Langsung ke konten utama

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri

Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann.

Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku.

Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini.

Begini ceritanya ...

Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kurangi. Merasa cukup paham, aku praktik buat lagi di tahap kedua dengan jumlah cukup banyak karena berniat akan membagi hasil masakan dengan guru di SDN 02 Tanjung Ratu. 

Hasilnya? Kurasa lebih baik dari percobaan pertama. Nasinya nggak lembek dan masih terasa tekstur ketannya.

Siangnya aku dan Une ke SDN 02 Tanjung Ratu sembari membawa sedikit buah tangan itu. Kami ada niat buat gambar di tembok sekolah. Sambil kerja bakti kurasa cemilan ini akan jadi pengganjal perut yang pas.

Baru datang, ruang guru cukup ramai ketika kami tiba dan sudah pasti bisa ditebak, ketan yang kami tawarkan disambut hangat oleh mereka. Ibu Rani langsung membawa piring dan pisau dari dapur.

Dokpri

"Waduh mbaakkk di Lampung udah bisa masak ketan aja nihhh. Khas nih mbakkk" Ucapnya

"Ohya? Aku baru tau kalo nasi kuning itu khas Lampung. Soalnya di Bogor juga ada Bu. Kalo pas acara besar aja si misal hajat atau selametan."

"Dek, kalo di Lampung itu, setiap acara nggak lengkap kalau nggak ada nasi ketan kuning. Nggak afdol lah istilahnya. Harus ada. Udah tradisinya kayak gitu." Ucap Bu Rahmadini, salah satu guru senior di sekolah.

"Kenapa harus ada Bu? Ada filosofinya kah?"

"Jadi gini mungkin ya, si ketan itu kan lembek dan lengket. Susah dipisahkan. Itu bisa mewakili harapan akan persaudaraan kita. Tetap lengket satu sama lain."

"Oh gitu. Baru tau aku Bu. Wah nice!"

"Makanya ketan kuning itu bisa dibilang khas juga disini."

Bu Dilla, guru lainnya sedang asyik mengunyah kudapan itu lalu memberikan komentar.

"Enak mbak. Tapi terlalu banyak kunyitnya"

"Hahhaa dia mah emang ratu kunyit Bu." Ledek Une

"Hahaha iya Bu kelebihan ya. Next aku kurangin deh."

"Tapi ini yang bikin tambah menarik ada bawang gorengnya. Aduh dek mauan banget kamu bikin serundengnya. Udah siap nih keknya jadi orang Lampung." Tambah Ibu Rosnila

"Hahhaah bisa aja buuu"

Dari percobaan kuliner sederhana itu, tak disangka kami dapat filosofi baru dari makanan bernama ketan kuning itu secara tidak sengaja. Satu hal lainnya yang membuktikan bahwa makanan bukan sekedar kudapan, tapi mewakili makna kehidupan.

x

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

MAHAMERU, MAHASERU! - Bagian I

Kisah perjalanan Mahameru sudah terbingkai pada Agustus tahun 2016, hampir dua tahun sampai cerita perjalanan ini dibuat. Namun bagi saya tak ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah cerita selama setiap kenangan yang menyertainya masih tersimpan rapih dalam laci-laci ingatan. Kini saatnya membongkar arsip-arsip itu dan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, mentransformasikannya ke dalam bentuk tulisan. Selamat datang di alam teater pikiran dan selamat menikmati segala hal yang tersedia. Apa adanya. Bukan Pendaki 5cm. Saya sempat tergelitik ketika melihat desain kaos-kaos traveler di instagram yang bertuliskan “Bukan Pendaki 5cm.” Pemahaman akan tulisan tersebut luas sebenarnya. Siapapun yang membaca bisa saja punya persepsi yang berbeda-beda. Bisa saja menggambarkan makna “Gue naek gunung bukan karena pilem 5cm lho”, atau   “Cara gue naek gunung ga kayak pendaki pilem 5cm tau”, serta banyak pemahaman lain yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Saya sendiri ?