Langsung ke konten utama

Pantai Gigi Hiu : Orkestra Alam di Pedalaman Sumatera (Explore Lampung IV)

"Ketika kau melakukan usaha mendekati cita-citamu, di waktu yang bersamaan, cita-citamu juga sedang mendekatimu. Alam semesta bekerja seperti itu." ~Fiersa Besari
Buat saya, ngeliat pantai gigi hiu dari internet aja udah keren pake banget, apalagi ngeliat langsung. Dan pada hari itu, semesta menangkap isi kepala saya di waktu yang tepat. Ya. Saya memang punya kebiasaan memikirkan banyak hal yang saya inginkan, termasuk keinginan pergi ke suatu tempat. Kamu juga begitu, bukan?

Salah satu contohnya adalah pada saat kuliah, impian saya yang terdekat adalah bisa menapakkan kaki di Mahameru, puncak tertinggi Jawa. 3 tahun kemudian, hal itu menjadi kenyataan. Selanjutnya adalah ketika saya pernah berandai-andai betapa enaknya menulis dan dibayar. Satu tahun kemudian,  'keandai-andaian' itu saya rasakan selama hampir 9 bulan menjadi seorang Content Writer. Namun, kenyataannya ada keputusan lain yang harus saya ambil.

Ok, kembali ke topik. Pagi itu, setelah mantap memutuskan melanjutkan petualangan hari terakhir di Lampung, kami memilih pantai gigi hiu di Kelumbayan, Tenggamus, Lampung sebagai makanan (destinasi) penutup. Sekedar informasi, pantai ini juga biasa disebut sebagai Pantai Pegadungan atau Pantai Batu Layar. Berbekal sejumlah informasi rute jalan dari bapak penginapan, kami meluncur menuju lokasi. Pagi yang cukup cerah untuk petualangan baru.

Cusss ...

Lampung memang luar biasa kalau soal wisata pantai. Di sepanjang jalan, kami tak henti-hentinya disuguhi pemandangan indah. Ombak di bibir pantai pesawaran tak henti mengayun mendekati garis jalan raya. Pohon-pohon ketapang dan kelapa membungkuk ke arah cahaya matahari berada. Tak banyak sampah berserakan di mana-mana. Air laut biru dan jernih, namun masih saja terlihat asin.

Love it!
Meski Lampung identik dengan pisang, kenyataannya ketika di perjalanan, saya lebih banyak menemukan kebun biji cokelat dibanding kebun pisang. Berhektar-hektar mereka tersebar di sepanjang jalan.

"Sinta, lo udah pernah nyoba biji cokelat dimakan langsung?" Tanya saya sambil fokus berkendara

"Belom zah. Emang bisa gitu dimakan langsung?"

"Wah lo nggak pernah kecil yak? hahaha. Bisa dong, enak tau."

"Iya gue belum pernah, gimana sih rasanya?"

"Manis-manis gitu deh, dulu pas gue SD, gue lumayan sering makan ntu buah. Udah gede mah jarang."

"Apalagi gue belom pernah."

"Lu mau nyobain?yuk kita beli sekarang."

"Eh zah yang bener lu? emang bisa?"

Tanpa pikir panjang, saya langsung menepikan motor ke pinggir jalan. Tepat di depan rumah yang di sampingnya terdapat kebun biji cokelat.

Setelah mengucapkan salam, keluarlah Bu Wiwin, seorang wanita yang mungkin umurnya sekitar 27 tahun. Saya langsung berkenalan dan menjelaskan niat saya untuk membeli buah cokelat yang sudah matang. Namun beliau menolak, dia memberikan kami dua buah cokelat secara cuma-cuma. Kata dia "ambil saja, itung-itung nyobain".

Mini panen. Yeay!
Mbak Wiwin bilang, biji cokelat yang sudah dipilih dan dijemur biasanya akan dijemput oleh para tengkulak. Harga perkilonya bisa 10-15 ribu. Tergantung kualitas. Namun beberapa bulan terakhir hasil panen tidak cukup bagus dan banyak yang busuk. Sepanjang percakapan, ia dan ibunya yang telah renta sering sekali tersenyum. Hati saya dan Sinta jadi makin adem di bawah pohon buah cokelat miliknya. 

Setelah ngobrol sebentar, saya pamit melanjutkan perjalanan dan berterima kasih. Dalam hati saya, terucap doa yang saya panjatkan setulus-tulusnya; "Ya Allah, lancarkan rezeki keluarga Mbak Wiwin, sehatkan ia dan keluarga, serta majukan usaha biji cokelatnya. dan terima kasih atas keramahtamahanMu yang tersebar di seluruh alam semesta."
"Ketika kau tidak bisa membayar mahal kebaikan dan ketulusan seseorang, maka saat itulah waktunya doa yang mahatulus bekerja untuknya."
Penderitaan dimulai 

Setelah berkendara di jalan beraspal yang mulus selama dua setengah jam. Sampailah kami di sebuah pertigaan. Menurut informasi yang kami himpun dari bebagai sumber, pertigaan menuju Teluk Kiluan adalah patokan jalan menuju pantai Gigi Hiu. Dari pertigaan tersebut, kami tinggal ambil jalan ke arah kanan.

Dan tahukah kamu?

Jalur ke teluk kiluan yang terletak di bagian kiri terlihat mulus dengan jalan aspalnya. Sedangkan tujuan kami tampak terjal dan menanjak.

"Oowww, jalannya terjal zah."

"Yoi Sinta, hmmm oke yaudah yuk lanjut!"

Apa mau dikata? Penderitaan pun dimulai.

Di pertigaan tersebut, saya pun sempat menanyakan warga setempat tentang berapa lama jarak yang harus ditempuh untuk menunju pantai gigi hiu. Mereka bilang cuma satu jam.

Bullshit! Hiks L

Pada kenyataannya kami harus menempuh jarak selama 2,5 jam di jalur berbatu dan curam itu. Sesekali kami beristirahat bahkan sampai setengah jam karena kenalpot motor kami mulai ngebul. Ngeri mogok di jalan kalau dipaksakan. Bau sangit banget you know? Hffttt bisa runtuh hati Hayati kalau motor mogok di jalan sepi begini.

Ketika sedang beristirahat di tepi jalan setelah menempuh waktu selama sejam,  3 orang lelaki yang juga hendak ke pantai gigi hiu pun terhenti di depan kami. Mereka adalah Azkia, Rio dan Ridho, tiga remaja setengah dewasa yang berasal dari Lampung.

“Mbak mau kemana? Ini motornya mogok bukan?”

“Mau ke pantai gigi hiu mas. Lagi istirahat dulu. Motor kita ngebul banget nih ngelewatin jalan batuan.”

“Cuma berdua aja? Dari mana asalnya?”

“Iya Cuma berdua aja nih. Kita dari Bogor hehehe”

“Waduh, saya aja orang lampung baru mau kesini lho. Malu kita kalau emang nggak jadi ke sini. Gila emang traveler sejati nih mbak-nya.”

Geleng-geleng kepala mereka dengan jawaban kami. Jujur, kami sudah biasa mendengar pujian-pujian macam itu. Bangga? Nggak juga tuh. Ngerasa jadi orang gila? Nah, lebih ke arah situ. Tapi jadi lebih gila dari orang lain itu memang lebih asik yooo!!!

Yup, kami adalah dua wanita yang cukup gila main ke pantai tersembunyi di pedalaman Lampung. Kalau ada apa-apa gimana? Kalau ada orang jahat di lampung gimana? Terus kalau salah satunya ada yang sakit gimana?
“Pikiran positif akan ditangkap positif juga oleh alam semesta. Lalu apa? Mereka akan memberikan hal-hal positif juga.”
Kami jarang mikir yang macam-macam kalau berwisata. Meskipun beberapa pikiran negatif kerap tersirat, kami menggunakannya untuk berwaspada ria. Yang penting masih rasional, kami tetap menghindari kemalaman di perjalanan. Sebisa mungkin. Estimasi waktu dan jarak kami perhitungkan matang-matang. Yang penting apa? Nggak kemaleman di perjalanan. Itu aja.
“Orang-orang baik dan jahat hampir merata tersebar di muka bumi. Ada yang jujur berkata ‘saya jahat’. Namun ada juga yang bersembunyi di balik senyuman manis terbaik yang mereka miliki. Tak ada tempat yang benar-benar aman di dunia ini selain di pelukan ibu dan ayahmu. Selebihnya, itu cuma soal sikap dan kepercayaan. Bagiku, hutan dan kota sama bahayanya.”
Azkia dan teman-temannya rupanya tak tega meninggalkan kami yang sedang istirahat. Mereka rela menunggu sambil sesekali bercanda. 15 menit kemudian kami berangkat bersama. Sesekali motor kami terselip jalur tanah yang becek karena dihajar hujan deras semalam. Mereka benar-benar ‘laki-laki’, tak perlu diteriaki minta tolong sudah peka langsung menolong. Sesekali yang dibonceng harus mengalah untuk berjalan kaki karena jalanan terlalu curam.

Perjalanan hampir sampai, namun jalan semakin curam. Tak tahu pulangnya harus bagaimana. Apakah jalan tersebut masih bisa kita lalui atau tidak. Yang penting sampai dulu deh.

Tak lama datanglah motor pak Joni bersama beberapa kawannya yang hendak mensurvei potensi wisata di pantai gigi hiu. Mereka menggunakan motor kopling yang nggak terlalu keliatan bagus tapi cukup tangguh. Saya dan sinta diminta naik dan motor kami dibawa oleh ridho. Saat itu, naik motor kopling 3 kali lebih nyaman dibandingkan naik motor matic. Kekuatan Pak Joni memang patut diacungi jempol. Berat badan saya yang 60 kilogram itu ditahannya di antara jalur curam tersebut. Akhirnya, yeay sampai juga di pantai gigi hiu.

Unpredictable Dream Comes True

Kreksss.

Bunyi sepatu saya yang menginjak kerikil berpasir di pantai gigi hiu untuk pertama kalinya. Dan itu membuat saya terpana. Dari kejauhan, terlihat gugusan karang yang melegenda berdiri tegak diterjang ombak. Ya. kami belum sampai di titik utama. Hanya di tempat parkir beralaskan tanah berpasir yang tidak begitu luas. Di belakangnya terdapat saung kecil yang cukup lusuh digunakan seorang penjaga pantai berteduh. belum ada warung satu pun di sekitar sini. (Kebayang perjuangan bawa barang dagangan seperti apa hiks).

The first view
Di tengah kesyahduan saya menikmati suasana ketika beristirahat sejenak di tempat parkir, Pak Joni dengan santainya merusak suasana. Dia menceritakan sedikit kisah seram. Saya takut, sekaligus mau tahu. Katanya, di sekitar pantai gigi hiu ada sebuah makam seorang wanita yang dulu mayatnya ditemukan terdampar di sekitar pantai. Tak ada yang tahu asalnya dari mana. Wargapun akhirnya memutuskan memakamkannya di sekitar pantai. Saya enggan bertanya di mana lokasi makamnya berada, bisa-bisa kebayang terus dan bikin penasaran.

Kata pak Joni, beberapa waktu lalu juga di sekitar tenggamus ada orang yang meninggal terseret ombak. Saya diberi sedikit ilmu.

“Ombak itu kadang sulit ditebak dek (kaya hati saya dong pak). Jangan pikir ombak sedang kecil itu benar-benar kecil. Dia bisa saja datang tiba-tiba lalu menjadi besar. Cara lihat ketinggian ombak itu gampang. Nah kamu lihat dimana letak pasir atau karang yang basah. Nah disitulah batas ombak di waktu tersebut. Hati-hati.”ulas pak Joni.

“Di pantai gigi hiu ini pemandangan paling bagus ada di atas karang. Tapi jangan naik sekarang, tunggu sampai jam 1 atau jam 2 saat air mulai surut. Kalau sekarang terlalu bahaya dek.” Lanjutnya.

Dari parkiran, kami harus berjalan sekitar 15 menit menyusuri pantai melewati semak dan karang. Jangan berharap ada hamparan pasir di pantai gigi hiu. Pesisir pantai disana dipenuhi oleh bebatuan yang tersebar merata, jalan bebatuan membuat badan kami sesekali miring untuk menjaga keseimbangan.

Setelah sampai, kami menurut saran pak Joni. Sambil menunggu ombak mulai surut, kami duduk bersantai sambil memandang suasana sekitar. Benar kata pak Joni, di sini ombaknya besar sekali. Kalau ibarat musik, pantai gigi hiu adalah tempatnya orkestra maha dahsyat bermain. Musik deburan ombak berdebur cukup keras menghajar karang yang teguh pendirian.

:)

Welcome (source : dok. pribadi)

Berbuah eh berbuih (souce : dok. pribadi)


Menjadi Indonesia (source : dok. pribadi)
Pukul 1 tiba, saatnya naik karang. Tapiii ...

Tak banyak yang tahu kalau saya takut ketinggian. Tapi rasanya tak lengkap kalau tak naik ke atas karang dan menyaksikan ombak bergulung dari sudut pandang yang berbeda. Pelan-pelan sekali saya merangkak naik, membawa rasa waspada tingkat dewa. Dan saat saya sampai di atas sana, saya menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Rasanya seperti melelehkan bongkahan rasa takut dalam diri. Lumer sampai ke hati. Sebuah sensasi yang tak akan pernah saya lupakan sampai kapanpun.



Dari atas karang, kami seolah melihat orkestra ombak lautan bermain tanpa henti. Karang-karang tajam berbentuk gigi hiu menjulang tinggi ke langit. Ombak terus menghajar karang sampai buih putih merata di permukaan. Angin berhembus sepoi-sepoi, namun detak jantuk bergema lebih keras dari biasanya. Saya takut, sekaligus senang. Tapi ada suatu perasaan eksklusif yang rupanya tengah bertamu.


Orkestra alam (source : dok. pribadi)

“Hidup itu merasa sepenuhnya. Merasakan aliran darah mengalir penuh gairah menuju ruang jantung dan mendetak denyutnya lebih cepat. Hidup dan merasa hidup itu berbeda. Merasa hidup itu adalah ketika kamu merasa ruang di dadamu meluas sekaligus menyempit dalam waktu bersamaan. Merasa sangat bebas sekaligus amat waspada. Ini bukanlah definisi pasti. Beda manusia, beda pula panjang tarikan nafasnya.”
Hampir setengah jam kami berada di atas karang, menikmati megahnya orkestra ombak lautan. Kalau hati-hati, lama-lama nyaman juga. Sedangkan Azkia dan kawan-kawan naik ke karang yang lebih curam dan tinggi sambil sesekali meneriakkan kebebasan mereka sambil tertawa-tawa. Saya cuma senyum-senyum dari singgasana saya yang lebih rendah melihat para lelaki itu merayakan sayapnya yang mengepak semakin lebar. Congrats, you are free like a bird!
Kelakuan si Rio

Rio, Azkia, Ridho
"Masa muda. Masa yang berapi-api" ~Rhoma Irama
Setelah puas menyaksikan ombak di atas karang, saya dan sinta turun dan duduk-duduk di bawah pohon. Azkia cs masih saja asyik menjelajah satu karang ke karang yang lain. Mereka itu pemuda-pemuda gila yang mabuk petualangan, hahaha.

“Ih zah, batunya lucu. Gue bawa pulang ah.” Ucap Sinta yang memecah pandangan saya yang tengah menonton Azkia cs dari kejauhan.

Sambil melirik agak setengah parno, saya sebenarnya kurang setuju sama niat Sinta. 

“Sin, saran gue si lu jangan bawa apa-apa dari sini. Apalagi lu lagi 'dapet juga'. Ya jaga-jaga aja si.”

“Hmmm bener juga sih. Tar ada jin yang ngikut lagi.”

“Oemji sin mulut lu sompral beneeerrr hahaha”

Sinta memang orangnya blak-blakan, saya mana berani ngomong begitu di pantai sejenis gigi hiu. Ditambah parno karena ada makam seorang wanita tanpa identitas di sekitar pantai. Aih sudahlah!

Pukul 4 sore, kami bergegas meninggalkan pantai. Kami melewati jalan yang berbeda yaitu melalui jalur Padang Cermin, jalan yang disarankan oleh pak Joni. Woosaaahhh jalannya lebih ramah dan better banget. Jalan ini akan membawa kami kembali ke daerah pesawaran dan lanjut ke wilayah kota dengan cukup lancar.

View di jalan pulang jalur padang cermin (source : dok. pribadi)

Aih! (source : dok. pribadi)
Azkia dan teman-temannya mengajak kami untuk berwisata lagi di daerah lampung. Tapi kami tak bisa, kami harus kembali pulang ke Bogor. Kami pun berpisah dan saling mengucapkan terima kasih (nggak lupa follow-followan akun ig dulu hihihi). Jalan-jalannya kapan-kapan aja ya Azkia, Rio, Ridho J

Tujuan kami yang selanjutnya adalah mengembalikan motor di terminal Rajabasa. Kami sampai sekitar pukul 07 malam di sana. Ojek di sana bilang kalau sudah tidak ada bus menuju pelabuhan Bakauheni. Mereka menawarkan jasa mobil travel yang jauh lebih mahal dengan gaya yang cukup mendesak dan menakut-nakuti kami kalau tak ada lagi angkutan umum menuju pelabuhan Bakauheni.

Ketika di perjalanan, sebaiknya jangan mudah percaya pada orang-orang yang menawarkan jasa dengan cara mendesak dan berlebih-lebihan. Apalagi di Lampung, cara kita menolak saja harus dipikirkan baik-baik. Jangan sampai membuat mereka tersinggung atau marah. Terminal oh terminal, kau lebih menyeramkan dari hutan dan pegunungan.

Benar saja, bis menuju pelabuhan Bakauheni baru saja datang. Demi menghindari mereka, kami bergegas pergi ke arah bis tersebut menepi. Di pintu bis, seorang tukang ojek yang mengenali kami ketika baru datang beberapa hari lalu bertanya,

“Gimana dek, main kemana aja kau? Jadi ke Way Kambas?”

“Jadi pak hehehe”

“Syukurlah kau selamat ya dek. Tenang aja, orang baik selalu dilindungi Tuhan.”

“Iya pak alhamdulillah. Terima kasih.”

Akhirnya kami hampir bisa duduk tenang di bis, tapi  tak lama kemudian penumpang lelaki di belakang kami mulai berpangku tangan menyandarkan dagunya sambil mengajak kami ngobrol. Belakangan kutahu nama si abang tersebut adalah Royli.

“Ei, dari mana adek-adek cantik ini?”

Aih mulai lagi ... kami sedang terlalu lelah untuk berbasa basi abaaannnggg. Tapi tetap, sebagai pendatang kami harus tahu diri. Beramahtamah sebentar lagi sepertinya tak terlalu sulit.

“Abis jalan-jalan dong bang hehehe,”

“Kemana aja dek, kepo dong.”

“Pertama kita ke taman nasional way kambas, terus ke pulau mahitam dan terakhir kemaren ke pantai gigi hiu.”

“Ya Tuhaannn ... kalian ke way kambas Cuma berdua aja? Pake apa?”

“Pake motor dong, sewa di kang ojek sini bang.”

“Pake motor? Itu kan lampung timur dek. Banyak begal di sana. Untung kau nggak dibegal deekkkk. Kau tahu? Orang sini pun belum tentu berani lewat sana. Cari mati kau dek.”

“hahaha udah banyak yang bilang begitu bang. Yaudah tapi alhamdulillah kita nggak kenapa-napa.”
“Kau tau, ada dua kemungkinan pendatang nggak balik ke kampung halamannya dari lampung. Pertama itu karena dia dibegal. Yang kedua kau tau apa?”

“Apa?”

“Ya menikah dengan orang sini lah hahahaha.”

“hahahahaha.”

Tawa kami yang sedikit datar semoga cukup untuk membuat bang Royli tidak merasa diacuhkan. Kami ngantuk sekali, si abang malah lanjut curhat tentang pacarnya sambil beli kacang goreng yang ditawarkan pedagang. Makin asyiklah dia cuap cuap sementara kami menahan kantuk yang amat sangat.

“Bang, kita pengen tidur dulu ya. Ngantuk banget.”

“Oh iya silahkan dek, maaf maaf abang jadi ganggu ya.”

“Gapapa bang.”

Akhirnya Bang Royli anteng bersama kacang yang dibelinya. Kami pun beristirahat selama dua jam lebih di bis menuju Pelabuhan Bakauheni. Lumayan buat isi sedikit tenaga.

Pukul 05 pagi kami naik kapal menuju pelabuhan Merak. Kami sengaja berburu keberangkatan subuh supaya bisa melihat sunrise dari atas kapal. Benar saja, indah nian sunrise kala itu. Lampu-lampu kapal yang masih menyala menghiasi laut biru yang masih  cukup pekat. Garis-garis jingga mulai dilukis di udara.

You jump, i'm not jump! (source : dok. pribadi)

Golden momment (source : dok. pribadi)

Hello sunshine! (source : dok. pribadi)

Itu bukan gunung es, kan? (source : dok. pribadi)

Alone alone bae? (source : dok. pribadi)
Sinta tampak terpaku melihat matahari mulai naik merajai bumi. Seperti biasa, saya juga menikmati suasana hikmat tersebut sambil sesekali memotret menggunakan kamera canon saya yang baterainya tinggal satu. Inilah perjalanan kami kembali ke tanah Jawa, tanah kelahiran kami tercinta. Petualangan di Lampung adalah salah satu perjalanan paling berwarna selama hidup saya. Ketegangan, keseruan dan segala kebahagiaan itu harus tercatat dalam suatu cerita. Cepat atau lambat. 

Di situ saya mengerti bahwa ke manapun tujuan kita, perjalanan selalu menawarkan resikonya masing-masing. Tak ada tempat yang benar-benar aman. Juga tak ada tempat yang tak dihuni orang-orang baik. Dan Tuhan mempertemukan kami dengan orang-orang itu selama di Lampung. Lampung yang terkenal menjadi sarang begal terlihat cukup manis di mata kami. Nada bicara orang-orang sana mungkin lebih tinggi dari orang-orang di tanah Sunda. Tapi hati mereka sama baiknya. Pertolongan demi pertolongan tak henti-hentinya menghujani kami. 

Alhamdulillah kami sampai di rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apapun (kecuali tutup lensa kamera yang terjatuh di Taman Nasional Way Kambas). Terima kasih Lampung, terima kasih Sinta, dan terima kasih semesta.
“Tak hanya bertemu dengan orang-orang baru, ternyata traveling juga mempertemukan kita dengan bagian diri yang belum kita tahu.”
So, tertarik berpetualang ke Lampung teman-teman?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

MAHAMERU, MAHASERU! - Bagian I

Kisah perjalanan Mahameru sudah terbingkai pada Agustus tahun 2016, hampir dua tahun sampai cerita perjalanan ini dibuat. Namun bagi saya tak ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah cerita selama setiap kenangan yang menyertainya masih tersimpan rapih dalam laci-laci ingatan. Kini saatnya membongkar arsip-arsip itu dan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, mentransformasikannya ke dalam bentuk tulisan. Selamat datang di alam teater pikiran dan selamat menikmati segala hal yang tersedia. Apa adanya. Bukan Pendaki 5cm. Saya sempat tergelitik ketika melihat desain kaos-kaos traveler di instagram yang bertuliskan “Bukan Pendaki 5cm.” Pemahaman akan tulisan tersebut luas sebenarnya. Siapapun yang membaca bisa saja punya persepsi yang berbeda-beda. Bisa saja menggambarkan makna “Gue naek gunung bukan karena pilem 5cm lho”, atau   “Cara gue naek gunung ga kayak pendaki pilem 5cm tau”, serta banyak pemahaman lain yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Saya sendiri ?