Langsung ke konten utama

Dieng, dan 3 Hal Yang Menjadikannya Cinta Pertama


Satu adalah bilangan
Dua, tiga, dan seterusnya pun demikian
Mereka terhitung, dan dapat dihitung
Kapanpun, bahkan saat kau tidur sekalipun

Sedang kata ‘Pertama’ adalah jauh berbeda

Ia tidak bicara soal bilangan, ia serupa kejadian
Menembus tanda tanya yang tak terencana
Menjadi bagian hidup dan tak mudah terlupa

Cinta dan kata-kata jatuh membedaki bumi lewat langkah kaki

Perjalanan hangat di tengah kepungan udara yang dingin
Di antara bunga Daisy yang lelap dipeluk embun pagi
Aku dan kalian, melebur sampai lupa ingatan

Di desa tertinggi, ambisi kami mulai meninggi …


Cinta itu sifatnya universal, setuju kan para pemirsah? Luas, lebih luas dari yang kita kira. Dan lewat tulisan ini saya akan ceritakan pengalaman jatuh cinta (sejatuh-jatuhnya) pada satu hal bernama ‘perjalanan’. Dan sebuah perjalanan jatuh cinta itu membawa saya dan teman-teman ke desa tertinggi di Indonesia. Inilah Dieng, dan 3 hal yang menjadikannya cinta pertama;

1. Pergi Bersama Travelmate


Travelmate. Sebutan saya untuk orang-orang yang sering melakukan beragam petualangan bersama-sama. Orang-orang yang kalau pergi sama mereka, bisa bikin traveling jadi lebih berasa. Orang-orang yang siap sedia saling menjaga dan saling menawarkan tangis dan tawa.

Adis dan Dhebul, sebagian orang yang saya nobatkan jadi travelmate. Sahabat saya dari SMA yang sekarang jadi sahabat perjalanan pula. Menyelami keindahan Dieng bersama mereka menjadi pengalaman indah tak terlupakan. Apalagi, ini adalah kali pertama kami bertiga pergi keluar Jawa Barat tanpa ada embel-embel acara keluarga atau tour sekolah. 
Tiga wanita beda karakter pergi melawan rasa takut. Tapi pengalaman baru, memang selalu minta dijemput.
Banyak hal seru yang kami lewati selama perjalanan ke Dieng. Mulai dari drama-drama cantik di Stasiun Senen karena ngerjain Dhebul yang belum lama ulang tahun. Sampai nangis-nangis pula dia minta pulang (yang ini sumpah ngeselin hahaha).

Dilanjut tertawa-tawa bersama dua orang teman baru di kereta Kutojaya Utara. Mereka baik sekali. Saya sempat dipinjamkan teko listrik untuk bikin kopi dan akhirnya jadi pengalaman masak air pertama di kereta api. Sebentar, teko ? iya, dua teman baru kami pasangan paruh baya yang hendak mudik ke kampung halaman. Jadi tak heran kalau mereka bawa teko, hehehe. Kami tak henti-hentinya ngobrol dan jari mereka sesekali menunjukan kami pemandangan indah di luar jendela kereta. So sweet …


Malam sesampainya di Dieng, kami saling pijit-pijitan di penginapan ibu Tuti yang berhasil kami sewa dengan harga Rp. 50.000 (sebuah rumah sederhana dengan fasilitas lengkap) demi mempersiapkan diri untuk petualangan esok hari. Serta banyak hal lain yang tak bisa dijabarkan dalam poin ini satu persatu.

Namun bukan berarti semua yang dirasakan oleh kami bertiga selama di perjalanan adalah sepenuhnya kebahagiaan. Perjalanan yang sebenarnya seringkali membuat banyak sisi muncul. Termasuk sisi yang tidak menyenangkan dari diri kami masing-masing.
Ada yang bilang, kalau kamu mau melihat karakter sebenarnya dari sahabatmu, ajaklah mereka naik gunung dan lakukanlah petualangan. Ya, saya sudah melihatnya dan pilihan saya adalah hidup bersama sebenar-benarnya sifat-sifat itu.
Setelah berteman selama beberapa tahun, saya baru sadar kalau Dhebul adalah orang yang baperan banget dan cepat ambil kesimpulan yang belum tentu kebenarannya. Tapi untung baperannya lumayan cepet ilang. Kalau Adis agak kurang peka dan sikap cueknya masih betah menetap sehingga kita harus usaha lebih keras kalau mau kode. Untungnya sikap cueknya tidak diiringi dengan sikap banyak protes dan banyak mengeluh.

Kalau saya? Ga afdol kayaknya kalau harus saya sendiri yang nilai. Tapi saya teringat perkataan Adis di pantai dulu bahwa saya sering mengabaikan hal-hal kecil yang sebenarnya penting. Kalau penilaian lain pasti ada, saya pikir sikap saya yang terlalu sering spontan kadang bikin mereka kerepotan. Maafin ya teman-teman, hehehe. Di luar itu, soal penilaian yang lain saya biarkan kepada mereka untuk menilai.
Yang paling menyenangkan dalam perjalanan adalah bertemu diri kita sendiri dan juga mereka. Para kekasih jiwa yang merangkul kita erat, tak meragukan mimpi kita, dan tak melepaskan genggamannya bahkan ketika diri sendiri pun meragu. Mereka yang setia berjaga di depan pintu, melepas kita untuk melakukan perjalanan dan membukakannya kapanpun kita pulang. ~ Windy Ariestanty
So, kalau ada yang bilang traveling sama teman-teman itu cuma soal senang-senang. Kemarilah mendekat kawan, dan berikan padaku alasan dari hasil pengalamanmu sendiri yang mampu membuat mulutku diam.

2. Bertemu Superhero

Buat saya, perjalanan bukan melulu soal tempat-tempat indah. Bukan melulu soal nanti foto enaknya kaya gimana. Bukan soal nanti nginep dimana dan makan apa aja.
Perjalanan juga selalu bicara tentang orang-orang. Siapa yang kamu bawa dan siapa saja yang kamu temui. Apa yang kamu beri dan apa saja yang kamu petik. Orang-orang baru berarti sudut pandang baru.
Dan perjalanan ke Dieng mempertemukan kami dengan Superhero yang satu ini;

Pak Supri namanya. Kami bertemu pak Supri di sebuah angkot jurusan terminal Banjarnegara – Alun-alun. Tempat yang memang agak anti mainstream untuk bertemu orang-orang inspiratif. Tapi memang Tuhan menyediakan pelajaran-Nya di mana-mana. Bahkan di dalam lubang semut sekalipun.

Di angkot yang berdesak-desakan itu, terdapat satu bangku kecil terpasang di bawah jendela belakang. Diduduki oleh pria paruh baya yang menggendong seorang balita perempuan menggunakan kain panjang. Badannya yang kecil mengenakan kaos putih lusuh terlihat agak kelelahan. Angkot yang sesak dan gerah membuat kepalanya yang plontos mengalirkan keringat tiada henti.

Kami memperhatikan beberapa saat sambil sesekali mengeluh soal kelakuan kenek bis yang kurang menyenangkan. Bikin ribet perjalanan. Pak Supri rupanya memperhatikan dan mulai membuka obrolan.

Pak Supri membantu kami yang sempat kebingungan harus dimana naik Mini Bus ke Dieng. Dengan semangat, dia memberitahu kami informasi penting tersebut dengan kalimat yang agak terbata-bata. Meski agak sulit dipahami, kami mencoba mendengar dengan sepenuh hati.

Beruntung sekali ada yang mengerti kebutuhanmu tanpa perlu diminta. Dan selain berbaik hati memberikan kami informasi, Pak Supri ternyata menyimpan hal berharga lain yang siap untuk digali.

“Itu anak bapak ? berapa umurnya ?” Kata Dhebul yang mulai kepo 

“Iya anak saya, baru 3 tahun. Yang ini juga 2 anak saya.” Sambil mengelus anak laki-laki dan perempuannya yang duduk tepat di hadapan kami. (Kita baru sadar)

“Bapak darimana emang ?”

“Bapak mau pulang ke rumah sebentar, dari kerjaan parkir mba.”

“Bapak habis kerja? Si adek-adek ini ikut juga?”

“iya selalu ikut kerja to mba, ga ada yang jagain soalnya. Istri saya sudah meninggal ndak lama setelah melahirkan yang bungsu.”

Kami bertiga mulai bengong. Pria setengah tua yang kecil mungil dengan wajah kelelahan ini menjadi tukang parkir sambil membawa ketiga anaknya. Terbayang betapa melelahkannya jadi pak Supri. Tiga nyawa bergantung di pundaknya setiap hari. 

Jika ada orang yang pantas mengeluh soal kerasnya hidup, maka mungkin itu adalah Pak Supri. Tapi coba tebak? 15 menit obrolan berharga itu tak sedikitpun terdengar di telinga kami Pak Supri mengeluh, mengutuk-ngutuk kehidupan. Yang ada di pikirannya hanya bagaimana caranya agar ia bisa tetap bekerja dan membesarkan anak-anaknya.

Pertemuan itu mengajarkan banyak hal kepada kami bertiga. Namun, satu yang selalu saya ingat sampai hari ini,
Kadang kita butuh pergi ke suatu tempat yang bisa menyadarkan bahwa persoalan hidup kita tidaklah ada apa-apanya.
Kira-kira satu tahun setelah pertemuan itu, Adis bilang kalau Pak Supri masuk acara “Orang Pinggiran” di Trans7. Saya sedang di kampus dan tak bisa nonton acara tersebut. Cari tayangannya di youtube pun belum pernah ketemu. Jujur sampai hari ini saya masih saja penasaran dan berharap tiba-tiba episode pak Supri di acara “Orang Pinggiran” nongol di beranda youtube saya.

3. Kecantikan Alam Yang Luar Biasa

Provinsi Jawa Tengah bagi saya punya dua primadona kalau soal kecantikan alam yang eksotis. Yogyakarta dan Dieng (Wonosobo). Mungkin bisa disebut juga sebagai bunga provinsi kali ya, hehehe. Dan keindahan Dieng berhasil membuat kepala kami sampai geleng-geleng. Bukan karena ini merupakan kali pertama, kami sepakat mungkin keindahan dataran tinggi Dieng memang bisa bikin kita berkali-kali jatuh cinta.

Sawah Berundak


Dimulai dengan keindahan perbukitan yang dihiasi sawah sampai ke puncak bukit. Pikiran saya mulai penasaran, Kok bisa mereka bikin sawah sampai ke puncak bukit. Susah banget enggak ya tanam bibitnya? terus kalau panennya gimana? apa sayurannya langsung digelindingin ke bawah? Serta pertanyaan-pertanyaan lain yang cuma riuh di pikiran.

Ternyata, perbukitan di ketinggian 2000 mdpl tersebut pakai sistem terasering atau sengkedan. Sistem tanam yang katanya dilakukan dengan dengan sistem bertingkat untuk mengurangi erosi tanah dan memaksimalkan penyerapan air. Saya memang pernah ingat soal terasering di buku Geografi sekolah dasar. Dan pas mampir ke Dieng malah lupa. (Oh jadi bikin sawah sampai ke puncak bukit kayak gitu ada tujuannya ya, bukan iseng-iseng cantik doang, hehehe plakkkk!!!)

Telaga Warna dan Telaga Pengilon



Harus saya akui, kami pergi ke telaga warna di saat yang benar-benar tepat. Golden hour (waktu matahari belum terlalu meninggi) memang tak pernah main-main kalau soal bikin warna air jadi super duper indah. Termasuk keindahan Telaga Warna dan Telaga Pengilon .

Telaga Warna dan Telaga Pengilon dikenal sebagai danau cantik yang bisa berubah-ubah warna. Cahaya matahari mungkin bisa jadi salah satu faktor penyebabnya. Keindahan telaga warna berhasil membius kami bertiga ketika pertama kali bertatap pandang. Warna airnya yang kala itu hijau tosca dengan pohon-pohon berpucuk merah di sekelilingnya bak lukisan alam tiga dimensi.

Jalan setapak yang bersih, langit biru muda yang manis, cahaya matahari yang hangat serta pohon-pohon pinus yang menaungi kami, menjadi teman-teman baru yang menyenangkan. Kami bertiga berjalan santai mengitari danau sambil mengobrol dan bersenda gurau. Membicarakan banyak hal tidak penting dengan perasaan yang penting.








Gunung Prau dan Golden Sunrise
Setiap hari selalu ada matahari terbit dan terbenam. Dan kamu bisa memilih berada di sana untuk melihatnya. ~ Wild 
Ini dia rajanya. Gunung Prau beserta keindahan golden sunrise yang konon menjadi salah satu sunrise terbaik di dunia.

Mendaki Gunung Prau susah-susah gampang. Jalur patak banteng kami pilih karena dekat dekan tempat menginap serta konon bisa membawa kami ke puncak gunung hanya dengan waktu 3 jam. Jalur terjal berdebu dan berbatu menjadi jalan yang harus kami lewati. Jalur pendakian yang tidak terlalu luas dan di apit oleh jurang-jurang perkebunan warga menjadi hal yang harus diwaspadai.



Perlahan tapi pasti, kami mendaki sampai puncak. Terlihat sudah ada puluhan tenda berjejer di puncak Gunung Prau. Tenda yang kami sewa siap digelar. Menjelang magrib kala itu. Tubuh yang lelah tak boleh dibiarkan diam terlalu lama atau kami akan semakin kedinginan. Segera kami mencoba membongkar kemasan tenda yang terlihat berdebu. Ini pertama kalinya buat Saya, Adis dan Dhebul membangun tenda sendiri (maklum, kalau mendaki biasanya sama anak laki-laki).

Cukup kelimpungan. Menarik tiang ke sana kemari, mencari lubang patok. Memasang patok besi. Menggelar terpal. Sudah berdiri rubuh lagi berkali-kali. Barang berserakan di sana dan di sini. Sebenarnya kami bisa minta tolong teman pendaki lain yang kelihatan beberapa dari mereka mulai memperhatikan betapa RWH (riweuh a.k.a ribet) nya kami bertiga. Tapi kalau tidak pernah dicoba sendiri, kapan bisanya kan? Hehehe. Dan akhirnya … berdiri juga itu tenda. Fiuuhhhh!!!

Malam itu langit penuh dengan bintang dan Milky Way yang unjuk kebolehan. Saya tahu pas saya minta Adis nganterin pipis. Tapi sayang, tubuh kami tak kuat berlama-lama ada di luar tenda. Dinginnya luar biasa menusuk. Buru-buru kami berhangat-hangatan di dalam tenda dan masak mie instan.

Salah satu kebiasaan Dhebul kalau makan sama kita adalah, dia seneng banget makan kuah atau makan sesuatu bekas saya atau Adis. Malah pas masak mie di dalam tenda malam itu, bukannya bikin kuah mie sendiri, dia malah minta kuah mie yang bekas kami makan dicampur sama mie punya dia sendiri. Kekeluargaan sama jorok kadang beda-beda tipis ya ? hahaha.

Masak mie selesai, saatnya tidur untuk menyambut esok pagi dengan senyuman …

Pukul 04 pagi, alarm di handphone saya menepati janjinya untuk berbunyi. Saya bergegas bangun dan melaksanakan ritual mengumpulkan nyawa sekitar 15 menit. Padahal kenyataannya, 30 menit kemudian tubuh kami baru benar-benar siap. Saatnya shalat subuh dan menikmati si salah satu Golden Sunrise terbaik di dunia.




Benar saja, saya belum pernah lihat langit sejingga itu sebelumnya. Gunung Sindoro memeluk Sumbing mesra dari belakang. Matahari sepelan mungkin naik. Seolah tak membiarkan satupun pendaki untuk melewatkan pertunjukannya. Pasukan bunga Daisy mulai bangun dari mimpinya dan langsung bermandi embun pagi.  Udara dingin masih belum mau pergi. Inilah yang namanya roti lapis dari alam untuk sarapan. Selamat menikmati kawan-kawan …

Sambil kedinginan kami mulai berjalan santai di sekitaran puncak seribu bukit itu. Mencari posisi yang benar-benar pas. Sampai puncak salah satu bukit kami jamah dan menghabiskan waktu untuk bersantai diseling dengan berfoto-foto ria.






Perjalanan Dieng yang sempurna dalam ketidaksempurnaannya membuat ruang sendiri dalam memori kami bertiga. Suatu hari, kami bertekad ingin datang kesini lagi. Mengulang kenangan-kenangan indah itu dan melepas kerinduan. Meski sudah beberapa kali berencana dan gagal, saya tidak akan berhenti berharap untuk yang satu ini. Menemukan perjalanan jatuh cinta itu sekali atau dua kali lagi. 

Kami tutup perjalanan Dieng dengan membeli oleh-oleh untuk keluarga dan teman di kampung halaman. Dan pulang membawa hati yang belum bisa move on selama satu bulan lamanya. Seolah Dieng telah menjadi rumah baru yang menunggu kami pulang kembali. Kita akan pergi ke sana lagi atas izin Allah ya teman-teman. Atas izin Allah.
Kekhawatiran tak akan membawa kamu ke mana-mana. ~ Trinity
Sampai jumpa lagi Dieng ...
Ps : (1) Maaf kalau tulisan saya tidak memberikan informasi secara lengkap soal akomodasi atau informasi penting lain tentang wisata Dieng. Karena saya tahu teman-teman masih bisa menemukan semua itu di ratusan artikel-artikel lain di rumahnya Mbah Google. (2) sekarang Adis sudah berhijab jadi maaf wajahnya harus saya tutup sticker untuk menghormati keputusannya. Terimakasih untuk teman-teman yang sudah mau baca ☺

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

MAHAMERU, MAHASERU! - Bagian I

Kisah perjalanan Mahameru sudah terbingkai pada Agustus tahun 2016, hampir dua tahun sampai cerita perjalanan ini dibuat. Namun bagi saya tak ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah cerita selama setiap kenangan yang menyertainya masih tersimpan rapih dalam laci-laci ingatan. Kini saatnya membongkar arsip-arsip itu dan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, mentransformasikannya ke dalam bentuk tulisan. Selamat datang di alam teater pikiran dan selamat menikmati segala hal yang tersedia. Apa adanya. Bukan Pendaki 5cm. Saya sempat tergelitik ketika melihat desain kaos-kaos traveler di instagram yang bertuliskan “Bukan Pendaki 5cm.” Pemahaman akan tulisan tersebut luas sebenarnya. Siapapun yang membaca bisa saja punya persepsi yang berbeda-beda. Bisa saja menggambarkan makna “Gue naek gunung bukan karena pilem 5cm lho”, atau   “Cara gue naek gunung ga kayak pendaki pilem 5cm tau”, serta banyak pemahaman lain yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Saya sendiri ?