Langsung ke konten utama

Mount Batur Sunrise Trekking, Sebuah Mahakarya Alam yang Menakjubkan!



Ke Bali naik gunung? Mau ngapain? Kayak udah nggak ada tempat lain aja. Mungkin sebagian besar orang berpikir begitu. Bali itu dipenuhi tempat-tempat keren untuk bersantai di Pantai, belum lagi spot-spot cozy lainnya yang asyik untuk berkongkow ria. Memang benar dan aku mengunjungi sebagian tempat-tempat itu. Namun nggak greget rasanya kalau traveling nggak punya tantangan berarti. Bulan Februari 2019, Aku, Sinta dan Adis memutuskan untuk memilih Gunung Batur sebagai salah satu destinasi wajib saat ke Bali.

Gunung Batur bukan macam gunung-gunung tinggi pada umumnya. ketinggiannya relatif rendah bahkan bisa dibilang menyerupai bukit, sehingga hanya butuh waktu 3 jam untuk menaikinya. Terletak di Kintamani, perlu waktu lebih dari 3 jam menaiki motor dari Denpasar menuju tempat ini. Kami datang pukul 4 sore waktu itu di basecamp pendakian dan disambut oleh hujan lebat. Sengaja kami memilih titik terakhir basecamp karena agar perjalanan esok paginya tak terlalu jauh menuju titik pendakian. Orang-orang rata-rata menginap dulu di komplek penginapan yang terletak cukup jauh dari basecamp lalu naik mobil dinihari menuju titik pendakian. Kami nekat, nggak kebanyakan mikir nanti di sana menginap dimana, yang penting sampai dulu. Akhirnya kami mendapatkan penginapan di salah satu rumah warga dengan tarif Rp. 50.000 per-orang. Awal mendapatkan penginapan ini adalah agenda makan mie instan kami di warung dekat basecamp yang diselingi dengan ngobrol-ngobrol sok akrab. Akhirnya si ibu yang punya warung malah menawarkan rumahnya sendiri. Asyik!

Pukul 3 pagi kami sudah mulai bersiap. Udara kaki Gunung Batur saat itu dingin sekali. Apakah kami mandi? Oh tentuuuu...tidak! culun sekali mandi jam segitu mau naik gunung, hahaha boong deng terserah aja sih tergantung kekuatan masing-masing. Motor mulai kami panaskan sebentar lalu pamit ke ibu penginapan.

Jarak dari titik basecamp ke titik pendakian ternyata masih cukup jauh. Kami harus menempuh perjalanan sekitar 30-45 menit menuju titik pendakian sebenarnya. Jalanan begitu gelap namun kami melihat sudah banyak turis mancanegara yang berjalan kaki dari basecamp. Kaki dan nafas mereka panjang, langkah mereka pun cepat, ah rasanya akan sampai tak lama setelah kami.

Sampailah di titik pendakian, kami pun memarkirkan motor di tempat yang disediakan. Kami melihat sekeliling, tak ada bangunan apa-apa kecuali satu pura indah yang sedang renovasi. Jadi memang titik menginap hanya sampai di basecamp saja. Langit dini hari kala itu begitu biru dan berbintang. Krek! Bunyi sepatu kami yang mulai menginjakan kaki di jalur pendakian yang berbatu dan berpasir. Langkah kami begitu pelan lalu tak lama disusul oleh seorang ibu penjual makanan berpakaian tradisional Bali yang melangkah begitu cepat sambil membawa belanjaan menuju ke puncak. Katanya, 1 jam ia bisa sampai. Kalau kami si tim kura-kura? Hmm janganlah ditanya.

Trek pendakian gunung batur cukup menantang. Sedikit sekali jalur landainya. Trek didominasi oleh jalanan sempit menanjak dan berbatu yang diapit semak-semak. Baiknya menggunakan alas kaki yang tebal dan tidak licin jika ingin ke sini. Sudah tak terhitung berapa kali kami break dan ini adalah pertama kalinya untuk Sinta, kawan kuliahku untuk naik gunung. Wajar dia yang paling sering minta istirahat karena Sinta ternyata punya riwayat asma, jadi tidak boleh nafasnya diporsir terlalu hebat. Namun aku sama sekali tidak keberatan dengan setiap momen break pendakian itu karena sambil duduk, kami bisa melihat begitu indahnya kota Bali dari kejauhan, ditambah siluet Gunung Agung yang tampak gagah berdiri memaku bumi.

1,5 jam perjalanan kami sampai di puncak pertama yang ditandai oleh sebuah warung. Di sana kami melihat banyak sekali turis yang sedang istirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak yang sebenarnya. Kamipun begitu, memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu sambil melaksanakan shalat subuh di kursi depan warung. Rasanya hanya kami turis lokal waktu itu, selebihnya ada yang bicara bahasa inggris, spanyol, italia bahkan turki. Wah macam-macam deh, jadinya kok kami yang merasa asing di tanah sendiri ya, hehehe.

Setelah shalat subuh, niat mendaki ke puncak yang sebenarnya kami urungkan karena melihat Sinta yang sepertinya sudah tidak mampu lagi untuk mendaki. Udara pagi di ketinggian memang terasa cukup sesak ditambah Sinta punya riwayat asma dan ini momen pendakian pertamanya. Dia ingin kami tetap ke puncak dan ia menunggu di warung. Aih! Mana bisa. Semua akan terasa menyenangkan jika dinikmati bersama.

Di puncak pertama, sebetulnya pemandangan sudah terlihat sangat indah. Matahari pun menunjukkan tanda-tanda akan segera ‘dinas’ di bumi. Aku selalu menyukai gradasi warna langit ketika matahari akan terbit atau terbenam. Semacam perpaduan biru tua, kuning dan oranye yang membuat semburat indah di angkasa. Namun matahari harus bersedia bukan menjadi satu-satunya yang kami kagumi pagi itu. Hati kami terbagi dengan takjub melihat gumpalan awan yang menyerupai samudera mulai terlihat jelas seiring matahari mulai meninggi. Di belakang samudera awan, tampak jelas Gunung Agung berdiri dengan gagahnya seolah awan itu telah menjadi selimut bagi tidurnya yang lelap. Semacam pertunjukkan alam yang begitu sempurna di mataku. Kami bertiga menikmati orkestra alam itu bersama dengan puluhan turis asing lainnya yang juga memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke puncak berikutnya. Kami mengeluarkan kamera Gopro lalu memutuskan untuk membuat video timelapse sunrise yang sempurna itu untuk dikenang.

“Samudera awan mengingatkanku padamu waktu itu. Kamu paling suka kan melihatnya? Dan kutahu kakimu sudah terlebih dahulu berpijak di sini namun kesempatan bertemu dengan si Samudera belum beruntung kamu dapatkan. Biar aku yang jadi wakil dan mataku bisa bersikap adil. Dan kuharap debu-debu sisa jejakmu tak kemana-mana biar sama juga terinjak olehku. Biar dia jadi saksi, ada dua hati yang sama hangatnya pernah datang ke tempat semenakjubkan ini.”

dokpri

dokpri

dokpri with Sinta

dokpri
dokpri
dokpri

Satu jam lamanya, kami terpaku dengan “pertunjukan” itu. Dinginnya udara tidak begitu lagi terasa setelah matahari bulai mencairkan udara yang beku. Namun samudera itu masih tetap di sana, tidak ikut menguap seolah sudah punya perjanjian dengan matahari mengenai lamanya masa pertunjukkan. Kami memutuskan untuk membeli susu cokelat di warung dan itu menjadi susu cokelat termahal yang pernah kami beli. Harga pergelasnya Rp. 30.000 yang terdiri dari 2 sachet susu kental manis yang diaduk dengan air panas di dalam satu gelas besar. Harga yang cukup sepadan dengan kemudahan mendapatkannya serta keindahan yang ditawarkan sembari meminumnya. Kami membawa beberapa bekal makanan untuk menjadi kawan sarapan.


Di sisi lain kami perhatikan turis-turis itu. Mereka rata-rata menggunakan jasa tour guide menuju gunung batur dan tour guide itulah yang mengurus segala sesuatunya sampai kebutuhan sarapan. Dari warung sederhana ala gunung itu, beberapa kali kulihat keluar menu roti sandwich yang tertata rapi di nampan lalu wajah indonesia yang memegangnya itu memberikan roti-roti sandiwich itu beserta susu cokelat ke klien mereka. Berasa di luar negeri beneran deh dibanding pengalaman naik gunungku yang rata-rata para pendakinya sarapan mie instan, roti sobek atau nasi dan telur, hehehe!

Pukul 9 pagi kami memutuskan untuk turun setelah ramai para turis itu turun satu jam sebelumnya. Biar trek pendakian cukup sepi dan kami bisa jalan santai saja. Butuh waktu lebih cepat untuk turun namun setapak kerikil itu menuntut kami untuk jauh lebih berhati-hati kalau tak mau terpeleset. Jalan pelan-pelan saja yang penting penuh nikmat. Dari ketinggian itu kami masih saja ditemani samudera awan namun kini ditambah pemandangan pura yang tengah renovasi itu. Pura itu seperti dikelilingi oleh hamparan rumput yang hijau dan damai sendirian. Mata kami rasanya puas sekali disuguhi pemandangan-pemandangan yang begitu ciamik!

dokpri

dokpri

dokpri

dokpri

dokpri

dokpri

“Ya, seharusnya memang tak ada yang kami dustakan.”

Komentar

  1. ArenaDomino Partner Terbaik Untuk Permainan Kartu Anda!
    Halo Bos! Selamat Datang di ( arenakartu.org )
    Arenadomino Situs Judi online terpercaya | Dominoqq | Poker online
    Daftar Arenadomino, Link Alternatif Arenadomino Agen Poker dan Domino Judi Online Terpercaya Di Asia
    Daftar Dan Mainkan Sekarang Juga 1 ID Untuk Semua Game
    ArenaDomino Merupakan Salah Satu Situs Terbesar Yang Menyediakan 9 Permainan Judi Online Seperti Domino Online Poker Indonesia,AduQQ & Masih Banyak Lain nya,Disini Anda Akan Nyaman Bermain :)

    Game Terbaru : Perang Baccarat !!!

    Promo :
    - Bonus Rollingan 0,5%, Setiap Senin
    - Bonus Referral 20% (10%+10%), Seumur Hidup


    Wa :+855964967353
    Line : arena_01
    WeChat : arenadomino
    Yahoo! : arenadomino

    Situs Login : arenakartu.org

    Kini Hadir Deposit via Pulsa Telkomsel / XL ( Online 24 Jam )
    Min. DEPO & WD Rp 20.000,-

    INFO PENTING !!!
    Untuk Kenyamanan Deposit, SANGAT DISARANKAN Untuk Melihat Kembali Rekening Kami Yang Aktif Sebelum Melakukan DEPOSIT di Menu SETOR DANA.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

MAHAMERU, MAHASERU! - Bagian I

Kisah perjalanan Mahameru sudah terbingkai pada Agustus tahun 2016, hampir dua tahun sampai cerita perjalanan ini dibuat. Namun bagi saya tak ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah cerita selama setiap kenangan yang menyertainya masih tersimpan rapih dalam laci-laci ingatan. Kini saatnya membongkar arsip-arsip itu dan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, mentransformasikannya ke dalam bentuk tulisan. Selamat datang di alam teater pikiran dan selamat menikmati segala hal yang tersedia. Apa adanya. Bukan Pendaki 5cm. Saya sempat tergelitik ketika melihat desain kaos-kaos traveler di instagram yang bertuliskan “Bukan Pendaki 5cm.” Pemahaman akan tulisan tersebut luas sebenarnya. Siapapun yang membaca bisa saja punya persepsi yang berbeda-beda. Bisa saja menggambarkan makna “Gue naek gunung bukan karena pilem 5cm lho”, atau   “Cara gue naek gunung ga kayak pendaki pilem 5cm tau”, serta banyak pemahaman lain yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Saya sendiri ?