Traveling it leaves you speechless, then turns you into a storyteller. ~Ibnu Battuta
Ini perjalanan nekat kedua saya
bersama Sinta setelah sebelumnya nekat melancong berdua ke Yogyakarta. Lampung terpilih sebagai destinasi tujuan setelah berhasil
menyingkirkan Banyuwangi sebagai kandidat lain. (sekali-kali main ke luar pulau
Jawa boleh juga, selain itu sesuai sama budget cuy hihihi). Seperti perjalanan sebelumnya. Kontekan – tentuin
tanggal – berangkat. Nggak pake sering-sering komunikasi sebelum hari H. Dan
alhamdulillah, dapat kesempatan ‘lagi’ melancong di hari weekday. Suatu
kehormatan buat saya. Terimakasih, terimakasih!
![]() |
Memulai perjalanan dari terminal Baranangsiang Kota Bogor |
Titik poin pertemuan kita adalah Terminal Baranangsiang Kota Bogor untuk menaiki bus Arimbi menuju Pelabuhan Merak, Banten. Cukup membayar Rp. 45.000 kami sudah sampai di tempat tujuan yang memakan waktu sekitar 3 jam. Waktu itu pukul 15.30 WIB. Sengaja ngincer kapal sore biar bisa liat sunset di tengah lautan. Maklum, we are the sunset hunter ! hohohoooo ...
Tidak seperti apa yang saya
bayangkan soal suasana pelabuhan yang bau amis dan kotor (kebayang pemandangan
pelabuhan muara angke waktu ke pulau seribu dulu). Kenyataannya pelabuhan merak
bersih banget, airnya juga masih hijau tosca. Kapal-kapal ferry datang dan
pergi satu jam sekali.
Berbekal tiket kapal yang dibeli
seharga Rp. 15.000 per-orang. Dengan gesit kami meluncur ke atas kapal ferry
menuju pelabuhan Bakauheni, Lampung. Ini pertama kalinya saya naik kapal ferry.
Kalau Sinta sudah pernah, waktu SD. Tapi bukan sensasi naik kapalnya yang
ternyata dia inget. Dia Cuma inget nangis kejer di atas kapal sambil ngelap
ingus karena pengen eskrim yang harganya nggak manusiawi. (kirain kenangan
apaan sinnn, etdah hahaha)
Ternyata nggak cuma dulu, sampai
sekarang pun harga makanan di kapal terkenal mahal. P*p mie aja harganya bisa
sampai 18.000. Jadi baiknya kita membawa bekal makanan dan minuman ke atas
kapal. Nasi ala warteg, beberapa cemilan dan air minuman rasanya sudah cukup
untuk jadi teman memandang lautan. Amboiiiii ...
Penyakit Norak Kambuh Lagi
Penampakan kapal ferry Merak-Lampung (Source : Dok. pribadi) |
Saya memang selalu norak kalau
ketemu sama sesuatu yang baru. Seperti kata Trinity; “There is always a first
time”. Segala yang berbau pertama memang sulit terlupakan. Salah satunya adalah
naik kapal ferry ke pelabuhan Bakauheni, Lampung. Lihat kapal ferry berjejer
dari kejauhan saja sudah berhasil bikin saya senyum-senyum sendiri. Apalagi
naik ke atasnya. Wah pasti asik banget.
Kapal ferry di pelabuhan merak
biasanya berangkat setiap satu jam sekali menuju pelabuhan Bakauheni. Jadi kami
tak usah khawatir mau tiba di merak jam berapapun. Kapal ferry selalu setia
menanti. Setelah membeli tiket kapal, kami langsung menuju dermaga anti panas
buat nungguin kapal ferry ‘parkir’ di dermaga. Setelah parkir, kami langsung
menuju bagian atas kapal yang sudah diincar dari kejauhan. Let’s go Sintaaaa
!!!
Kesan pertama naik kapal ferry
oke oke aja. Cukup nyaman untuk harga tiket yang hanya Rp.15.000. Sambil cari
tempat shalat, saya langsung cari tahu di mana letak pelampung. Jaga-jaga aja.
Untuk ukuran orang yang nggak bisa berenang seperti saya, mengetahui letak
pelampung saat naik kapal adalah hal yang utama. Yoiii kan brooo? Keselamatan
ntu nyang utame hihihi
Shalat beres, saatnya makan siang
di atas kapal yang luasnya bisa banget buat dipake main futsal. Sepi banget.
Ceweknya hanya kami berdua. Ahhh, saiiikk !!!
Tiba-tiba terdengar suara mesin
menyala. Tanda kapal sudah siap berangkat.
“Sin, Sin, kapalnya udah jalan yak? Tuh liat deh Indomaret di pelabuhan
gerak.”
“Enggak ah zah, belom jalan ini mah.”
“Lha trus jadinya kita apa indomaret nih yang gerak?”
“Hahahaha, oh iya Zah. Kapalnya udah jalan. Ups wkwkwk”
(Ada yang bilang kalau tingkat
kebodohan seseorang bisa naik ketika merasa lapar. Contohnya ya kita berdua
ini. Masa iya indomaret atau pulau jawa yang gerak? Aih oonz luar biasa hahaha)
Hal Termewah Apa Yang Pernah Kamu Cicipi dalam Hidup?
Kami duduk berdua di sebuah
bangku besi panjang yang tersedia di sisi bagian atas kapal yang berpagar.
Sambil menyantap makan siang yang dibeli di terminal baranang siang, kami
memandang lautan luas dengan gelombang yang tenang. Udara sore kala itu sejuk
sekali rasanya. Ada perasaan hangat yang terasa di dalam hati. Dan saya berani
menamakannya sebagai perasaan ‘Bahagia’.
Milyaran tetes air
menyatu menjadi lautan
Rela mengombang
ambing diri sendiri, tanpa lelah
Bergerak tenang, kadang
juga liar
Mereka bermimpi
menjadi gulungan ombak
Mencumbu bibir
pantai walau sejenak
Terbersit di dalam pikiran saya untuk
bertanya satu hal kepada Sinta. Pertanyaan unik yang saya baca dari sebuah
postingan instagram @windy_ariestanty. Pertanyaan yang telah saya lontarkan ke
beberapa orang terdekat.
“Sin, hal termewah apa sih yang pernah lo cicipin dalam hidup?”
(Sinta terdiam agak lama. Seperti
mencoba menimang-nimang jawaban terbaik. Saya setia menunggu jawabannya sebagai
koleksi untuk diri sendiri)
“Ya kaya gini ini Zah. Bisa traveling, pergi main, liat lautan, ke
tempat-tempat baru. Ini udah cukup mewah kok buat gue. Kalo lo?”.
Di situ saya cuma senyum
mendengar jawaban Sinta. Di antara petuah-petuah di luar sana yang bilang kalau
perbedaan (pandangan) itu indah, kenyataannya kesamaan pemikiran buat saya terasa
jauh lebih manis.
“Ini mewah buat gue Sin. Makanan yang kita makan rasanya emang biasa
aja, tapi pemandangan kayak gini yang bikin moment makan kita jadi luar biasa.
Jujur gue ngerasa seneng banget.”
“Bener banget zah.”
Selama di kapal, kami habiskan
waktu untuk berfoto ria dan mengobrol sambil memandang lautan luas. Suara mesin
hampir menyamai suara air yang terpecah oleh sisi-sisi kapal. Selama di kapal,
saya bertanya-tanya dalam hati kehidupan macam apa yang ada di bawah saya. Saya
takut lautan, tidak bisa berenang dan malah menggadaikan kehidupan saya di
atasnya. Tapi saya sepakat, keindahan dan perasaan yang saya dapatkan sepadan
untuk menjadi uang muka.
“Banyak orang takut lautan tapi mempercayakan hidup mereka di atas
permukaannya. Hebat benar, bukan?”
Tak terasa sudah dua jam kami
berada di atas kapal. Sayang, sunset kala itu masih malu-malu sehingga membuat
langit tak sejingga biasanya. Dari jauh terlihat daratan pulau Sumatera
mendekat. Sedang menara siger terlihat gagah berkilau keemasan di atas bukit
menyambut kedatangan kami, kaki-kaki kecil dari pulau jawa yang haus akan
cerita.
Bakauheni malam hari (source : dok. pribadi) |
Kami sampai sekitar pukul 18.00.
Di sinilah pertama kali kami mencicipi sambutan yang luar biasa ramai. Tapi
bukan semacam sambutan dari walikota lampung yang menyambut kedatangan anak
daerahnya yang jadi juara kontes menyanyi. Melainkan disambut para tukang ojek dan
travel yang bergerombol di depan pintu keluar. Aih!
Pernah nggak sih liat artis kena
kasus trus dijegat puluhan wartawan di depan pengadilan? Nah, itulah ibarat
yang saya dan Sinta alami sesampainya di pelabuhan bakauheni. Kami seakan
diintrogasi soal tempat tujuan oleh para tukang ojek resmi pelabuhan. Sudah menjawab
pertanyaan secukupnya sambil senyum pun nyatanya tak membuat mereka puas dan diam.
Kami terus diikuti kesana kemari bahkan sampai ke mushola. Akhirnya saya bilang
sesuatu,
“Pak, saya nggak mau ojek. Tapi pengen sewa motor. Bapak-bapak ini bisa
sewain saya motor? Buat tiga hari pak.”
Semangat mencari penumpang
tiba-tiba diganti menjadi rasa kebingungan. Tak ada satupun dari mereka yang
mau menyewakan motornya. Hanya seorang tukang ojek yang pasang tarif nggak
manusiawi. Ditambah pajak kendaraan yang mati dan kondisi motor yang nggak
meyakinkan. (yang bener ajeee pak? Hihihi rugi bandar dong hayati).
Lampung memang terkenal dengan
begal. Saya dapat informasi ini dari salah satu teman saya yang tinggal di
lampung. Jadi jangan heran kalau sangat sulit menemukan orang yang mau
menyewakan motornya karena terlalu beresiko.
So, kesan pertama tiba di
pelabuhan bakauheni adalah ketidaknyamanan. Nyerah, karena nggak ada satupun
nemuin rental motor, kami pun memutuskan untuk naik bis ke daerah Bandar
Lampung. Mungkin kami bisa dapat kesempatan di sana. 3 jam perjalanan kami
tempuh menuju terminal Rajabasa, bandar lampung. Ngeeengz!!!
Terminal Rajabasa
Sesampainya di terminal lewat
tengah malam, kejadian di Pelabuhan Bakauheni terulang kembali. Tapi jumlahnya
tak sebanyak di sana. Kami mulai diikuti beberapa tukang ojek. Semuanya
sama-sama pakai gaya persuasif yang sama sekali nggak mengenakan. Sedang saya
sibuk menekankan kalau saya nggak cari ojek, main ke sana ke mari pakai ojek ?
nggak ada uang buat pulang bisa-bisa diriku paaaak.
Akhirnya ada seorang tukang ojek
yang mau menyewakan motornya. Motor honda beat yang keliatan masih kinclong
banget. Belum ada plat nomor karena belum lama keluar dari dealer. Hanya ada
surat jalan. Pertama ia menawarkan harga Rp. 65.000 per-hari. (gilak! Di
lampung bisa dapet sewa motor 65rb sehari? Itu sih keajaiban). Kami sudah deal
dan motor mulai dipakai esoknya pukul 5 pagi. Eh tapi beberapa jam kemudian dia
putuskan naikan harga jadi 100rb perhari plus sewa helm seharga 20rb. Mau
gamau, karena kita butuh ya setuju saja. Ditawar sedikit pun sungguh tak bisa.
Berbekal KTP asli dan nomor
telepon ayah, dia merelakan motornya disewa oleh kami selama tiga hari untuk
menjelajahi lampung. Sampai akhirnya, ketika kami menunggu si tukang ojek
mempersiapkan motornya, seorang tukang ojek lain bertanya soal tujuan liburan
kami.
“Dek memang mau ke mana?”
“Pertama sih kita pengen ke Taman Nasional Way Kambas pak, setelah itu
nggak tau deh mau ke mana.”
“Way kambas ? lampung timur itu. Saya Cuma mau kasih tau dek, hati-hati
aja. Kami aja ojek sini belum tentu berani ngantar penumpang ke sana. Ngeri”
“Oh gitu ya pak. Insya Allah kami hati-hati kok pak.”
Jujur, saat itu saya dan sinta
tidak mau terlalu menghiraukan peringatan tersebut karena sempat berpikir kalau
dia sengaja menakut-nakuti kami dan berubah pikiran untuk memakai ojeknya
supaya aman. Akhirnya, dengan polos kami memulai perjalanan ke taman nasional
way kambas yang saya sebut sebagai “sebuah perjalanan keberuntungan”
(Continue)
Komentar
Posting Komentar