Bermula dari rasa penasaran yang
digadang-gadang bersumber dari beberapa artikel di internet soal keberadaan
Kampung Tokyo di pedalaman Bogor, saya mengajak Aulia bergegas memastikan
sekaligus berlibur menuju lokasi. Berhubung lokasinya sama-sama di Bogor Barat
(parah banget, saya orang Bogor Barat baru tahu ada Kampung Tokyo di pedalaman
Bogor Barat), hal ini tentu mempermudah bayangan kami soal rute menuju lokasi.
Cibeber menjadi titik temu kami dan akhirnya memulai perjalanan pukul 08 pagi.
Pagi itu cerah sekali, cuaca
mendukung perjalanan kami yang dipenuhi api semangat. Berbekal makanan dan
pakaian ganti, dengan percaya diri kami menyusuri jalan menuju Desa Wisata Malasari.
Yup! Kampung tokyo atau Dusun Malani terletak di Desa Wisata Malasari sekaligus
masuk ke area Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sebelum masuk ke area Taman
Nasional Gunung Halimun, kita akan melewati daerah Nanggung terlebih dulu.
Petunjuk menuju Desa Wisata
Malasari terbilang jelas, kita hanya tinggal terus menyusuri jalan melewati
Nanggung ke arah wilayah Taman Nasional Gunung Halimun. Jalan beraspal yang
berkelok dan agak rusak menemani perjalanan kami, hingga akhirnya kami melewati
gerbang Taman Nasional Halimun dan bertemu dengan jalan berbatu.
Di perjalanan, kami diberhentikan
oleh empat orang komandan Brimob yang sedang berjaga. Ya, area Malasari memang
dikenal sebagai tempat rutin pelatihan Brimob Kota Bogor sehingga ketika di
perjalanan, kami kerap menemukan puluhan anggota Brimob yang sedang berlatih.
Pak Rando, salah seorang Komandan Brimob menghentikan sejenak perjalanan kami.
Jalan menuju Dusun Malani (Dok. pribadi) |
“Hei berenti dulu, mau kemana Dek?”
“Ke Dusun Malani pak.”
“Dari mana kamu?”
“Dari Bogor kok Pak, hehehe”
Sosok Komandan Brimob terlihat
betul lewat postur tubuh Pak Rando yang tinggi besar. Logat dan kulit hitamnya
mewakili asalnya yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Sekilas memang terlihat
agak seram, tapi jangan tanya hatinya, Masya Allah, baik sekali. Ia menunjukkan
kami rute menuju Dusun Malani sekaligus menelpon salah seorang temannya yang
merupakan warga setempat untuk menjamu kedatangan kami.
“Kalian nanti makan aja di sana, nggak usah malu. Mau nginap-nginap di
sana. Bilang saja tetangganya pak Rando. Kalau ada apa-apa telpon saya.”
“Terima kasih banyak ya Pak Rando.”
Jarang-jarang ada orang yang
berinisiatif membuka obrolan untuk membantu kami. Setelah bertukar nomor
telepon, kami pun melanjutkan perjalanan.
Setelah menempuh setengah jam
perjalanan dan mulai memasuki area kebun teh. Kami kembali diberhentikan oleh
beberapa anggota Brimob yang sedang latihan menembak.
“Weit, stop dulu mbak. Lagi ada latihan nembak. Nggak lucu kalau kepala
kamu nanti yang kena.”
(dok. pribadi) |
Berjaga di area latihan (dok. pribadi) |
“Oh gitu ya pak. Oke-oke kita boleh nggak lihat latihannya nih?”
“Boleh aja. Makanya bahaya kalau lewat nanti takut tertembak, kalau Abang
yang nembak kamu mah itu nggak bahaya itu.”
Pukul 11 siang kala itu, langit
mulai mendung dan kami berdua lagi digombalin anggota Brimob Kota Bogor. But, don’t take it serious, becandain
aja lagi, hehehe.
Di sebuah titik, memang terlihat
beberapa papan kayu dipasang di dekat area kebun teh sebagai titik sasaran
latihan menembak, juga Dusun Malani pun terlihat manis dari kejauhan. Atap-atap
rumahnya keabuan dikelilingi hijaunya perkebunan teh. Setelah situasi cukup
aman, kami pun dipersilahkan melanjutkan perjalanan.
Titik penembakan (dok. pribadi) |
Pukul 11.30, kami sampai di Dusun
Malani atau menurut artikel-artikel di Google dikenal sebagai Kampung Tokyo.
Dari ketinggian, saya amati pelan-pelan alasan kenapa mereka menyebutnya
sebagai Kampung Tokyo. Kalau dilihat sekilas, memang ada nuansa berbeda dari
Dusun Malani. Semua bentuk rumahnya hampir sama kalau dilihat dari daratan yang
tinggi. Atap-atap asbes berwarna abu-abu dan lebar kompak menjadi arsitekrur
atapnya. Mungkin mirip dengan desa-desa di pedalaman Jepang kali ya.
Ketika kami mulai memasuki area
kampung, ternyata sama sekali nggak ada Jepang-jepangnya. Suasana kampung
hampir sama dengan pedesaan pada umumnya. Anak-anak berlarian bermain di
sela-sela rumah, beberapa ibu rumah tangga duduk di depan pintu menunggu
suaminya pulang memetik teh. Sedang saya dan Aulia beristirahat sejenak di
warung teh Sari, seorang sahabat Pak Rando yang telah diminta untuk menjamu
kedatangan kami.
Warga di sana ramah-ramah sekali,
tak terkecuali Teh Sari. Sambil sesekali bercanda ia menjelaskan kedekatannya
dengan pak Rando yang sudah seperti saudara sendiri. Juga beberapa gambaran
tentang Dusun Malani yang dulu penduduknya didominasi oleh para pendatang dari
Cianjur, Sukabumi maupun Bandung. Mereka dipekerjakan di kebun teh dan diberi
tempat tinggal. Dusun Malani awalnya bukanlah merupakan pedesaan bentukan
warga, namun fasilitas yang dibangun perusahaan untuk para pekerjanya.
Kata Teh Sari di jam-jam seperti
sekarang (tengah hari), para warga sedang sibuk di kebun teh setidaknya hingga
pukul 2 siang. Tak terkecuali Pak Basri, ketua RT di Dusun Malani, kami baru
bisa bertemu dengannya sekitar pukul setengah tiga sore untuk wawancara alias
bertanya banyak hal. Sambil menunggu waktunya tiba, saya dan Aulia mencari
mushola untuk shalat dzuhur sambil berkeliling kampung.
Anak-anak Dusun Malani. Yang mana yang kembar? (dok. pribadi) |
1...2...3... cekrek! |
“Pak, kita udah baca beberapa artikel di internet. Kenapa sih Dusun
Malani ini disebut Kampung Tokyo?”
Pertanyaan pertama kami mengawali
sesi wawancara setelah sejenak berbasa-basi kepada Pak Basri, Ketua RT di Dusun
Malani.
“Saya juga kurang tau yah, mungkin itumah orang-orang luar yang
nyebutnya begitu. Saya sendiri malah kurang paham. Mungkin karena kata mereka
mah mirip gitu sama pedesaan di Jepang. Kan dulunya dusun ini teh bentuknya manjang
rumah-rumahnya, kalo sekarang udah disekat-sekat. Dulumah lebih bagus, lebih
rapih.” Jawabnya
Ini menarik! Ternyata kami dan
warga sekitar sama-sama bertanya kenapa orang-orang di luar sana menyebut Dusun
Malani dengan nama Kampung Tokyo. Di sela-sela obrolan kami, istri pak Basri
menyuguhkan kami dua gelas teh tubruk manis.
Srrrpppttt! (dok. pribadi) |
“Bu, ini teh-nya dari mana ya kalau boleh tau?”
“Ini bikin sendiri, biasa ibu-ibu suka ngambil buat bikin teh sendiri Neng.”
Yohaaa, asik asik asik! Seumur
hidup kami main ke kebun teh yang entah udah berapa kali, baru kali ini kami
benar-benar menikmati teh eksklusif dari kebunnya langsung. Aromanya harum,
sedikit gurih ala-ala teh, agak sepat, dan takaran gula yang pas membuat
komposisi rasanya terasa sempurna. Warbyasah!
“Kalau mau tanya-tanya lebih banyak lagi, neng bisa ke Dusun Nirmala
(pusat Desa Wisata Malasari) ketemu pak Ozi, dia kepala dusun sekaligus asisten
perusahaan PT Nirmala.”
“Oke nanti kita kesana deh pak. terima kasih ya hehehe”
Ketika kami kembali ke warung Teh
Sari, Pak Rando dan kawan-kawan sedang ngopi-ngopi menanti kedatangan kami
untuk mengobrol-ngobrol. Ditraktirnya kami makan di warung Teh Sari sambil
membicarakan banyak hal. Teh Sari sempat bilang kalau di mata murid-muridnya di
Brimob, Pak Rando terkenal yang paling ditakuti karena kegalakan dan
ketegasannya. Tapi di mata kami, perawakan Pak Rando yang memang terlihat
garang musnah oleh kebaikan dan keramahannya.
“Nanti kalian sama saya pergi bareng ke Nirmala ketemu Pak Ozi. Mau nginap,
nginap aja di sana.”
“Siap pak!”
Jarak dari Dusun Malani ke Dusun
Nirmala tidak terlalu jauh. Kami hanya perlu menempuh jalan bebatuan licin yang
habis diguyur hujan selama 15 menit. Pak Rando dan temannya mengawasi pergerakan
kami dari belakang, beberapa kali mereka berusaha mengarahkan rute kami supaya
tak mudah jatuh. Aih, so sweet! Ahaha
Dusun Nirmala
Pukul 4 sore kami sampai di depan
rumah Pak Ozi. Terlihat beberapa pria paruh baya keluar dari rumah pak Ozi,
kabarnya mereka baru saja selesai mengadakan rapat. Pak Basri pun
memperlihatkan batang hidungnya dalam rapat tersebut.
Setelah berkenalan dan
ngobrol-ngobrol sebentar, kami pun memulai sesi wawancara. Masih dengan
pertanyaan yang sama, yaitu tentang sebutan kampung Tokyo. Pak Ozi pun
menunjukkan reaksi yang tak jauh berbeda dengan Pak Basri.
Bersama Pak Ozi |
“Kamu orang kedua yang nanyain soal sebutan Kampung Tokyo, kemarin juga
ada. Jadi gini, kayaknya karena bentuk bangunan yang semuanya seragam. Kalau sepengetahuan
saya kalau Kampung Tokyo untuk nama Malani kayaknya orang yang berkepentingan
untuk menarik perhatian orang (wisatawan), jadilah suatu cerita atau gimana gitu. Bangunan dulu
lebih tertata lebih bagus, sehingga orang yang datang ke sini, ‘oh kaya Kampung
di Tokyo’, gitu.” Jelasnya
“Lagian kita harusnya lebih bangga dengan khas daerah sendiri, bukan
sebutan dari daerah (nama negara) luar.”tambahnya
Pak Ozi juga menuturkan kalau adat istiadat di Desa Wisata Malasari tidak jauh berbeda dengan tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Bogor pada umumnya seperti peringatan tahun baru Islam, Maulid Nabi Muhammad SAW, tahun baruan, dan lain-lain. Selain itu di Desa Wisata Malasari, anak-anak juga diajarkan cara melestarikan budaya dengan membuka kelas pencak silat, dan angklung yang biasa diajarkan di akhir pekan. (Sunda pisan, nggak ada jepang-jepangnya)
Pak Ozi juga menuturkan kalau adat istiadat di Desa Wisata Malasari tidak jauh berbeda dengan tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Bogor pada umumnya seperti peringatan tahun baru Islam, Maulid Nabi Muhammad SAW, tahun baruan, dan lain-lain. Selain itu di Desa Wisata Malasari, anak-anak juga diajarkan cara melestarikan budaya dengan membuka kelas pencak silat, dan angklung yang biasa diajarkan di akhir pekan. (Sunda pisan, nggak ada jepang-jepangnya)
Oke oke. Sepertinya cukup sampai
di sini konsentrasi kami soal sebutan Kampung Tokyo karena memang tidak ada penjelasan
yang benar-benar real soal nama
tersebut. Saatnya berfokus kepada hal lain. Misal, bagaimana kalau kita mulai
berkeliling Dusun Nirmala mencari hal-hal baru? Masih pukul 05 sore saat itu,
saya mengajak Aulia berkeliling kampung untuk jalan-jalan sore.
Langit kembali cerah sehabis
diguyur hujan di siang hari. Jalan bebatuan yang tadinya basah mulai mengering.
Kami memulai perjalanan jalan-jalan sore itu dari rumah Pak Ozi yang terletak
cukup tinggi sehingga kami bisa melihat panorama Dusun Nirmala dari ketinggian.
Dusun Nirmala lebih luas dari Dusun Malani karena merupakan titik sentral Desa
Wisata Malasari. Kami mulai menapaki jalan menurun menuju desa yang sore itu
terlihat cantik maksimal dikelilingi hijaunya perkebunan teh.
Ada sebuah bale bambu tanpa atap
berdiri tegak di pinggir jalan setapak yang berkelok.
(dok. pribadi) |
Gunung Salak dari kejauhan (dok. pribadi) |
Lokasi instagramemble (dok. pribadi) |
“Ceu santai dulu di situ yok sambil ngemil.”Ajak saya kepada Aulia
“Ayok”
Ngemil sore |
Orang kampung main ke kampung. Itulah kami. Tapi Desa Wisata Malasari punya rasa yang berbeda. Dimulai dari keramahtamahan luar biasa yang kami dapatkan dari kesan pertama, selanjutnya adalah kenikmatan bersantai di sebuah bale bambu yang menyajikan panorama suasana Dusun Nirmala dari ketinggian sambil menunggu matahari terbenam. Kami memakan beberapa bekal yang dibawa dalam ransel kecil sambil melihat sekelompok anak kecil bermain petak umpet.
Senja di Dusun Nirmala (dok. pribadi) |
(dok. pribadi) |
“Sama”Jawabku
Kamu tahu apa yang saya rasakan
saat itu? Saya merasa mendapatkan kembali sesuatu yang hilang. Maksudnya? Ah,
sukar dijelaskan, hehehe.
Kamu benar, kita selalu punya masa-masa berharga bersama setiap teman. Kami sangat dekat semasa SMA dan cukup berjarak saat ia memutuskan berkuliah di Jakarta. Kami sibuk bermain dalam dunia kami sendiri-sendiri saat itu. Kini dunia menariknya kembali, mempertemukan kami sebagai pribadi yang berbeda namun dengan keakraban yang sama. Dan sekali lagi kamu benar, yang terbaik dan terdekat akan selalu kembali sejauh apapun setapak menciptakan jarak.
Dan saat-saat seperti itulah yang
akan selalu kami rindukan dari setiap perjalanan. Saya yakin betul itu, dan Auliapun
terlihat sama yakinnya.
Tak terasa Adzan Magrib mulai
berkumandang, bergegas kami menuju masjid Dusun Nirmala sambil memperhatikan
interaksi warga sekitar. Ibu rumah tangga bergegas berbenah dan menutup pintu
rumah, sedang remaja dan anak-anak bergegas menuju masjid menjinjing sarung dan
mukena.
Menuju masjid (dok. pribadi) |
Di Masjid
Kami terlambat sampai di masjid
karena keasyikan mengambil gambar sehingga ketika kami sampai, shalat berjamaah
ternyata telah usai. Tapi di penghujung hari itu, tepat di depan pintu gerbang
masjid yang mungil, hati kami tersentuh untuk ke sekian kalinya. Puluhan
anak-anak mendatangi kami untuk bersalaman. Mungkin tampilan hijab Aulia yang alhamdulillah sudah syar’i mengingatkan
mereka akan guru mengaji yang sudah lama hilang, hehehe.
(dok. pribadi) |
(dok. pribadi) |
Saya dan Aulia Cuma bisa
senyum-senyum sendiri karena merasa kehadiran kami begitu dihormati. Tak lama
kamipun berkenalan dengan mereka.
“Teteh mau solat? Bawa mukena?” tanya Desi, salah seorang anak yang
berinisiatif bertanya kepada kami
“Nggak bawa dek hehe.”
Dengan sigap ia pun membawakan
kami mukena yang menggantung di sudut ruangan masjid setelah menunjukkan kami
tempat wudhu. Saya dan Aulia akhirnya shalat berjamaah hanya berdua saja.
Mereka memperhatikan gerakan shalat kami dan duduk di sekitar tempat kami
shalat. Setelah shalat selesai, kami pun membuka obrolan.
“Kalian belum pulang ke rumah?”
“Belum teh, kan ada pengajian dulu nanti sampai jam setengah delapan
sama Pak Ustadz.”
“Oh gitu.”
Desi pun meninggalkan kami
sejenak, dan tak disangka apa yang dibawanya untuk kami ketika kembali. Dua
buah Al-Qur’an yang dengan lembut disodorkannya kepada kami berdua.
“Teteh mau ngaji?”
Saya dan Aulia melamun beberapa
detik, merasa ada yang menekan dada kami dalam beberapa saat. Jleb kalau bahasa kerennya kali ya. Pada
saat itu rasanya saya ingin bilang sama Aulia kalau kita ada di tempat yang
seharusnya kami datangi sejak dulu. Sebuah tempat yang tak hanya menyajikan
keindahan alam, tapi keindahan hati orang-orangnya, yang selalu mengingatkan
kami akan Tuhan yang Maha Segala.
“Mau!” jawab kami tanpa ragu
Kamipun mengaji dan membuka surat
Al-Kahfi meskipun hanya beberapa puluh ayat. Anak-anak duduk mengelilingi kami
sambil memasang tatapan dengan rasa penasaran dan keingintahuan. Saya sempat
gugup, nggak biasa ngaji diliatin begitu, tapi gimana lagi, yang penting fokus
aja sama ngajinya.
Anak-anak Dusun Nirmala (dok. pribadi) |
Tatapan-tatapan itu, rona-rona wajah itu, menampakkan buncahan rasa penasaran yang tak lagi terbendung. Seolah ada yang harus kami ceritakan dari suasana di dunia luar sana, yang terus menggerakan keingintahuan yang ditawarkan manis oleh layar televisi.
Aulia pun mengajak mereka
mengobrol, sedang saya hanya menjadi pendengar sampai akhirnya pengajian
anak-anak akan segera dimulai. Kami tak sempat menyapa pak Ustadz karena
sebelumnya tengah sibuk berdzikir dan langsung dilanjut mengajar mengaji. Kamipun
memutuskan untuk kembali ke rumah pak Ozi untuk beristirahat sebelum memulai
petualangan esok hari.
Esok Hari
Udara pukul setengah lima pagi di
Dusun Nirmala begitu dingin. Entah apa jadinya kalau kami tidur tanpa selimut
tebal yang dipinjamkan Widia, anak Pak Ozi yang dengan ikhlas membiarkan kami
menginap di kamarnya. Tapi pertunjukan matahari terbit akan segera dimulai,
membasuh tubuh kami dengan kucuran air dingin itu langsung mengilangkan rasa
kantuk. Pukul 5 lewat seperempat, kami bergegas keluar dari rumah Pak Ozi untuk
menikmati udara pagi di Dusun Nirmala.
Sasaran kami yang pertama adalah
mencari bukit yang bisa menyajikan panorama Dusun Nirmala secara keseluruhan
sambil menikmati roti untuk sarapan. Terlihat sebuah bukit mungil dari
kejauhan, letaknya tak jauh dari masjid tempat kami shalat semalam. Kami pun
menyusuri urat-urat jalan setapak di sekitar kampung. Sebagian warga terlihat
sedang berjalan menuju kebun teh untuk melaksanakan pekerjaan rutin mereka.
Kali ini mereka memetik teh bukan di sekitar Dusun Nirmala, kabarnya mereka
memetik teh di sekitar Kampung Citalahap. Yup, Kebun Teh Nirmala yang mempunyai
luas 971,22 hektar memang memungkinkan para pemetik tehnya menyebar di
mana-mana. Malah kadang, perlu upaya yang cukup keras untuk menemukan titik
keberadaan para pemetik teh.
Kami berpapasan dengan sebagian
warga Dusun Nirmala pagi itu, namun ada jejak yang ditinggalkan di setiap tatap
muka, yaitu senyuman. Warga di Desa Wisata Malasari memang ramah luar
biasa, bikin saya dan Aulia makin betah
pastinya.
Jalan pagi |
(dok. pribadi) |
(dok. pribadi) |
Tak terasa, bukit yang dituju
sudah di depan mata, hanya 5 menit jalan menanjak, kami sudah sampai di
puncaknya, sebuah bukit kebun teh yang di atasnya mulai gundul tak berpohon.
(dok. pribadi) |
Dari atas bukit tersebut, kami bisa melihat panorama seluruh perkampungan di barat dan panorama kebun teh serta Gunung Salak dan Gede Pangrango di sebelah timur.
(dok. pribadi) |
(dok. pribadi) |
(dok. pribadi) |
Setelah puas membekukan
pemandangan melalui kamera, kami duduk-duduk sambil makan roti dan air putih.
Kata Aulia, kita lagi ada di puncak kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan. Aulia
memang terlihat sangat senang dengan tempat ini. Katanya kalau liburan, ia suka
berwisata budaya sekaligus wisata sosial. Ia lebih suka melepas penat dengan
berbaur dengan orang-orang baru di kampung-kampung orang. Berinteraksi, mempelajari
budaya dan memetik pelajaran-pelajaran baru. Di antara celotehan-celotehannya
yang sering bikin tangan gemes pengen nyomot
bibirnya, tapi saya sungguh sepakat untuk yang satu ini.
Kearifan lokal memang selalu menarik perhatian. Di dunia yang luas ini, hamparan manusia dengan cara hidup berbeda selalu siap menerima kedatangan para pembosan yang rindu akan keutuhan dirinya sendiri. Di tempat-tempat itu, pendatang dan pribumi sama-sama menawarkan hal-hal baru. Dan Bogor, adalah ‘rumah’ yang tak kunjung usai disetapaki.
Ketika asyik bercengkrama,
tiba-tiba Desi dan temannya Euis menghampiri kami berdua dengan nafas
ngos-ngosan (sekedar mengingatkan kalau mereka anak-anak di pengajian semalam).
Katanya, mereka melihat kami dari jendela kelas sekolah dan bergegas datang ke
sini. Pukul setengah delapan saat itu dan sekolah baru dimulai pukul delapan.
“Pelajaran apa hari ini?”, tanya saya.
“Kita lagi tes kak sekarang.”
“Oh ya? Pelajaran apa tuh tesnya?”
“Bahasa Inggris sama Agama kak.”
“Wow asik, yuk latihan bahasa inggris bareng!”
“Ayok kak, tapi tebak-tebakan nama benda aja ya.”
“Siap!”
Di atas bukit mungil itu, kami
berbagi sedikit ilmu kepada Desi dan Euis, murid kelas lima SD di Dusun Nirmala.
Tak perlu jauh-jauh mencari kosakata, kami mengajarkan bahasa inggris dari nama
benda-benda yang terlihat di mata saat itu. Ada matahari, teh, bukit, rumah,
buah-buahan, bulan yang terlihat samar, pohon, dan lain-lain.
Di Desa Wisata Malasari sendiri,
fasilitas sekolah hanya sampai SMP saja, itupun SMP Terbuka. Kalau mau lanjut
ke jenjang SMA, mereka biasanya bersekolah di Nanggung atau Leuwiliang dan
menyewa kontrakan karena jarak tidak memungkinkan untuk pulang pergi.
Desi sempat bercerita kalau di Desa Wisata Malasari cuma ada satu pasar, yaitu pasar bulanan. diadakannya hanya pada awal bulan di setiap bulannya (mungkin pas gajian ya hehe). barang-barang yang dijual pun seperti pasar pada umumnya.
Desi sempat bercerita kalau di Desa Wisata Malasari cuma ada satu pasar, yaitu pasar bulanan. diadakannya hanya pada awal bulan di setiap bulannya (mungkin pas gajian ya hehe). barang-barang yang dijual pun seperti pasar pada umumnya.
Desi dan Euis mengajak kami
bermain sepulang mereka sekolah, tapi sayang, kami ada rencana lain mengunjungi
Kampung Citalahap untuk mengambil gambar
para pemetik teh. Andai motor kami ada dua, kami bisa mengajak Desi dan Euis.
Lain kali aja ya nak, hehehe.
Satu jam kemudian, kami bergegas
mengambil motor yang terparkir di rumah Pak Ozi. Sebelum berangkat, kami
dipersilahkan makan terlebih dulu oleh istri Pak Ozi, sedangkan sang kepala
dusun terlihat tak ada di rumah, sudah berangkat kerja. Galih, si bungsu putra
Pak Ozi ikut makan dengan kami. Ia terlihat senang bertemu orang-orang baru dan
cepat sekali akrab. Kami tak kalah senang dengan Galih, bocah lima tahun
berkepala botak dengan gigi ompong itu selalu terlihat lucu ketika tertawa.
Dusun Citalahab
Pukul 10 pagi, kami memulai
perjalanan menuju Citalahab untuk melihat bagaimana suasana di sana sekaligus
bertemu para pemetik teh yang sedang bekerja. Jalan berbatu menuju ke sana
cukup terjal dan terdapat beberapa kubangan berlumpur. Kekuatan tangan dan
pengaturan gas motor yang tepat sangat dibutuhkan di kondisi jalan seperti itu.
Boro-boro mau menikmati pemandangan, mata saya hanya terpaku pada jalanan. Lain
halnya dengan Aulia, meskipun sambil berpegangan, matanya jelalatan menikmati
suasana kebun teh yang terhampar luas nan indah.
Setengah jam kemudian, kami
sampai di Dusun Citalahab. Sekedar gambaran, Dusun Citalahab terbagi ke dalam
dua titik. Kami sudah sampai di titik pertama, namun suasana di sini sepi
sekali. Mungkin hanya ada belasan rumah di sana, juga sebidang tanah seperti
lapangan futsal yang terbuka, hanya ditutupi jaring transparan berwarna hijau
di sekelilingnya. Dan yang terpenting, kami belum menemukan pemetik teh.
Kami pun memutuskan melanjutkan
perjalanan untuk berburu pemetik teh, tapi tanpa terasa kami sampai di Dusun
Citalahap 15 menit kemudian. Dari atas tampak sungai mengalir dengan jernih.
“Aulia, main ke sungai yuk! Asik noh kayaknya.”
Akhirnya kami menemukannya,
sebuah jalan setapak yang telah dicor terletak di sebelah kanan berkelok.
Terdapat plang Kampung Citalahap. Kamipun meluncur di jalan cor semen itu.
Rasanya pantat kami sudah pegal betul dihantam jalan berbatu. Titik sungai itu
kami temukan. Alamak jernih sekali dan segar airnya. Saya bermain gemericik air
sebentar, dingin. Rasanya ingin sekali mandi menceburkan diri, tapi sayang,
kami nggak bawa baju ganti.
Sungai Citalahab tidak terlalu besar, namun cukup deras, tidak terlalu dalam, namun cukup kalau mau berendam. Dan yang terpenting adalah, NO SAMPAH. Ini tidak berlebihan dan ini serius. Di sana tidak ada sampah kecuali sampah ranting pepohonan. Titik kedua Dusun Citalahab lebih luas dibanding titik pertama. Tapi suasananya tak jauh berbeda, tetap sepi karena mayoritas penduduk pergi memetik teh. Fyi, Dusun Citalahab memiliki fasilitas homestay untuk para wisatawan yang ingin menginap. Buat kamu yang kangen banget dengan suasana kampung yang asri dan damai, homestay di Dusun Citalahab ini cocok banget dijadikan destinasi liburan bersama keluarga.
Saya dan Aulia cuma sebentar main-main di sekitar sungai Citalahab dan melanjutkan perjalanan ke arah jalur menuju perkampungan Cikaniki untuk menyusuri perkebunan teh.
Setelah sekitar 10 menit kembali
menempuh perjalanan berbatu, finally
kita ketemu sama sekelompok pemetik teh yang sedang bekerja. Mereka sedang
mengambil teh di titik sekitar jalan raya sehingga mudah untuk kami
menemukannya. Kamipun menghampiri mereka dan memperkenalkan diri serta meminta
izin untuk mengambil gambar.
(dok. pribadi) |
(dok. pribadi) |
(dok. pribadi) |
“Eh kata siapa bu? Pada manis gitu masa dibilang jelek hehehe.”
Balasku membantah
Sambil cengegesan saya pun
melanjutkan kegiatan berfoto ria sambil sesekali menggoda mereka. Sedangkan
Aulia, sibuk mengobrol dengan salah satu pemetik teh lainnya. Kata ibu-ibu kece
itu, setiap minggu mereka berpindah-pindah area untuk memetik teh, sesuai
komando pastinya. Biasanya pucuk teh akan kembali bisa dipanen dalam belasan
hari.
Para pemetik teh biasanya
menggunakan pisau kecil yang agak dimodifikasi untuk mempermudah dan
mempercepat pemetikan teh serta sarung tangan yang tebal untuk melindungi
tangan mereka. Perkebunan teh Nirmala sendiri pernah memasok daun-daun teh
untuk perusahaan-perusahaan besar. Sebut saja teh W*lini, S*sro, dan saat ini
sedang memasok teh untuk S*riwangi.
Ternyata memetiik teh bukan
sekedar memotong pucuk teh dari batangnya, ada teknik khusus yang harus
dipahami para pemetik teh. Para pemetik teh harus tau daun seperti apa yang
harus dipetik serta batasan kelunakannya untuk menghasilkan teh terbaik. Teh
yang telah dipetik biasanya dimasukkan kedalam karung terbuka dan diikat
silang.
Sekitar pukul satu siang, truk dari pabrik akan menjemput pucuk-pucuk
teh tersebut dan membawanya ke pabrik untuk diolah. Pada umumnya, pabrik
pembuat teh tidak akan terletak terlalu jauh dari kebunnya, ya salah satunya
perkebunan teh Nirmala, letaknya ada di samping rumah Pak Ozi, rumah kepala
dusun tempat kami menginap.
Salah satu sisi positif menjadi
pemetik teh di Nirmala adalah jam kerja yang biasanya hanya sampai pukul 2
siang, selebihnya, mereka bisa mengurus anak dan keluarga di rumah yang
diberikan oleh perusahaan. Kalau hari minggu dan tanggal merah, biasanya mereka
libur kerja. Makanya, rata-rata dari para pendatang betah tinggal di Dusun
Nirmala sampai memiliki keturunan dan menikah dengan warga setempat. Salah satu
syarat bisa menempati rumah di Dusun Nirmala tidak terlalu rumit, yaitu hanya
cukup menjadi karyawan di PT Nirmala. Mau berapapun jumlah keluarga yang
tinggal di rumah tersebut, yang penting salah satunya bekerja untuk perusahaan.
(dok. pribadi) |
Karyawan baru |
(dok. pribadi) |
(dok. pribadi) |
Matahari mulai turun perlahan
setelah puas berada tepat di atas kepala. Setelah puas mengambil gambar dan
mengobrol, kami bergegas pulang ke rumah pak Ozi untuk packing barang-barang dan pulang ke rumah.
Pulang
Pukul 2 siang kami berpamitan
pulang kepada pak Ozi dan keluarga, termasuk anak sulung Pak Ozi yang dua tahun
lebih tua dari kami. Widia, satu-satunya bidan di Dusun Malani yang mengabdikan
dirinya untuk menjadi tenaga kesehatan di kampungnya sendiri. Kata Pak Ozi,
untuk apa kita sibuk mencari orang luar kalau kita bisa memberdayakan
orang-orang di Kampung sendiri. Bidan Widia sendiri setiap hari praktek di
klinik mungil yang terletak tak jauh dari sekolah. Kalau di rumah pun ia kerap
menerima pasien. Ketika kami menginap di kamarnya, tampak deretan botol obat
tersimpan di atas sebuah meja. Beberapa waktu sebelum pulang pun kami mendapati
seorang ibu membawa anaknya yang sakit ke rumah Pak Ozi, badannya panas dan
batuk terus menerus katanya.
Pak Rando dan pasukan Brimob
sudah meninggalkan Dusun Nirmala sejak pagi, kamipun berpamitan dan berterima
kasih kepada Pak Rando lewat handphone, kami bersyukur dipertemukan dengan Pak Rando
yang sangat memudahkan kami selama di Dusun Malani, dan tentunya jadi jauh lebih
mudah lagi karena warga setempat rupanya sangat terbuka dengan para wisatawan. Sempat menyesal sih karena nggak foto bersama dengan Pak Rando dan kawan-kawan.
Sebenarnya sih kami masih ingin mengeksplor Desa Wisata Malasari menuju Dusun Cikaniki, tapi waktu nggak memungkinkan. Kabarnya di sana ada wisata Kanopi, Camping Ground, Outbond, jamur menyala di malam hari, dan masih banyak lagi. Hmmm, mungkin next ya Cikaniki, hehehe.
Sebenarnya sih kami masih ingin mengeksplor Desa Wisata Malasari menuju Dusun Cikaniki, tapi waktu nggak memungkinkan. Kabarnya di sana ada wisata Kanopi, Camping Ground, Outbond, jamur menyala di malam hari, dan masih banyak lagi. Hmmm, mungkin next ya Cikaniki, hehehe.
Setelah berpamitan, kamipun
memulai perjalanan pulang, meskipun sedikit gerimis saat itu, tapi tak apalah
daripada hujannya keburu besar. Eits, sebelum pulang, kami berfoto ria dulu di tumpukan pipa yang ada di depan rumah Pak Ozi.
Meskipun sederhana, perjalanan
wisata ke Desa Wisata Malasari nyatanya meninggalkan kesan yang mendalam di
benak kami berdua. Niat awal kami untuk kepo
dan memastikan tentang keberadaan Kampung Tokyo berbelok menjadi menikmati
kenyamanan dari kearifan lokal. Benar kata Pak Ozi, untuk apa bangga dengan
sebutan Kampung Tokyo kalau bisa bangga dengan jati diri dan kekhasan kita
sendiri.
Kami sama-sama ingin kembali di
lain hari. Kamu tahu kan? Meskipun kita berkali-kali mendatangi tempat yang
sama, selalu ada langit dan angin yang berbeda, cerita serta juga sudut pandang
yang juga berbeda. Terima kasih Desa Wisata Malasari, izinkan kami kembali
suatu saat nanti.
Aku akan tetap
seperti ini,
Dengan segala yang
kusukai,
Dengan
tempat-tempat yang selalu ingin kudatangi,
Dengan beragam orang-orang
yang selalu ingin kutemui,
Aku akan tetap
seperti ini,
Mempertahankan
sisi-sisi terbaik yang masih kumiliki,
Dan semoga akan
tetap kumiliki,
Walau arah angin
berubah-ubah,
Kuharap teguhku
takkan berulah,
Terima kasih Dusun
Malani,
Kau ajarkan kami
arti menghormati.
Yuk, kepo lebih lanjut suasana Desa Wisata Malasari lewat video dokumentasi berikut ini!
Yuk, kepo lebih lanjut suasana Desa Wisata Malasari lewat video dokumentasi berikut ini!
Lengkap kap kap ceritanya, seru banget mbak, aku jadi merasa ikutan berada di sana. Jadi ingat dulu akhir th 99 PKL di dusun, suasananya persis kaya gini, penduduknya ramah-ramah
BalasHapusIya mbak, kayaknya harus nostalgia lagi nih liburan ke sana ya hehehe
HapusSeru banget ini perjalanannnya
BalasHapusSuasanan desanya juga masih asri banget gitu. Jadi pengen kesana deh
Suka sekali liat wajah2 ceria anak desanya. Tanpa beban ya mereka
Iya Mbak Putu, tempat yang cucok untuk melepas penat dari hiruk pikuk era millenial wkwkwk
Hapuswaaah, keren ini duo hijabers explorer namanya
BalasHapuskalian berdua berani sekali maen ke kampung orang sampe nginep segala. salut-salut
baru tau juga ada kampung ini, jadi penasaran untuk explore kesana. itu lokasi persisnya dimana sih?klo ada titik koordinatnya bakal membantu nih
nuhun, ditunggu cerita selanjutnya.
Bukan berani sih kang, nekad tepatnya wkwk. Wah masukan tuh buat next masukin titik koordinat. Itu persisnya di Bogor Barat, dari Leuwiliang ke arah Leuwisadeng terus ke arah Nanggung dan ikutin terus jalan menuju Taman Nasional Halimun Salak. Dari gerbang TNGHS sekitar satu jam.
HapusBaru tau saya. Saya orang Bogor merasa gagal...ihikz
BalasHapusBangkit dari kegagalan dengan main kesana mbak Een hihihi
HapusSaya sudah ksini brangkat lewat sukabumi pulang lewat lewiliang gila pemandangan lewat sikabumi indah bngt,desa terindah di jawabarat kyny ad di sini kbon teh puncak g ad apa apanya,hutanny lebat bngt,gunung tehny luas,ini jalur kalo jlnny bagus kbon teh ini ud kelas dunia,kaya obat nyamuk dari ataas,desA wisata citalahab malasari indah bngt,dari ats bukit ky surga ,sungai,sawah,hutan,gunung bagai lukisan, trimah kasih dari saya d tangrang
HapusItu cerita saya kemping d citalahab malasari
HapusJemy d tangrang 081298436990
HapusKeren ceritanya, lengkap banget. Dan yang pastinya dua orang dalam cerita ini ialah pemberani. Karena jalan menuju kesana itu gag mudah.
BalasHapuslebih ke nekat si mas hehehe
HapusKalian luar biasa,
BalasHapusCerita yg sangat inspiratif
Jadi pgn tinggal disana
Suatu
BalasHapusSuatu saat sy ingin ksana lagi, oh yah kalo malam hari bintang ny besar besar bngt indah sekali ,wktu kemping pinggir sungai saya mendusin, paas kluar tenda liat k atas masy allah bintang banyak skali dan besar besar ud gitu terasa dekat ,sy aampe mnitikan air mata melihat kbesaran sang pencipta,beda kalo di jkt, bintang jau dan kecil,itulah pngalaman kemping saya, by jemy d tangrang kontak. 081298436990
pasti nagih banget ya kemping disana lagi hehehe
HapusBagus banget ceritanya, maaf mau tanya kalo homestaynya itu gabung satu atap sama penduduk sekitar atau sendiri? Makasih
BalasHapusKalo homestay jujur saya belum pernah nginap. Tapi saya ada info kalo homestay adanya di dusun citalahab. di sana tidak satu atap sama warga. ada tempat khusus. kalau mau lihat jamur menyala di malam hari bisa diantar guide.
Hapuspaket wisata sukabumi
BalasHapustour travel sukabumi
paket adventure sukabumi
ini jalurnya dari puraseda nanjak trus atau masih ada landainya?
BalasHapuskeren, kalau boleh tau pakai mobil bisa ke sana ga? jalannya bagus ga?
BalasHapusAgen Slot Terbaik
BalasHapusPanduan Slot
LK21
Agen Slot Terbaik
BalasHapusPanduan Slot
LK21Agen Slot Terbaik
Panduan Slot
LK21
Ahhh tulisannya seperti merayu untuk trip juga 😍😍😍
BalasHapusLIGASUPER88 Pusat Games Taruhan Online TerBaik Dan Terpercaya !!!!!
BalasHapusPromo Spesial :
» New Member Sportsbook 30%
» New Member Live Casino 30%
» New Member Slot Online 50%
» Cashback Sportsbook 10%
» Rollingan Live Casino 1%
» Rollingan Slot Online 1%
Permainan Tersedia :
» Sbobet Sportsbook
» Sbobet Casino
» Sbobet Toto Draw
» Ibcbet/Maxbet
» Sabung Ayam
» Tembak Ikan
» Slot Pragmatic Play
» Slot Habanero
» Slot Spadegaming
» Slot Joker
» Slot Microgaming
» Slot Toptrend
» WM Casino
» Sexy Bacccarat
» Ebet Casino
Support Bank Ligasuper88 :
BCA >MANDIRI >DANA >BNI >BRI > GO PAY > OVO > PANIN > ATM BERSAMA
Daftar & Jutawan Sekarang Juga !
Hubungi Kontak Kami Dibawah ini (Online 24 Jam Setiap Hari) :
» Whatsaap 1 : +85561375501
» Whatsaap 2 : 081315849567
» Line : Ligasuper88
» Link : www.ligasuper88.com
Assalamualaikum kakak...boleh saya minta izin save fotonya...?
BalasHapusSaya butuh untuk penelitian tentang perkebunan teh itu...