Langsung ke konten utama

Sejarah Unik si Kebun Jagung Sekolah



Selama 9 bulan pedampingan program ke sekolah di Lampung, salah satu program yang didorong adalah mengintervensi sekolah untuk memanfaatkan lahan kosong sebagai warung hidup sehingga hasilnya nanti bisa dimanfaatkan untuk warga sekolah. Selain itu warung hidup ini juga bisa menjadi tempat belajar anak-anak untuk mencintai lingkungan. Di 6 sekolah mitra semuanya punya warung hidup pada akhirnya, namun ada satu sekolah yang punya cerita unik dalam membuat warung hidupnya yaitu SDN 01 Tanjungan di Kecamatan Katibung Lampung Selatan.

Suatu siang di bulan Desember 2019, saya dan Une (partner pendampingan) mengunjungi SDN 01 Tanjungan untuk melaksanakan kegiatan pendampingan seperti biasanya. Kami memang biasa berkeliling kelas melihat kondisi kelas juga ngobrol dengan anak-anak. Tibalah di kelas 6 yang riuh sekali waktu itu. Sebelum masuk kelas, perhatianku tercuri oleh beberapa pot tanaman hias yang cukup besar berjajar rapi di depan dan samping kelas. Namun bukan tanaman hiasnya yang menarik perhatian, melainkan puluhan bibit jagung yang mulai tumbuh. Tingginya sekitar 10-20 cm rata-rata. Terlihat cukup padat namun bagus sekali. Belum sempat masuk kelas untuk bertanya, anak-anak sudah keluar duluan menyapa.

“Wahh ini kok ada bibit jagung tumbuh banyak banget? Ceritanya gimana?” tanyaku kepada mereka

“Itu lho kak, kerajinan biji jagung punya kelas 4 yang ditempel di tembok kami cabutin ajalo lalu lempar aja ke pot. Abis sisanya juga jatuhan. Daripada jelek dipajang di sana, sudahlah mending kita orang lempar aja ke tanah.” Jawab salah satu siswa laki-laki yang tampak lelah habis ‘bertempur’ dengan kawannya

“Lalu anak kelas 4 nyariin nggak karya mereka? Kalo masih bagus, ga perlu sengaja dirusak karya mereka dek”

“Aih bekas kelas 4 tahun kemarin itu, biarin aja kak.”

Akupun geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Setidaknya kerajinan biji jagung itu tidak mereka buang begitu saja. Dan hasilnya, sungguh jadi bibit yang keren.

Kami pun memberitahukan soal keberadaan para ‘warga’ sekolah baru itu ke Pak Ridwan selaku Kepala Sekolah, menanyakan apakah memungkinkan kita adakah agenda khusus berkebun untuk menyemai bibit-bibit itu di lahan sekolah. Namun Desember 2019 di Lampung Selatan masih sangat terik. Pak Ridwan menunda agenda tersebut dan berjanji akan melanjutkan ketika musim hujan tiba. Baiklah. Satu bulan berlalu bibit-bibit itu mulai tinggi di pot bunga.

Di bulan Januari ketika kami kembali beraktivitas di sekolah, kami sudah melihat pohon-pohon jagung itu sudah tertanam di lahan samping kelas 6. Aih senang betul melihat lahan kering nan gersang itu sekarang jauh lebih hijau karena ada banyak pohon jagungnya. Waktu itu tingginya sekitar sepundak orang dewasa.

Bulan demi bulan berlalu hingga sampailah kami di bulan April untuk berpamitan pulang ke Kepala Sekolah dan guru. Kebetulan ada Pak Ridwan dan Bu Yussy sedang mengurus administrasi di sekolah lalu kami datangi untuk berpamitan.

“Pak kami izin liat warung hidup ya.” Ujarku ke Beliau

“oh iya-iya silahkan udah banyak yang tumbuh di sana.” Jawabnya

Kami melihat warung hidup bersama bu Yussy, sangat menyenangkan melihat pohon-pohon jagung itu berbuah. Pohon-pohon yang ditanam siswa kelas 6 secara tidak sengaja kini tumbuh subur padahal tanpa pupuk apapun dan tumbuh besar di lahan yang dulunya gersang. Tapi sayang sekali, harusnya kami membuat agenda masak hasil kebun bersama anak-anak, namun situasi Pandemi membuat semuanya tertunda.

“Bu jangan sampai lupa dipanen ya jagungnya, sayang banget. Anak-anak yg tanam.” Ucapku ke Bu Yussy

“Bawa aja sama mbak ke kosan nih ambil yang banyak.”

“Waduh makasih bu tapi gausah, biar untuk warga sekolah aja. Lagian kayaknya belum siap panen kalo sekarang bu. Mungkin 2 minggu lagi”

“Oh iyaa. Saya tiap hari ke sekolah tapi ga pernah merhatiin ke sini. Karena mbak juga baru tahu mereka ternyata berbuah.”

Time flies dan aku sudah hampir satu bulan di Bogor. Akupun iseng chat Whatsapp guru SDN 01 Tanjungan dan bertanya,

“Bu apa jagung di sekolah udah dipanen?” Tanyaku ke Bu Halimah, guru yang paling senior di sekolah

“Udah sayang, hampir kelewat. Dah kayak ibu tuanya, hehehe. Ibu beliin gula merah, ketan, lalu kami gudekh di rumah mak mar, penjaga sekolah.” Ujarnya

“Wahh asyiknya, yummy buat makanan dari kebun sekolah sendiri ya bu. Dapat tanam anak-anak kelas 6 alhamdulillah bisa sampai panen ya.”

Ada perasaan tenang yang tidak bisa dijelaskan sih, hehehe. Karena akan sayang sekali kalau jagungnya dibiarkan begitu saja padahal ada cerita menarik dan upaya untuk menumbuhkannya. Meskipun anak-anak yang menanam belum bisa bersama-sama mengolah dan menikmatinya, semoga cocok tanamnya bisa lanjut meskipun tanpa kami sebagai pendamping agar agenda masak bersama bisa tetap lanjut setelah pandemi berlalu. Biar anak-anak dan warga sekolah makin semangat kalau sudah bisa menikmati hasil kebunnya. Aamiin.

Komentar

  1. Selamat Datang di DewaLotto...

    Kini DewaLotto Menyediakan Berbagai Game Betting Online

    Hubungi WA : https://wa.me/855888765575 ( +855 88 876 5575 )

    Kini Hadir Deposit via Pulsa Telkomsel / XL ( Online 24 Jam )

    1 USER ID UNTUK SEMUA GAME | TOGEL ONLINE | SLOT GAMES | LIVE CASINO | SPORTSBOOK | SABUNG AYA M | POKER ONLINE & DOMINOQQ | TRANSAKSI DI JAMIN AMAN 100%

    BAGI YANG KESULITAN MENGAKSES SITUS DEWALOTTO DI KARENAKAN INTERNET POSITIF, SILAHKAN GUNAKAN WWW.DEWA-LOTTO.VIP

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

MAHAMERU, MAHASERU! - Bagian I

Kisah perjalanan Mahameru sudah terbingkai pada Agustus tahun 2016, hampir dua tahun sampai cerita perjalanan ini dibuat. Namun bagi saya tak ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah cerita selama setiap kenangan yang menyertainya masih tersimpan rapih dalam laci-laci ingatan. Kini saatnya membongkar arsip-arsip itu dan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, mentransformasikannya ke dalam bentuk tulisan. Selamat datang di alam teater pikiran dan selamat menikmati segala hal yang tersedia. Apa adanya. Bukan Pendaki 5cm. Saya sempat tergelitik ketika melihat desain kaos-kaos traveler di instagram yang bertuliskan “Bukan Pendaki 5cm.” Pemahaman akan tulisan tersebut luas sebenarnya. Siapapun yang membaca bisa saja punya persepsi yang berbeda-beda. Bisa saja menggambarkan makna “Gue naek gunung bukan karena pilem 5cm lho”, atau   “Cara gue naek gunung ga kayak pendaki pilem 5cm tau”, serta banyak pemahaman lain yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Saya sendiri ?