Langsung ke konten utama

Sembunyikan Umpan

Ish tau ga temen bbm gue, masa gonta ganti depe mulu tiap menit sih. Ngebala banget di R.U”

“Guys males banget gue sama orang satu ini. Aplot foto puluhan padahal cuma foto selfie dan angle nya di situ-situ doang. Yang ngebedain Cuma bibirnya doang. Ada yang lagi manyun ada yang enggak!”

“Apaan sih ni orang, masa beginian doang diapdet. Males banget liatnya.”

“Si X lagi apdet otewe bali nih, siap-siap aja sosmed gue penuh sama foto-foto apdetan dia yang gak berenti-berenti.”

Pernah nggak sih denger ungkapan-ungkapan di atas dari temen-temen kamu? Atau kamu sendiri pernah ngedumel karena ngerasa nggak nyaman sama postingan orang lain? Kalo iya, itu wajar kok. Pasti hampir semua pengguna sosial media punya persepsinya sendiri soal umpan-umpan (persepsi) yang orang-orang sajikan di akun sosial media mereka. Dan Saya, adalah salah satunya.

Sebagai salah satu pengguna sosial media, akun saya tentu tak luput dari pasar umpan yang orang-orang posting tentang isi pikiran, kegiatan, keluh kesah serta foto-foto sarat maksud.

Saya tentu harus siap sedia menerima lemparan-lemparan umpan-umpan beragam jenis. Mulai dari postingan inspiratif, informatif, agamis, menyentuh, biasa saja, sampai postingan yang bersifat mengganggu.

Terlepas dari segudang manfaat sosial media, jenis postingan terakhir sepertinya agak sedikit menggelitik, ya? Pasti kamu sendiri tahu kenapa. Mari kita akui bersama-sama sambil pasang senyuman tanpa dosa kalau;
Tidak semua postingan teman-teman sosial media (termasuk postingan kita sendiri) sifatnya menyenangkan, menentramkan hati atau minimal tidak berdampak apa-apa. Sekali lagi ya. Tidak semua, hanya sebagian.
Dilema menggunakan sosial media memang seperti itu. Siap tak siap. Mood sedang bagus atau tidak. Orang-orang akan tetap selalu punya hak untuk berposting ria. Peduli amat bikin kita senang atau malah sebal. Karena sosial media sesungguhnya bukan bicara soal kejadian apa, tapi maksud apa yang hendak disampaikan di balik kejadiannya.
Dunia kini tak Cuma sibuk dengan istilah ‘you are what you wear’, ‘you are what you eat’ atau ‘you are what you read’. Semua itu sekarang bisa dirangkum menjadi satu istilah baru bertajuk; ‘you are what you share’.
Bersih-bersih Sosial Media

Satu tahun terakhir, saya rutin membersihkan sosial media dari postingan-postingan yang menurut saya pribadi terbilang mengganggu. Kira-kira seperti apakah kriteria postingan yang mengganggu? Tentu definisi masing-masing orang berbeda soal ini.

Postingan yang bersifat mengganggu menurut saya adalah hal-hal yang punya intensitas manfaat yang sangat amat sedikit. Beberapa contohnya sebut saja postingan puluhan foto sama dengan jarak waktu yang sangat dekat (diperparah dengan gaya yang sama), status-status bersifat keluhan yang terlalu sering disuarakan, fans-fans fanatik yang hampir semua postingannya berbau aktivitas soal artis idolanya yang jujur belum berhasil bikin saya ikut suka, serta status-status bersifat menyindir yang sarat kebencian.

Saya yang kini memilih cuma aktif di Instagram, Bbm, Facebook dan Whatsapp mulai memilah umpan sosial media mana yang ingin terus dilihat dan mana yang tidak. Sempat beberapa waktu lalu saya bilang kepada seorang teman,

“Lo tau ga, gue pake fitur ‘sembunyikan umpan’ si V W X Y Z di bbm gue. Jadi gue ga harus liat semua postingan dia tanpa harus delete contact. Terus di facebook juga gue pake fitur ‘berhenti mengikuti’ tanpa harus menghapus pertemanan.”

“Parah lu, kan si X temen lu Zah.”

“Gue Cuma mau membersihkan bibit-bibit kebencian dari sosial media gue. Gue bersyukur Bbm dan Facebook punya fitur kayak gitu. Sayangnya, Instagram belom. Semoga secepatnya.”

Oh, saya ingin sekali mengucapkan terimakasih kepada Gary Klassen sang pencipta Blackberry Messanger dan Mark Zuckerberg sang kreator Facebook yang sudah menyediakan fitur menyembunyikan umpan orang lain. Terimakasih karena sudah berbaik hati menyedikan ‘pilihan lain’ selain memblokir atau menghentikan pertemanan. Tinggal nungguin Kevin Systrom sang ayahanda dari Instagram untuk tersadar bikin fitur yang satu ini. Hehehe.

Di satu sisi, Saya sama sekali tak berniat mau menghakimi sebagian pengguna sosial media dengan umpan-umpan berbau negatif yang beberapa kali ini mereka sajikan. Sama sekali. Bukankah melarang orang lain untuk bersuara (tentang apapun) sama saja dengan melanggar hak asasi manusia? Mati-matian demokrasi dahulu diperjuangkan, orang biasa seperti saya mana layak menghakimi dan mengatur-ngatur hak suara orang lain.

Tapi saya sadar satu hal bahwa ...
Sosial media itu ibarat sebuah pasar. Kita tidak selalu diwajibkan membeli sesuatu yang tidak kita butuhkan. Setiap orang berhak memilih dagangan yang dirasa bermanfaat tanpa harus menghakimi dagangan lain yang tidak disuka, bahkan memaksakannya untuk berhenti menjajakan diri.
Saya pikir, kadang kita tidak bisa mengontrol hal-hal yang tidak menyenangkan di dalam dunia nyata. Lalu, kenapa harus menyia-nyiakan kesempatan berharga mengatur hal tidak menyenangkan di dunia maya? Just a little interruption with myself ...
Jika memang betul, rasanya tidak terlalu berlebihan jika kita disebut sebagai makhluk amfibi era modern. Para manusia yang punya kehidupan di dunia nyata dan dunia maya. Evolusi sepertinya sudah tak mau lagi menyentuh ranah fisik. Ia merambatkan diri menyentuh ranah persepsi secara perlahan namun sarat kecepatan.
Sadar atau tidak. Semakin bertambahnya usia maka semakin berbeda pula orientasi kita dalam menggunakan sosial media sesuai dengan tujuan masing-masing orang. Gaya ber-sosial media juga ternyata butuh pendewasaan seiring berjalannya waktu. Apa yang dicari di masa sekarang belum tentu akan dicari di masa yang akan datang. Namun apa yang ditanam sekarang, pasti akan dipetik di masa depan.

Saya sadar betul bahwa pilihan saya untuk tidak mau tahu soal postingan beberapa teman di sosial media diiringi dengan kemungkinan yang sama terhadap diri saya sendiri. Dan tak ada larangan sama sekali untuk itu. Di sisi lain, ingin selalu terlihat baik di mata semua orang adalah pekerjaan yang tak akan pernah selesai. Dan betapa pencitraan adalah aktivitas yang sangat melelahkan dan merepotkan.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan sosial media, saya tersadar bahwa nilai hubungan antar personal masih berjaya di atas segalanya.
Kalimat “postinglah apa yang kamu suka, bukan apa yang orang lain mau” Punya sisi lain yang dapat dihadapkan pada kalimat “postinglah segala yang kamu suka, dan saya hilangkan segala yang tidak saya mau”.

As simple as that, right? Karena setiap pilihan bagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipandang dalam waktu yang bersamaan.

So, what’s your next choice ?

Terimakasih untuk para pencipta sosial media, dan kita semua yang membuat mereka semakin kaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

MAHAMERU, MAHASERU! - Bagian I

Kisah perjalanan Mahameru sudah terbingkai pada Agustus tahun 2016, hampir dua tahun sampai cerita perjalanan ini dibuat. Namun bagi saya tak ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah cerita selama setiap kenangan yang menyertainya masih tersimpan rapih dalam laci-laci ingatan. Kini saatnya membongkar arsip-arsip itu dan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, mentransformasikannya ke dalam bentuk tulisan. Selamat datang di alam teater pikiran dan selamat menikmati segala hal yang tersedia. Apa adanya. Bukan Pendaki 5cm. Saya sempat tergelitik ketika melihat desain kaos-kaos traveler di instagram yang bertuliskan “Bukan Pendaki 5cm.” Pemahaman akan tulisan tersebut luas sebenarnya. Siapapun yang membaca bisa saja punya persepsi yang berbeda-beda. Bisa saja menggambarkan makna “Gue naek gunung bukan karena pilem 5cm lho”, atau   “Cara gue naek gunung ga kayak pendaki pilem 5cm tau”, serta banyak pemahaman lain yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Saya sendiri ?