Langsung ke konten utama

Mbah Sis, ‘Permata’ Cantik di Pasar Prawirotaman Yogyakarta



Sebuah bentuk kebutuhan akan penyegaran. Untuk mengembalikan apa yang dirasanya hilang, untuk menutup apa yang disebutnya lubang.

Langit 22 Juni 2018 di Yogyakarta hangat seperti biasanya. Semburat cahaya matahari di jendela sebuah kamar kos mungil di dekat Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) membangunkan dua orang yang masih bermalas-malasan di kasur hingga pukul 7 pagi. Hari itu sebetulnya belum jelas mau pergi ke mana, pergi melihat-lihat ke Pasar Prawirotaman menjadi pilihan karena kami memang belum punya rencana apa-apa. Ditambah, katanya di sana ada Mbah Sis, seorang penjual jamu peras yang pernah satu frame dengan Nicholas Saputra di film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC2).

Pukul 8 kami bersiap untuk pergi. Jalanan Yogyakarta yang lengang dengan gradasi kekuningan ala pagi hari terasa begitu cantik. Kami melaju dengan pelan berteman sese-embak Google Map yang bicara di balik headset. Ternyata, Prawirotaman hanya memakan waktu jarak tempuh sekitar 15 menit menggunakan motor dari UKDW.

Sesampainya di sana, kami tidak menemukan satu pun hal spesial dari Pasar Prawirotaman. Pisang, sayuran, buah-buahan, bumbu dapur dan aneka palawija sudah tak asing lagi. Tak ada apa-apa yang dicari selain keberadaan Mbah Sis dan jamu perasnya.

Di sana, Mbak Sis terbilang cukup terkenal karena hampir semua orang yang kami tanyai mengenalnya. Ditambah saya memegang foto beliau yang didapatkan dari dunia maya. Beberapa kali saya menunjukkan kepada orang-orang demi mendapatkan petunjuk.

(mendapatkan petunjuk?)

“Dari sini mbelok ke kanan. Adanya di ujung situ.” Terang seorang pedagang menunjukkan dengan ujung jarinya.

“Matur suwun, bu.”

Sekitar 10 menit berkeliling mencari keberadaan Mbah Sis, rasa senang bukan kepalang karena akhirnya menemukan apa yang dicari. Bertemu apa yang dinanti. Melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Seorang wanita tua memakai baju tradisional jawa tampak cantik dengan sanggulnya yang tergulung rapi. Wanita berumur 75-an itu tampak khusyuk meracik jamu untuk dua orang pelanggan perempuan di depannya. Tangan keriputnya tampak kekuningan, tak henti bermesraan memeras semua rempah-rempah yang diraciknya menjadi minuman tradisional bernama jamu. Pembawaannya tenang, sahajanya terpancar jelas. Bahkan mungkin di mata preman paling kejam sekalipun.

“Assalamualaikum Mbah, kami mau ambil foto boleh?”

Tak ada kata lain yang keluar darinya selain sebuah anggukan dan senyuman sambil melanjutkan pelayananannya kepada sang pembeli.



Selama lima menit, kami hanya mengamati gerak-gerik Mbah Sis dan sesekali mengambil foto. Sampai akhirnya tiba giliran kami untuk duduk di hadapannya.

Di meja Mbah Sis, berjejer baskom- baksom berisi aneka macam bahan jamu yang sudah diparut halus.

“Mbah, ini ada jamu apa aja? Jamu yang nggak pait ada nggak?”

Sambil tersenyum beliau menjelaskan dengan lembutnya,

“Ini kunir asem, ini cikur, ini galian, ini sawangan, ini kencur, macem-macem.”

“Mbah, bikinin dia jamu buat diet aja. Yang buat kurus.” Saya yang kebetulan bingung langsung setuju dengan rekomendasi Dhebul, entah dia niatnya meledek atau tidak, itu sudah biasa, hahaha.

Dibuatkannya saya satu racikan kunir asem yang disajikan di atas mangkuk (atau gelas ya?) yang terbuat dari batok kelapa. Kata Mbah Sis, mangkuk ini merupakan warisan dari ibunya ketika berjualan jamu peras dulu.

Saya pun mencoba tegukan pertama.

Jamu kunir asem (dok. pribadi)
“Hmmm ...”

Sambil menoleh ke Dhebul saya berkata;

“Ini sumpah Dhe, enak bangeeettt. Cobain deh” Ucap saya sambil memasang wajah haru dengan mata berbinar

Kunir asem buatannya punya cita rasa rempah yang kuat. Jamu kunir asem ini rasanya asam manis. Asamnya cukup berbeda karena berasal dari perasan jeruk nipis. Fix, langsung jatuh cinta pada tegukan pertama.

Dhebul pun akhirnya mendapat jamu pesanannya. Jamu penambah nafsu makan. Kebalikan dengan jamu saya, hiks!

“Gimana rasanya Dhe?”

“Enak. Menurut gw rasanya, yang pasti beda banget sama jamu-jamu yang ada di Bogor. Gue sebenernya bukan pecinta jamu. Kalau yang ini paitnya ada, manisnya ada, asemnya ada. Terus pas udah ditelen menyisakan kenangan gitu.”

#yaelah

“Kalau anak saya bilang, jamu itu kalau ndak pait ya bukan jamu.” Ucapnya Mbah Sis di sela obrolan kami.

Kami berdua cuma cengengesan tanpa merasa terhina sama sekali. Tapi tetap saja, ucapan Mbah Sis membuat kami tertantang untuk mencoba jamu pahit. Ini demi membela harkat dan martabat warga Bogor di dunia penikmat perjamuan Indonesia. Hahaha!

With Dhebul
“Mbah, tolong buat satu lagi yang pahit ya.” Kata saya dengan percaya diri

Permintaanku memancing senyuman di wajah Mbah Sis. Ekspresinya biasa sebetulnya. Hanya saja kami menangkapnya sebagai ekspresi habis memenangkan perang dunia kedua.

Dibuatkannya kami semangkuk jamu samiloto yang terdiri dari campuran beberapa jenis rempah. Sambil saling menatap dengan Dhebul, saya mencoba tegukan pertama. And taraaa ...

“Paiiiiiiiiiiitttttttttttttttttttttttttt .... Tapi tetep enak Dhe!”

(enak-enak melulu ya hahaha)

“Sini gue cobain.”

Kami sama-sama mengerenyitkan dahi sembari mengerutkan bibir ketika mencoba samiloto. Lidah memang butuh yang pahit untuk tahu rasanya manis, dan sebaliknya. Kami seakan saling melempar tanggung jawab untuk bergantian menghabiskan jamu ini. Walau begitu, ada kesenangan kecil di hati kami yang sulit dijelaskan.

“Yang ini ndak usah mbayar. Ndak apa-apa. Ndak usah dihabiskan.” Celetuk Mbah Sis sambil memberikan kami air manis untuk menetralisir lidah.

“Wah jangan gitu Mbah. Ini udah mau abis kok. Hehehe”

“Banyak yang dari jauh ke sini. Dari Bandung, Jakarta, Banten, Bali ada. Kemarin ngantrinya sampai ujung sana. Saya diajak ke Jakarta ya ndak mau.”

“Mbah enak-enak jamunya, pantesan langganannya banyak.”

“Ada yang pesan 3 botol dibawa ke Filipina. Dari Kalimantan ada. Tahan sampe besok bisa soalnya.”

Kami hanya bisa mengangguk terkagum-kagum dengan cerita Mbah Sis. Namun di tengah cengkrama yang hangat itu, satu pertanyaan Mbah Sis mengundang gelak tawa kami seketika.

“Ade liat si Mbah di AADC nggak?” Celetuknya.

“Hahahahahaaaaa ... Liat dong Mbah. Kita tahu Mbah dari AADC 2. Itu ada Nicholas Saputra ya? Ganteng nggak menurut Mbah? Hehehe”

“Yo ganteng to!”

“Gimana rasanya masuk film Mbah?”

“Yo biasa ajja hahaha.” Logat medoknya disusul tawa kecil

“Dia duduknya di situ. Yang syuting sampe 80 orang.” Tambahnya sambil menunjuk kotak kayu yang terletak tak jauh dari mejanya.

“Rumahnya di mana Mbah?”

“Rumah saya di Salakan. Deket STIE. Saya tinggal sama anak dan cucu. Ayo dolan ke rumah Mbah.”

“Emang boleh? Hehehe. Mbah biasanya ngapain kalo di rumah habis dari pasar? Bikin jamu nggak?”

“Yo tidur. Capek to.”

Lagi-lagi jawabannya mengundang tawa kami. Ketertarikan saya untuk main ke rumah Mbah Sis yang tadinya menggebu tiba-tiba sirna setelah tahu ia butuh istirahat sepulang dari pasar. Tak sampai hati mengganggunya dengan kedatangan kami.

“Mbah punya penerus nggak kalau sudah nggak bisa jualan jamu?”

“Nggak ada. Anak-anak Mbah nggak ada yang mau.”

Terasa ada kesedihan kecil dalam hati saya mendengar jawaban tersebut. Terlebih karena saya jarang ke Jogja. Padahal sejak hari itu, saya berniat menjadikan Pasar Prawirotaman dan lapak jamunya sebagai destinasi wajib jika berkunjung ke Jogja lagi. Hati telah dibuat jatuh cinta. Sayang seribu sayang, bisnis jualan jamu yang ia teruskan semenjak kecil bersama mendiang ibunya harus putus sampai di Mbah Sis. Padahal, langganannya banyak sekali. Dari anak kecil yang masih ingusan sampai tumbuh besar dan punya anak, jamu Mbah Sis seolah telah menjadi minuman wajib di setiap tahap kehidupan mereka. Mulai dari perawan, hamil, melahirkan hingga menyusui. Jamu Mbah Sis menemani.

Percakapan kami berlangsung cukup lama. Mbah Sis menceritakan banyak hal. Mulai topik perjamuan, kisah syahdu suasana lebaran di rumahnya bersama anak dan belasan cucu, masakan apa saja yang ia buat ketika lebaran, hingga anak-anaknya yang sekarang sudah berhasil jadi ‘orang’. Mbah Sis juga pernah mengaku kehilangan banyak uang dari hasilnya berjualan karena dicuri. Saya sedih ketika mendengar cerita yang terakhir.

Lapak berukuran 2x2 meter itu buat kami bukanlah tempat jual beli. Melainkan sebuah rumah mungil dengan Mbah Sis sebagai tuan rumah. Dan setiap pembeli adalah tamu yang ia sambut dengan sepenuh hati.  Mbah Sis memang tidak menawarkan kemewahan di istana kecilnya. Tak ada kursi dan meja yang mengkilat. Hanya sebuah sekat yang terdiri dari kayu-kayu tua, kain-kain lap lusuh yang pasrah menggantung di atasnya, serta sebuah meja lembab tempatnya meracik jamu peras dengan penuh cinta. Juga tak lupa, penampilannya yang saya yakin, selalu rapi dan kelihatan cantik dengan kebaya dan sanggulnya yang elok.

Tangan mungil yang mungkin berwarna kuning hampir di sepanjang hidupnya adalah sebuah bukti dedikasi. Bukti akan komitmen dan kecintaan atas apa yang dikerjakannya dengan sepenuh hati puluhan tahun lamanya. Bukti akan kekuatan besar untuk menjalani apa yang diyakininya membawa manfaat bagi banyak orang. Mbah Sis dan jamu perasnya memang pantas jadi legenda. Meskipun pintu untuk meraih hasil yang lebih terbuka lebar di mana-mana, ia tak lantas terlena. Baginya, petak mungilnya sudah lebih dari cukup. Petak miliknya, dari hasil keringatnya.
Hidup tidak meminta banyak, tapi apa yang kita inginkan ... yang biasanya banyak. – Mbah Sis, dalam caption instagram @Windy_Arienstanty
Keberuntungan seorang pejalan adalah menemukan kesan dalam langkahnya melihat keluar. Di kunjungan kelima saya ke Jogja, saya mengunjungi banyak tempat. Mulai dari Malioboro, Bantul, Greenhost, Tugu Jogja, Gang-gang kecil di Prawirotaman, Kedai Filosofi Kopi, Keraton, hingga Tamansari. Tapi kunjungan ke Pasar Prawirotaman adalah yang paling berhasil meraih hati saya.

Terima kasih kepada Mira Lesmana dan Riri Riza yang selalu jeli melihat talenta dan secara tidak langsung membuat kami sampai kepada Mbah Sis lewat film Ada Apa Dengan Cinta 2. Juga kepada Mbak Windy Ariestanty yang sudah membuat saya tahu keberadaan Mbah Sis. Pasar Prawirotaman, tempat permata cantik bersahaja itu berada.

Baca juga : Desa Wisata Malasari Suguhkan Kearifan Lokal Yang Juara Pisan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

MAHAMERU, MAHASERU! - Bagian I

Kisah perjalanan Mahameru sudah terbingkai pada Agustus tahun 2016, hampir dua tahun sampai cerita perjalanan ini dibuat. Namun bagi saya tak ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah cerita selama setiap kenangan yang menyertainya masih tersimpan rapih dalam laci-laci ingatan. Kini saatnya membongkar arsip-arsip itu dan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, mentransformasikannya ke dalam bentuk tulisan. Selamat datang di alam teater pikiran dan selamat menikmati segala hal yang tersedia. Apa adanya. Bukan Pendaki 5cm. Saya sempat tergelitik ketika melihat desain kaos-kaos traveler di instagram yang bertuliskan “Bukan Pendaki 5cm.” Pemahaman akan tulisan tersebut luas sebenarnya. Siapapun yang membaca bisa saja punya persepsi yang berbeda-beda. Bisa saja menggambarkan makna “Gue naek gunung bukan karena pilem 5cm lho”, atau   “Cara gue naek gunung ga kayak pendaki pilem 5cm tau”, serta banyak pemahaman lain yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Saya sendiri ?