Langsung ke konten utama

Menyusuri Pulau Mahitam, Harta Karun di Pulau Sumatera (Explore Lampung III)


Sebelum keberangkatan saya ke Lampung, saya sempat meminta rekomendasi wisata yang asik kepada teman instagram saya yang berdomisili di sana. Ia merekomendasikan beberapa tempat yang sekiranya aman untuk dua orang perempuan nekat seperti kami. Apakah Pulau Pahawang? Hmmm. No, terlalu mainstream. Jatuhlah pilihan kami pada pulau mahitam yang masih terletak di daerah Pesawaran, Lampung.

Kami sampai di daerah pesawaran sebelum magrib setelah 3 jam berkendara dari daerah Lampung Timur. Pesawaran juga diketahui sebagai tempat menyeberang bagi orang-orang yang ingin berlibur ke Pulau Pahawang. Suasana desanya hampir sama seperti di Bogor, saya dan Sinta menyusuri kampung menuju arah jalan setapak ke Pulau Mahitam. Setelah mulai memasuki daerah yang sepi, dua orang laki-laki bertubuh besar menjegat kami dari belakang. Alamak! Kelar gue ... (Suuzon mau dibegal)

Sekali lagi, nggak semua orang di dunia ini jahat. Kitanya aja yang sering Suuzon. Banyak juga yang baik, termasuk mereka. Salah satu dari kedua lelaki tersebut adalah Pak Mui yang ternyata adalah Kepala Dusun setempat yang sedang berjaga-jaga.

“Pada mau kemana ini?”

“Pulau mahitam pak. Ke arah sana kan?”

“Iya betul dek, tapi ini sudah mau malam. Jalan menuju pulau lagi pasang. Harus nyebrang pakai perahu.”

(Kami sebenarnya cuma mau survei jalannya kaya gimana sebelum besok memulai petualangan. Tapi ucapan Pak Mui membuat kami mengurungkan niat.)

“Oh gitu ya pak, yaudah kita mau cari penginapan aja deh.”

“Cari penginapan? Ayok sini sama tetangga bapak aja.”

Nggak perlu pusing-pusing keliling cari penginapan yang pas, kamipun meluncur ke rumah teman pak Mui. Saya pikir kami dibawa ke tempat penginapan yang menyerupai homestay, ternyata kami ditawarkan menginap di rumah sahabatnya. Seorang pasangan paruh baya dan beberapa anak kecil menghuni rumah tersebut. Kebetulan anak perempuannya yang paling besar sudah menikah dan ikut suaminya. Jadi ada kamar kosong untuk kami tempati. Masalah bayaran? Oh tenang, mereka mematok harga ala seikhlasnya untuk menginap di sana selama dua malam. Fiuuuhhhh akhirnya nemu kasur juga yeay!

Keesokan harinya

Selamat pagi pulau Sumatera
Terima kasih untuk ketenangan di pagi yang tidak biasa
Setelah kemarin dihajar ketakutan dan prasangka
Hari ini kan kutaruh semua lelah, tuk kembali menjelajah

Selamat pagi pulau Sumatera
Harum udaramu sama, namun rasanya berbeda
Tanahmu sama, tapi lain jejaknya
Pantaimu sama, namun lain asinnya
Baik orangnya, meski lain cara menyampaikannya

Tahukah engkau, pulau Sumatera?
Ternyata Tuhan memeluk tubuh kita di mana-mana

Tak seperti saat traveling sebelumnya di mana kami selalu mengutamakan bangun pagi sebelum matahari terbit, pagi itu kami habiskan dulu bermalas-malasan di kasur (awake rasane remuk to leee) karena target kami saat ini bukanlah menikmati matahari terbit, namun berjalan santai ke Pulau Mahitam.

Tunggu dulu, ke pulau mahitam jalan-jalan santai? Ke pulau loh! Masa jalan?

Yup! Saya dan Sinta jalan kaki sampai ke Pulau Mahitam. Ngomong-ngomong, kami bukan pakai ilmu ajian berjalan di atas air ya. Pulau mahitam terletak di sebrang desa pesawaran dan memang tak jauh dari pesisir pantai. Kalau air sedang surut, kami bisa dengan mudahnya berjalan kaki ke pulau mungil tersebut. Tapi untuk menuju pesisir yang tepat untuk menyebrang, kami harus berjalan kaki selama setengah jam menyusuri daerah pantai pesawaran untuk sampai di titik penyebrangan yang tepat.

Amboiii, ini sih namanya destinasi eksklusif gaes!!!

Sudah mandi, sudah rapi, pukul 9 pagi kami meluncur ke sana. Berbekal sarapan nasi uduk yang enak banget dan air mineral, dengan percaya diri kami berjalan kaki melewati perkebunan kelapa dan pesisir pantai yang sunyi sepi. Saat itu hanya ada kami berdua sebagai wisatawan dan beberapa orang yang bekerja di tambak ikan.

Hai, bapak nelayan. (source : dok.pribadi)
Campernik! (source : dok.pribadi)

Sendirian aja kamu :( (source : dok.pribadi)
Ada saung di pinggir pantai euy. (source : dok.pribadi)

Pantai pesawaran terlihat masih perawan, sangat berbeda dengan panorama pantai di sekitar pusat desa yang mulai dihuni banyak sampah. Di sini juga banyak sampah, tapi kebanyakan cuma sampah dahan-dahan pepohonan dan batang pohon yang terbawa hanyut. Dengan bebas kami kesana kemari. Ada beberapa saung mungil untuk tempat berteduh.

“Sinta, jangan dulu duduk. Liat dulu ni saung ada bacaan disewakannya nggak? Hahaha”

“Nggak ada zah, capcussss”

Lagi dan lagi, inilah yang namanya momen ‘wow! Sarapan nasi uduk yang enak di tempat yang lebih enak. Langit sangat biru, cahaya matahari masih hangat, deburan ombak yang tenang, dan yang paling eksklusif adalah tidak ada wisatawan lain selain kami berdua. Yup! This is the power of holiday in weekday yes yes yes.

Break faasssttt ...
Seusai sarapan, kami mulai menyusuri jalanan pantai. Mencari pasir surut yang katanya bisa membawa kami sampai di Pulau mahitam. Tak lama seorang nelayan menebak,

“Mau ke pulau mahitam ya dek? Belum surut, nanti siang jam 12 biasanya.”

“Oh gitu ya pak, yaudah makasih ya infonya, nanti kita balik lagi aja deh.”

Sebenarnya nelayan di sana biasa menyewakan jasa antar jemput menggunakan perahu. Aih, kurang asik dan kurang hemat kalau pakai perahu dong, Engkuh Zainuddin. Hffttt ... tapi airnya masih pasang dan belum saatnya menikmati Pulau Mahitam. Kami pun berfoto-foto ria sepuasnya lalu kembali ke penginapan untuk beristirahat sambil mencharge kamera. 

Mau kesini lagi :(


Teng teng teng jam 12.00 seusai shalat dzuhur kami langsung bergegas kembali menuju Pulau Mahitam. Cuaca panas. Tapi tak apalah, biar item, itemnya mahal kok. Item dari pulau Sumatera hahaha.

Cusss, pertama kalinya buat kami jalan kaki sampai ke pulau. Kami menyusuri hutan mangrove dan jalanan berpasir putih itu menjulang bagai karpet penyambutan tamu undangan. Panjang dan luas sekali. Kami bisa berlari-larian sepuasnya di sana. Pulau mahitam terlihat masih cukup kecil. Tak usah menunggu lama, kami harus berkenalan dengannya.

kampungnya kepiting bakau.
Cantiknya Pulau Mahitam (source : dok. pribadi)

Abaikan sendal swallow yang dapet beli di warung itu.
Langit biru kala itu membawahi kami, air jernih, Pulau Pahawang terlihat dari kejauhan. Deretan pohon kelapa di pulau mahitam mulai jelas terlihat. Terdapat beberapa saung untuk pengunjung beristirahat. Tapi saya dan sinta lebih memilih berjalan-jalan berkeliling pulau.

Salam kenal dariku, Mahitam
Izinkan jejakku tertinggal meski takkan bertahan walau semalam
Langkahku baru
Di atas bisik pasir putihmu
Hatiku biru
Secerah nirwana di angkasamu hari itu

Hei, Mahitam
Terima kasih sudah sembunyi tapi tetap mudah ditemukan
Jika aku kembali datang beberapa tahun kemudian
Kuharap kau belum tenggelam
Dan tidak akan pernah demikian

Salam kenal dariku, Mahitam
Demi kau, tlah kulupakan pulau Pahawang

Menepi (source : dok. pribadi)

Keliling pulau (source : dok.pribadi)
Keliling pulau di siang bolong memang greget greget endes gitu. Cuacanya lumayan panas, tapi kalau liburan hanya untuk bermalas-malasan buat apa juga kan? kami pun berkeliling pulau sambil melihat-lihat sekitar. Terlihat beberapa pohon tumbang berserakan di mana-mana, bagai pulau yang habis dihajar badai semalam.

Ketika air mulai surut pada siang hari, beberapa penduduk setempat memanfaatkan momen ini untuk berburu kerang. Sampai membungkuk-bungkuk tubuh mereka berburu kerang di bawah terik matahari. Kata mereka, di ujung Pulau Mahitam terdapat menara yang cukup tinggi yang bisa dinaiki oleh para pengunjung sehingga orang-orang bisa melihat panorama pulau dari atas menara. Namun menara itu telah rapuh sekarang. Terlalu berbahaya jika digunakan.

Pemburu kerang pulau mahitam
Sambil melihat mereka mencari kerang, saya dan Sinta mengajak mereka ngobrol sedikit-sedikit. sebagian dari mereka bukan asli orang Lampung, melainkan perantau dari tanah Jawa. selain memburu kerang, mereka juga menjadi pengelola pohon-pohon kelapa di pulau Mahitam. Kami pun diberikan air kelapa muda gratis sebagai tanda perkenalan.

“Benar juga. Komunikasi adalah mata uang yang berlaku di mana-mana. Apa-apa tuh yang penting ngobrol. Bercanda sedikit, dan lihat bagaimana cara semesta bekerja.”

Surga dunia
Para nelayan bilang, kalau pada saat weekend, pengunjung biasanya dimintai tarif masuk ke pulau mahitam. kalau nggak salah sih Rp. 10.000 per-orang. tapi kalau weekday nggak dipungut biaya sama sekali. Keberuntungan datang bertubi-tubi ini sih namanya. Alhamdulillah banget kami bisa menikmati pulau secara gratis dan dikasih kelapa muda gratis pula. Aduduh numero uno!!!

Akses eksklusif ke pulau mahitam akan mulai menghilang pada sore hari. Saat itu pukul hampir pukul 4 sore, setelah puas menikmati suasana pulau yang asri dan berswafoto ria, saya dan sinta memutuskan untuk kembali ke penginapan. Bisa repot kalau air mulai pasang sebelum kami pulang.
Sampailah kami di penginapan pukul 5 sore. Kami sengaja berjalan santai untuk menikmati suasana sore kala itu.

“Begitulah kelebihan pergi melancong tanpa beramai-ramai. Kita akan mudah hanyut pada apa yang kita datangi, bukan apa yang kita bawa. Merasa lebih dekat dengan alam dan penciptanya. Yang sunyi itu cuma suasananya, jiwa kami sama sekali tidak.”

Malam Terakhir di Pesawaran

Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Saya dan Sinta baru saja pulang mencari makan malam di sekitaran kampung sambil jinjing eksrim Aice rasa strawberry (Sinta baru makan eskrim Aice, kata dia di kampungnya nggak ada, eh malah nemu eskrim beginian di Lampung. Karena nagih pas pertama coba saat siangnya, bela-belain malam-malam makan eksrim Aice. Saya juga ikutan beli deh jadinya karena pengen juga hahaha).

Sesampainya di rumah penginapan, ada pak Mui dan temannya sedang menonton TV di ruang tengah. Dia pun memanggil kami berdua, mau ngajakin ngobrol.

"Pulang ke Bogor kapan kalian?"

"Lusa pak, rencananya masih mau main di sekitar Lampung."

"Sebelum dari sini kalian ke mana?"

"Kita ke Taman Nasional Way Kambas pak."

"Hoki bener kalian, nggak kenapa-napa pergi cuma berdua gini."

"Lha emang seserem apa sih pak lampung timur?"

"Dek, di sana itu terkenal banyak begalnya. Mereka biasanya punya tempat ngumpet. Kalau nggak kasih motor kalian, habis kalian. Rata-rata mereka punya senjata. Kalau ada yang dibegal, orang-orang yang lewat pun belum tentu berani nolong itu. Sudah biasa soalnya. Kalau ngelawan ya mati. pokoknya kalau ke sana sih katanya nggak usah pakai helm biar dikira penduduk setempat. Pakaian rapih juga bakal dikira pendatang. satu lagi, jangan kemalaman di jalan"

Di situ saya sama Sinta cuma merenung. Gile bener kalau inget resiko yang kita hadepin di sana kemarin. jadi kepikiran yang nggak-nggak. Apa mungkin kemaren itu kita udah diincer begal? tapi karena pas mau ngebegal dia kebelet pipis, makanya nggak jadi dan kita dibiarin lolos. Arrggghhh apasih hahaha yang jelas Allah selalu melindungi kita ya Sinta. Amiin.
"Ya, Tuhan memeluk tubuh kita di mana-mana."
Informasi Menggiurkan

“Habis ini pada mau kemana mbak?”

Tanya bapak penginapan kepada kami berdua.

“Hmmm, belum tau si pak. Kami pengennya ke Tenggamus, ke pantai gigi hiu. Sebelum ke sini kami sudah di perjalanan ke sana. Tapi karena situasi mulai nggak memungkinkan. Kami langsung aja ke sini.”

“Oh tenggamus, kamu bisa lewat sini lho mbak. Tinggal keluar kampung ini terus ikutin jalan raya ke atas sana. Ya paling kalau orang baru sekitar 2 jam aja sampe kok.”

“Ah yang bener pak, jalannya gimana? Sepi banget nggak?”

“Nggak kok, nggak terlalu. Kamu kan ntar lewatin area markasnya TNI. Ndak bakal ada yang macem-macem.”

Mata saya mulai melirik Sinta dengan senyuman yang cukup menggoda.

“Oke oke, tapi berangkatnya kalau langit udah mulai terang ya Zah.”

“Siap juragaaan hahaha”

(Continue)

Komentar

  1. Kayaknya kudu dijadiin list nih trip ke mahitam. Tadinya pengen ke pantai gigi hiu sama pulau pahawang. Pas baca artikel ini jadi rada kabita hahaha. Nuhun cerita nya. Moga nanti bisa jadi bahan tulisan juga buat di blog saya www.perjalanandiaz.com

    BalasHapus
  2. Pengalaman mbak nya sepertinya seru banget.. emang sih pulau mahitam pilihan liburan yang seru kalo lagi berkunjung ke kota bandar lampung

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

MAHAMERU, MAHASERU! - Bagian I

Kisah perjalanan Mahameru sudah terbingkai pada Agustus tahun 2016, hampir dua tahun sampai cerita perjalanan ini dibuat. Namun bagi saya tak ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah cerita selama setiap kenangan yang menyertainya masih tersimpan rapih dalam laci-laci ingatan. Kini saatnya membongkar arsip-arsip itu dan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, mentransformasikannya ke dalam bentuk tulisan. Selamat datang di alam teater pikiran dan selamat menikmati segala hal yang tersedia. Apa adanya. Bukan Pendaki 5cm. Saya sempat tergelitik ketika melihat desain kaos-kaos traveler di instagram yang bertuliskan “Bukan Pendaki 5cm.” Pemahaman akan tulisan tersebut luas sebenarnya. Siapapun yang membaca bisa saja punya persepsi yang berbeda-beda. Bisa saja menggambarkan makna “Gue naek gunung bukan karena pilem 5cm lho”, atau   “Cara gue naek gunung ga kayak pendaki pilem 5cm tau”, serta banyak pemahaman lain yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Saya sendiri ?