Langsung ke konten utama

Melarikan Diri ke Lokasi Syuting AADC 2 (Part I)




Behind the Journey


Kadang-kadang, perjalanan yang berlabel “dadakan” selalu lebih asyik untuk dinikmati. Layaknya tahu bulat. Digoreng dadakan, dibelinya dadakan, dimakannya juga pasti dadakan. Cuma satu yang ga bisa, di...cer...na... da...da...kan. (Biarin garing juga hehe)

Efek dendam kesumat yang terpendam akibat rencana mendaki gunung merbabu yang gagal sampai dua kali, ya dua kali. Dua kali berencana, satu kali beli tiket, satu kali batalin tiket, satu kali kena potongan harga tiket tapi dua kali ini hati kena selepet. Mungkin memang belum waktunya, atau semesta sedang menyiapkan lain rencana. Di sisi lain, saya masih saja sibuk memaksa diri untuk tetap percaya pada prinsip “Semua akan indah pada waktunya”.

Hati memang sudah ikhlas melepas rencana mendaki Gunung Merbabu dari genggaman, namun jiwa saya rupanya masih saja kelaparan. Butuh pergi, melepas penat skripsi yang waktu itu statistik kejenuhannya sedang merangkak naik.

Cukup untuk membuat percikan api emosi meregas habis pucuk kesabaran.

Begitulah kira-kira tagline hati saya kala itu. Saya saja sampai tidak berani buat diri sendiri marah dan kesal, hahaha. Namun, jiwa spontan saya ternyata rupanya masih sehat wal’afiat. Suatu malam, terbersit dalam pikiran untuk melakukan sistem dadakan. Buat saya pribadi cukup gila, tapi sangat patut untuk dicoba.

Berawal Dari Rumitnya Matriks Skripsi

Layar laptop pada pukul 8 malam itu menampilkan gambar matriks skripsi hasil wawancara. Jari dan pikiran sibuk menyaring data seperti memisahkan gabah dari beras. Padahal gabahpun kadang masih ada isinya, cuma harus dikupas terlebih dulu. Karena data bukan gabah, maka sistem kupasnya tak bisa mengandalkan kuku dan jari. Melainkan harus kembali datang ke narasumber. Mencuri lebih banyak persepsi.

Layar laptop yang menjemukan membuat pikiran saya membersitkan kilat rencana. Terpikir untuk naik kereta ke kota Yogyakarta. Kemana saja, dengan siapa saja. Asal pikiran bisa rehat sejenak.

Bergegas saya pikirkan siapa yang kira-kira bisa diajak pergi. Cari-cari kandidat di kontak BBM lalu jatuhlah pilihan saya pada teman sekelas di kampus. Sinta Amelia Sari. Selain orangnya baik dan asik, ia juga penggemar Afgan Syahreza (Apasih ga nyambung ! hahaha). Maksudnya, ia adalah seorang Trainholic yang mengaku cinta mati-matian sama transportasi kereta api. Pasti langsung mau diajak jalan naik kereta ke Yogyakarta. Pikiranku menebak.

“Sin lu pengen naek kereta kaga ?”

“Naik kereta kemana Zah? Commuterline Bogor-Jakarta trus balik lagi ?” (Jawaban yang bikin saya malas bernafas selama 3 detik)

“Skripsi lu udah sampe mana sekarang ? bisa pergi ga ? Jogja yuk minggu depan.”

“Hah apaan ? lu jangan bercanda zah. Please lu ga bercanda kan ? jangan hoax ah”. (Jangan salah sangka, itu tanda kalo dia kegirangan)

“Boro-boro bercanda, Sin. Kita pergi deh ke beberapa lokasi syuting AADC 2. Kayaknya asik-asik. Siapa tau bisa ketemu Rangga beneran hahaha”

“Ih mau mau sumpah mau. Skripsi gue baru sampe bab 4 sih tapi ga apalah masih bisa ditinggal bentaran kok. Tapi gue izin bokap dulu ya”

“Oke Sin. Kabarin ya kalo udah izin. Besok atau lusa kita beli tiket yoo."

“Oke Zah”

Dua hari kemudian saya pergi ke Alfamart beli 2 tiket kereta api untuk saya dan Sinta. Syukurlah orang tua kami sama-sama mengizinkan. 4 hari kemudian kami bertemu di stasiun Bogor pukul 6 pagi dengan barang bawaan masing-masing. Tidak banyak, namun cukup berat.

Menuju stasiun pasar senen dan mengawalinya !

Membawa “The Trainholic” Melintasi Provinsi

To Travel is To Live

Ini pertama kalinya Sinta naik kereta ke tempat yang jauh. Kelihatan sekali girangnya seperti apa. Saya cuma bisa senyum-senyum sambil ingat masa lalu yang bahkan lebih norak darinya. Tentu bukan norak dalam arti negatif, ini adalah norak-norak yang eksklusif dan menarik.

Sama si "Trainholic"

Kereta kami berangkat pukul 10.50 siang dari Stasiun Pasar Senen. Nomor tempat duduk bersebelahan dengan seorang ibu paruh baya dan seorang anak muda yang pada awalnya saya kira ibu dan anak. Padahal ternyata bukan.

Tebak menebaklah sepuasnya di hadapan dunia. Selagi gratis. Sampai Autis.

Suasana perjalanan di kereta saat itu terasa asik-asik saja. Saya asyik mengobrol dengan Sinta membicarakan destinasi wisata. Namun Ibu paruh baya di sebelah saya cuma duduk terdiam sambil terus memandang dan bersandar ke arah jendela kereta. Sedangkan lelaki di hadapannya sering senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah layar handphone.

Sebegitu lucunyakah benda pencuri alam nyata berukuran persegi panjang itu ?

Karena penasaran. Saya beranikan diri membuka obrolan. Meski pada awalnya cuma mau menjawab secukupnya, akhirnya saya berhasil membuat dia bicara panjang lebar soal mau pergi kemana dan bicara sedikit tentang keluarga. Ibu Ane namanya, rela jauh-jauh pergi ke Jombang sendirian untuk menengok cucunya yang baru saja lahir.

Seorang nenek selalu mampu menjadi ibu bagi setiap anak dan cucunya. Namun sebagian besar cucu tak mampu menjadi sosok anak bagi nenek mereka.

Obrolan hangat tersebut menggugah niatnya untuk mentraktir kami satu plastik risoles, segelas teh manis hangat ala PT. KAI, serta menghadiahkan kami sebuah majalah hijab keren yang baru dibelinya. Sungguh kebaikan yang ia sembunyikan di balik sikap diam dan dingin.

Don’t Interrupt the Sunset Hunter

Naik kereta api selama berjam-jam tak akan selalu kamu habiskan dengan mengobrol. Mulutpun butuh istirahat dari bercuap-cuap. Waktu sudah menunjukan pukul 5 sore kala itu dan sepertinya ada hal lain yang harus dilakukan. Daripada bosan dan ketiduran di jam-jam yang bisa bikin pikiran linglung dan keleyengan, lebih baik saya cari kesibukan lain.

Berburu pemandangan matahari terbenam di lorong pembatas gerbong selalu jadi pilihan sempurna. Tak lupa membawa kamera gopro hasil pinjaman tentunya.

“Hei mba, lagi ngapain ?” Seorang lelaki seumuran denganku memecah hikmatnya merekam jejak senja dari jendela.

“Lagi ngambil gambar aja nih, hehe”

Ternyata percakapan itu tak cuma sekedar say “Hai” saja, hampir satu jam kami mengobrol ini itu. Melancongkan pikiran kesana kemari. Berbagi pengalaman dan isi kepala. Memang selalu menyenangkan bertemu dengan orang yang mengerti kesenanganmu. Karena mereka bicara atas dasar pengalaman. Bukan persepsi tanpa pegangan.

Mahasiswa Psikologi Uhamka itu bernama Haris. Kami sama-sama melarikan diri sejenak dari skripsi. Sama-sama punya banyak kesamaan destinasi. Sama-sama pergi berdua dengan teman. Sama-sama juga suka jalan tentunya, hehehe.

Obrolan hangat di ujung senja itupun harus berakhir karena waktu mulai maghrib. Kami harus bergegas shalat dan kembali ke gerbong masing-masing. Saling tukar kontak pun jadi kejadian penutup pertemuan itu. Katanya biar mudah kalo misal mau bareng melancong saat di Jogja.

Welcome Back to Yogyakarta

Pukul 7 malam, akhirnya kaki kami kembali menginjak tanah kota pendidikan. Tak perlu pikir panjang, tawaran sewa motor dengan harga 65 ribu perhari pun langsung kami setujui saat itu juga. Harga dari proses tawar menawar yang tak harus mengencangkan urat leher tentunya. Lagipula, motornya masih bagus dan kelihatan tangguh. Genderang semangat dalam hati mulai bertabuhan dalam diri. Inilah kemudahan pertama yang Tuhan suguhkan di stasiun kereta api Lempuyangan.

Malioboro tersayang, tunggu kami segera datang.

Seniman Malioboro

Aaahhh ... Yogyakarta selalu saja terlihat manis dan memukau. Betapa kota ini selalu bisa menyambut baik siapapun yang datang. Kota yang mampu melangkah maju tanpa melupakan identitas. Modernitas dan tradisionalitas menyatu dengan harmoni tingkat tinggi. Tidak saling gontok-gontokan merebut perhatian zaman. Keduanya punya kedudukan yang hampir sama, ada dan diciptakan untuk membuat hidup lebih baik dan sejahtera.

T’lah kubuat puisi untuk Jogja, di saat itu juga
Di kala tubuh, hati, dan pikiran mulai berjalan dengan senada
Kususuri urat-urat jalan beserta aliran darahnya
Mahaderas, dan siapapun sukarela ditenggelamkan suasana

Betapa Jogja adalah sebuah kota impian
Orang-orang di sana tahu betul caranya bersenang-senang
Lewat gram demi gram inti hidup yang bernama kesederhanaan
Hedonisme cuma akan jadi bahan lelucon di sini
Jadi noda yang datang dan kembali terbawa pulang

Di sisi lain. Salah satu ruang pikiran mau ambil bagian juga. Ada satu lagu lawas yang tak sengaja terngiang di kepala. Ada yang tau lagu KLA Project yang berjudul Yogyakarta ? Persis seperti inilah bunyi liriknya :

Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna ...

Terhanyut aku akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana jogja ...

Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila ...

Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu ...

Tanpa disadari, sebagian besar lagu-lagu lawas memang punya kualitas lirik yang indah bukan main. Deskriptif dan estetik. Mahakarya kreatifitas tingkat tinggi yang diracik pakai hati. Karya-karya bagus macam itu pasti cemburu habis-habisan pada lagu-lagu alay zaman sekarang yang sukses besar mencuri perhatian.

Pukul 8 malam, kami sedang asyik makan gudeg jogja di lesehan pinggir jalan kawasan Malioboro. Haris terus menghubungi kami untuk menunggu agar bisa jalan berbarengan. Namun pergi bersama sepertinya tak akan menjadi pilihan saya dan sinta saat itu. Banyak hal yang jadi pertimbangan tentunya.

“Zah abis ini kita kemana ?”

“Abis makan gudeg kita pergi ke Alun-alun Kidul. Kita liat disana ada apaan aja yak kan belum pernah juga”

“Ngeengg ... Zaaahhh hahaha” (Continue to Chapter II)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

MAHAMERU, MAHASERU! - Bagian I

Kisah perjalanan Mahameru sudah terbingkai pada Agustus tahun 2016, hampir dua tahun sampai cerita perjalanan ini dibuat. Namun bagi saya tak ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah cerita selama setiap kenangan yang menyertainya masih tersimpan rapih dalam laci-laci ingatan. Kini saatnya membongkar arsip-arsip itu dan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, mentransformasikannya ke dalam bentuk tulisan. Selamat datang di alam teater pikiran dan selamat menikmati segala hal yang tersedia. Apa adanya. Bukan Pendaki 5cm. Saya sempat tergelitik ketika melihat desain kaos-kaos traveler di instagram yang bertuliskan “Bukan Pendaki 5cm.” Pemahaman akan tulisan tersebut luas sebenarnya. Siapapun yang membaca bisa saja punya persepsi yang berbeda-beda. Bisa saja menggambarkan makna “Gue naek gunung bukan karena pilem 5cm lho”, atau   “Cara gue naek gunung ga kayak pendaki pilem 5cm tau”, serta banyak pemahaman lain yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Saya sendiri ?