Langsung ke konten utama

Taman Nasional Way Kambas : Sebuah Perjalanan Keberuntungan (Explore Lampung II)


Gajah tak bisa melupakan, tapi selalu mampu maju ke depan. Kamu?
Lampung memang identik dengan gajah, oleh karena itu kami memilih Taman Nasional Way Kambas sebagai destinasi pertama. Melihat gajah langsung di habitatnya pasti punya sensasi yang berbeda bila dibandingkan dengan di kebun binatang. Sekalian ngajak Sinta berguru sama gajah gimana caranya punya ingatan luar biasa, biar kalau punya rezeki nggak lupa sama saya. Aih apasih hahaha

Untuk menuju Taman Nasional Way Kambas, kami harus menuju pusat kota Lampung terlebih dulu. Namun pusat kota lampung memiliki pemandangan yang berbeda dengan pusat kota biasanya. Terutama soal pembangunan. Untuk ukuran pusat kota, Bandar Lampung memiliki suasana yang relatif sepi.

Kami menempuh perjalanan dengan rute menuju lampung timur. Tak banyak pemandangan indah yang kami temui di jalan. Setelah kurang lebih berkendara selama 3 jam, kami mulai memasuki wilayah lampung timur. Aura yang tidak biasa pun langsung terasa oleh kami.

Lampung timur memiliki jalan raya yang lebar dan sering dilalui kendaraan-kendaraan besar. Di kanan kiri terdapat banyak rumah tak berpagar dengan model-model yang hampir serupa. Tapi ada sesuatu yang beda menurut saya. Jika sebuah pedesaan identik dengan suasana dari aktivitas warganya yang beragam di depan pekarangan rumah, lain halnya dengan suasana pedesaan di daerah lampung timur.

Saya sadar bahwa saya tak menemukan pemandangan ibu-ibu yang berkumpul memberi sayuran sambil bergosip, atau anak-anak kecil yang bermain di pekarangan rumah. Suasana sepi sekali. Hanya satu dua orang yang diam di depan rumah atau sekedar menyapu halaman. Energinya memang tidak biasa. Ditambah cuaca pagi itu yang mendung dan mulai gerimis menambah kesan tak mengenakan. Kami mulai berpikir yang macam-macam. Tiba-tiba saya teringat perkataan bapak tukang ojek di terminal rajabasa soal seramnya lampung timur. Hal itu membuat saya dan sinta tiba-tiba merasa tegang.

“Sin, lo sadar nggak sih kalo ini desa sepi banget. Warung aja jarang banget sin.”

“iyak zah bener banget, sepi zah. Trus banyak pintu rumah yang ketutup. Padahal masih pagi.”

Kami berusaha membuang jatuh-jauh pikiran negatif dan mulai kembali fokus ke tempat tujuan. Setelah beberapa saat, saya mulai merasa tenang ketika menemukan gapura bertuliskan “Selamat Datang di Taman Nasional Way Kambas”. Hfffttt ... legaaaa ibu-ibu bapak-bapak. Akhirnya sampai juga.

Wefie di pintu gerbang TNWY. Yes!
Eitsss ternyata oh ternyata, kami baru sampai di depan gerbang taman nasional saja. Bukan di habitat gajahnya. Untuk menuju ke sana, kami harus berkendara sejauh 9 km dari pintu gerbang. Jalur kanan kiri katanya hutan dan banyak gerombolan monyet yang biasa nongkrong di jalan. Oemjii, parno baru kelar udah harus melakukan hal menantang lagi. Ciamik!

Beruntung ada pak sodikin, seorang pawang gajah yang kebetulan akan menuju ke sana. Setelah membeli tiket masuk, kami pun mengajak pak sodikin pergi berbarengan, takut dilabrak sama geng monyet asli hutan Sumatera. Kalau ketemu satu atau dua monyet di jalan it's ok, lha kalau rombongan? bisa minder kita Sinta. Hfttt, untung ditemenin langsung sama petugas setempat. Ketakutan dan doa yang lumayan cepat dijawab sama Allah. Alhamdulillah.

Berkendara mengikuti pak sodikin di belakangnya membuat kami sedikit lebih tenang. Gerombolan monyet yang nongkrong di pinggir jalan pun tak terlalu kami hiraukan. Mereka memang biasa nongkrong di beberapa titik jalan menuju TNWK akibat sering diberi makanan oleh para pengunjung. Jadi aman-aman saja untuk lewat asal kita tidak menampakkan makanan.

Naik Gajah

Suasana pelatihan gajah di TNWK (Source : dok.pribadi)
Sesampainya di lokasi, Saya melihat banyak kolam semen yang sengaja dibuat untuk tempat gajah minum. Di sana gajah-gajah dilatih dengan telaten oleh para pawang. Tujuannya agar lebih jinak namun tetap diberikan hak pergi dan main ke hutan. Mereka biasanya dilepaskan pada pagi hari dan berkumpul pada sore hari untuk mandi. Jadi kalau mau pergi ke sana lebih baik antara pagi dan sore hari. Gajah-gajah biasanya berkumpul di waktu-waktu tersebut.

Pangeran dan Yeti. Gemesin!!!
Saya diajak pak sodikin melihat dua gajah yang ia rawat. Pangeran dan Yeti namanya. Mereka sudah bisa disuruh mendatangi kami dan sudah mengerti kalau disuruh duduk. Pak sodikin lah yang melatihnya. Katanya, gajah-gajah di sana dilatih minimal sebulan untuk bisa melakukan hal tersebut.
Saya dan sinta diminta naik gajah oleh pak sodikin menuju padang rumput berlumpur kesayangan mereka. Gratis pula karena ada yang bilang naik gajah di Taman Nasional Way Kambas dikenakan tarif tambahan. Rejeki anak solehah ini mah namanya hihihi. Saya naik Yeti dan Sinta naik Pangeran. Aduh sebenernya kebalik sih, harusnya saya naik Pangeran yang badannya lebih gede. Kasian si Yeti masih kecil cobaannya udah berat banget. Ngangkut saya keliling taman nasional contohnya. Sabar ya yeti L

Give me five, Yeti!
Eh tapi eh tapi ... rasa seneng tadi tiba-tiba berganti jadi tegang. Naik gajak ternyata nggak segampang keliatannya. Saya gugup luar biasa. Takut banget jatoh trus keinjek sama gajahnya. Aduh nggak lucu banget kalo liburan bawa pengalaman keinjek gajah. Mending kalo nggak kenapa-napa kan?

Beberapa kali saya bertanya pada sang pawang;

 “Ini saya duduknya udah bener belom ya mas ? kok kaya mau jatoh ya?”.

Sang pawang cuma menjawab;

“Ikutin aja mbak gerakan gajahnya, jangan dilawan, duduknya tegak, nggak bakal jatuh.”

Edaannn ... nyadar nggak sih kalau jawaban sang pawang tuh filosofis banget? Iya filosofis. Beneran.
Coba deh baca lagi. Jawaban itu tuh pas banget buat jawab kebiasaan kita yang kerap kali gelisah dan khawatir akan sesuatu yang belum tentu kejadian. Ikutin aja gerakan takdir, jangan banyak dilawan karena kadang cuma bikin kita nggak pernah bersyukur, tegak menghadapi semuanya, insya Allah hal itu bikin kita nggak bakal jatuh. (apa aja bisa disambung-sambungin sama persoalan hidup gaes, hahaha).

Saya nurut saja perintah sang pawang, dan ternyata benar. Lama kelamaan asik banget. Tapi nggak tau deh Yetinya ikutan asik apa enggak. Soalnya saya pasti berat banget sih. hahaha


“Kadang, untuk mencoba sesuatu yang baru, yang kita butuhkan cuma kepercayaan”.
Berbeda dengan saya, Sinta paling keliatan anteng naik gajah kayak orang yang biasa naek gajah ke kampus selama 4 tahun. Luar biasa emang.

Setelah puas naiki gajah, saya dan Sinta berkeliling Taman Nasional untuk melihat-lihat gajah yang sedang dilatih dari kejauhan. Mereka biasa diberi makan dan minum. Maka tak heran kalau sejauh apapun mereka pergi ke hutan, mereka akan kembali pada sore hari ke pelukan para pawang. Uuhhh ... kurang so sweet gimana coba ?

Ketika kami duduk di sebuah kursi kayu sambil menyaksikan gajah yang sedang dilatih, tiba 6 mahasiswa dari tangerang yang hendak berwisata. Saya pun sempat mengobrol dengan salah satunya. 

“Mbak Cuma bedua aja?” sebuah pertanyaan mainstream terlontar kepada saya dan sinta

“Iya, hehe. Kenapa emang mas ?”

“Gila, bener-bener petualangan banget. Hebat!”

Meskipun banyak di antara teman lama atau teman baru kami yang bilang kalau saya dan sinta adalah orang yang hebat dan berani, kami sebenernya nggak pernah ngerasa bangga-bangga amat dengan pujian tersebut. Kami lebih srek dibilang orang nekat yang hobi traveling. Passion mengalahkan logika telak 3 : 1.

Berada di Taman Nasional Way Kambas serasa berasa di alam liar beneran. Termasuk soal WC yang belum memadai, khususnya untuk para pengunjung. Fasilitas kamar mandi mungkin jadi salah satu pekerjaan rumah bagi para pengelola. Saya dan sinta yang kebelet pipis waktu itu mau tak mau pipis di WC yang jauh dari kata nyaman. Nggak ada kuncinya pula pintunya. Hfffttt ... hajar aja kalo alam udah memanggil.

Puas bermain-main di taman nasional way kambas, saya dan sinta harus melanjutkan perjalanan. Tujuan kami berikutnya adalah pantai Gigi Hiu di Tenggamus. Bergegas kami berkendara dengan gesit agar segera meninggalkan daerah lampung timur menuju Tenggamus.

Google map bilang sama kita kalau perjalanan yang harus ditempuh sekitar 5 jam. Wow banget! Setelah menempuh perjalanan selama 1,5 jam dengan suasana jalan yang sunyi sepi, kami mampir di sebuah rumah makan untuk mengisi perut. Kalo abis ketakutan emang biasanya suka laper bro hihihi.
Ketika kami makan nasi padang yang rasanya juara banget, kejadian di taman nasional way kambas terulang kembali. Ada seorang pembeli lain yang mengajak kami ngobrol.

“Mbak darimana mau kemana?”

“Mau ke tenggamus mbak, kita dari way kambas.”

Dia nggak langsung jawab, Cuma tarik nafas sambil pasang tatapan takjub luar biasa.

“Giilllaaaaaa... mbak jauh lo itu mbak, jauuuhhh. Saya aja nggak pernah lho kesana. Males kejauhan”

Entah kenapa saya ngerasa ekspresi si mbak ini lebay banget untuk ukuran orang lokal. Apalagi setelah dia mengetahui kalau asal kami dari Bogor. Tambah-tambah deh takjubnya. Saya dan sinta cuma bisa senyum-senyum sambil fokus makan.

Selesai makan, kamipun melanjutkan perjalanan. Dan menyebalkannya saya terdoktrin kata-kata lebay si mbak di warung makan. “jauuhhhh lo mbak jauuhhhhh”. Kata-kata tersebut terngiang di kepala. Berulang-ulang. Ditambah suasana jalanan lampung timur yang masih kental terasa cukup mencekam dan sepi. Belum lagi efek lelah dan ngantuk akibat begadang semalam.

“Sin, yakin mau lanjut ? kita ke pulau mahitam aja nyok. Ke gigi hiu mungkin bisa lain waktu. Bukan apa-apa, gue ngeri ama jalanannya. Nakutin.”

Sinta yang ternyata udah ngerasain hal yang sama langsung setuju untuk kembali ke pusat kota menuju daerah Pesawaran. Jarak tempuhnya pun lebih singkat dibandingkan menuju pantai gigi hiu.
“Let’s go back to Bandar Lampung sintaa, ternyata gue rindu peradabaannn. Cuuussss ...”


(continue)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

MAHAMERU, MAHASERU! - Bagian I

Kisah perjalanan Mahameru sudah terbingkai pada Agustus tahun 2016, hampir dua tahun sampai cerita perjalanan ini dibuat. Namun bagi saya tak ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah cerita selama setiap kenangan yang menyertainya masih tersimpan rapih dalam laci-laci ingatan. Kini saatnya membongkar arsip-arsip itu dan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, mentransformasikannya ke dalam bentuk tulisan. Selamat datang di alam teater pikiran dan selamat menikmati segala hal yang tersedia. Apa adanya. Bukan Pendaki 5cm. Saya sempat tergelitik ketika melihat desain kaos-kaos traveler di instagram yang bertuliskan “Bukan Pendaki 5cm.” Pemahaman akan tulisan tersebut luas sebenarnya. Siapapun yang membaca bisa saja punya persepsi yang berbeda-beda. Bisa saja menggambarkan makna “Gue naek gunung bukan karena pilem 5cm lho”, atau   “Cara gue naek gunung ga kayak pendaki pilem 5cm tau”, serta banyak pemahaman lain yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Saya sendiri ?