di sebelah pengemudi pompong.”

Saya pun langsung melirik ke arah yang dimaksud Ghozi. Mencoba mengamati siapa saja yang ada di sana. Cukup gelap ruang pengemudi. Tak terlihat jelas wajah-wajah di dalamnya. Ah sudahlah saya sadar kalau saya kena prank Bu RT. Mau ditaruh dimana wajah saya kalau ketemu dengannya. (ya nggak ditaruh dimana-mana). Akhirnya saya bawa santai saja. Ghozi pun sebetulnya belum pernah bertemu dengan Bu RT. Entah tahu darimana dia kalau Bu RT satu pompong dengan kita semua.

Ruang misterius (source : dokumentasi pribadi)
Harusnya saya menyadari ini karena tak jauh di bawah kaki kami, ada belanjaan sayuran yang cukup banyak. Setahu saya, tak ada di antara kami yang membawa sayuran seperti itu. Sedangkan pompong kecil itu hanya disewa untuk kami semua. Akhirnya kami tahu kalau itu belanjaannya Bu RT Pulau Mapur. Yasudah, malu ya malu saja hehehe

Perjalanan tak setenang sebelumnya. Gelombang laut cukup besar. Kami temukan sebagian permukaan laut berbuih tak biasa di lautan Bintan saat itu. Kata Bang Aldi, buih seperti itu tercipta karena bertemunya dua arus laut yang berlawanan. Inilah yang menyebabkan gelombang jadi besar.

“Kalo lagi ada buih macam tu warna putih-putih itu di tengah laut artinya dua gelombang laut saling bertemu, saling tabrakan, ombaknya jadi besar.”Pungkasnya


Dan ini jadi kesenangan untuk kami, khususnya Fadli. Karena kilau rambut duta shampoonya bisa berkibar sebebas-bebasnya. hahaha

aku? jadi duta shampoo lain? (source : dokumentasi pribadi)
30 menit perjalanan dari Pulau Air Kelubi, daratan Pulau Mapur mulai kelihatan. Tampak rumah-rumah dibangun cukup padat di pesisir pantai. Sebuah dermaga kecil dengan pompong sedang terlihat cukup ramai. Ternyata Linda dan Drajat bersama anak-anak Pulau Mapur bersiap menyambut kedatangan kami. Tawa riang mereka berdua bersama anak-anak Pulau Mapur menjadi welcome expression yang begitu manis. Kamipun bersalaman dan mulai membenahi barang-barang untuk dipindahkan ke tempat tinggal kami selama di Pulau Mapur.

Anak-anak Pulau Mapur (source : dokumentasi pribadi)
The Barangs (source : dokumentasi pribadi)

Dari dermaga, cukup berjalan kaki beberapa menit menuju mess kami. Sebuah fasilitas menginap yang terletak tepat di samping kantor Desa Pulau Mapur. Di perjalanan menuju mess, di kanan kiri tampak rumah-rumah apung terbuat dari kayu. Pompong kecil di samping rumah, tali-tali tambang besar berlumut, sedikit sampah yang mengambang tak tahu arah dan aroma laut yang kuat, serta ... ya ... udara yang cukup panas. Welcome to Pulau Mapur, salah satu pulau terluar di nusantara Indonesia.

Meskipun di Pulau Mapur cukup banyak rumah yang dibangun di atas air, mess kami tidak seperti itu. Mess kami berada satu wilayah dengan kantor desa. Di daratan. Di seberang mess kami ada sebuah posyandu dan sumur kecil. Lapangan berukuran sedang jadi penengah kami. Tampak bendera merah putih layu sejenak dicampakkan angin laut. Meskipun menjelang sore, matahari cukup terik saat itu. Dan kami kehilangan sesuatu. Ia adalah sesuatu yang paling dibutuhkan generasi millenial original maupun KW super. Yaitu ... signal handphooonneeee!!! Di dermaga sinyal cukup bagus. Saya sendiri pakai provider Telkomsel. Meninggalkan dermaga, sinyal hilang sudah. Tapi tak mengapa, sungguh tak mengapa. Ini akan jadi waktu yang berkualitas rasanya.

Laki-laki dan perempuan ditempatkan dalam satu mess. Mess kami cukup luas dan terdiri dari banyak kamar. Kami dibagi kamar oleh panitia. Laki-laki dan perempuan tentu terpisah dan masih banyak kamar kosong lainnya. Mess tersebut merupakan fasilitas pemerintah Pulau Mapur untuk para tamu. Khususnya bila ada event Eco Run Mapur Island. Sebuah event akbar tahunan di Pulau Mapur.

Oke! Saatnya istirahat dan membersihkan diri sebelum memulai briefing malam hari. Keesokan harinya, kami akan mulai berkegiatan. Akan saya ceritakan di episode tulisan selanjutnya. See you!

Bersambung ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

Belajar Seni Melepaskan dari Gobind Vashdev Part I

Sumber foto : treindonesia Mendengarkan podcast, hobi baruku hampir setahun belakangan ini untuk mengisi waktu luang. Kadang kuputar sambil bersiap menuju tempat kerja atau sambil setrika baju, berkebun atau bahkan sambil masak. Salah satu podcast yang paling banyak kuputar adalah Podcast Inspigo : Inspiration on the Go dengan tema random mulai dari karir, percintaan, finansial dan lain-lain tapi tema kesukaanku adalah tentang Mindfulness. Podcast bagiku sangat membantu membuka perspektif-perspektif baru dan berlatih memahami ide dan sudut pandang orang lain yang mungkin bisa turut mempengaruhi sudut pandang kita. Salah satu yang paling berkesan bagiku adalah Podcast dengan narasumber Gobind Vashdev, seorang pria berdarah india yang berprofesi sebagai penulis dan pelatih self healing. Dia sebetulnya lebih senang dipanggil sebagai Heartworker atau pekerja hati. Aku tak tahu siapa dia sebetulnya. Baru kenalan dengannya 2 hari yang lalu ketika aku mendengarkan Inspigo sambil ber