![]() |
Tidak semua tujuan terlahir dari kesengajaan, termasuk destinasi wisata. Berawal dari perjalanan touring dalam rangka melepas penat, saya bersama dua orang sahabat Saya Dhebul dan Adis berniat untuk berkemah ria di pantai ujung genteng atau pantai sawarna sukabumi. Ya, kami belum memiliki destinasi yang pasti soal tujuan wisata. Soal pantai mana yang nantinya akan menjadi tujuan, kami serahkan pada situasi dan kondisi di perjalanan.
“Terkadang,
kejutan di perjalanan memang jauh lebih menarik daripada seindah-indahnya
perencanaan.”
Ya, intinya kami ingin pergi ke luar
sejenak.
Perjalanan Menuju Tak Terhentikan
Waktu keberangkatan kami mulai pukul 07 pagi
dengan titik keberangkatan kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Jalur yang
biasa kami lalui adalah jalur Kabupaten Bogor – Ciawi – Cicurug – Parung Kuda –
Sukabumi. Alat kemah sudah lengkap, makanan sudah cukup dan perut pun sudah
terisi menjadi pertanda bahwa kami harus segera bergegas. Perjalanan pun kami
mulai dengan cukup lancar minim hambatan. Cuma sesekali harus beradu garda
paling depan dengan kendaraan transportasi Bogor – Sukabumi dengan cara
berkendara yang bikin hati kaya lagunya Sherina : GEREGETAN !
Setelah 4 jam perjalanan, kami mulai sampai di daerah Parung Kuda, Sukabumi. Hujan mulai turun dan kami memutuskan untuk berteduh di sebuah gubuk kecil sambil menyantap makan siang. Perjalanan yang panjang dan berkelok membuat perjalanan cukup melelahkan dan menghabiskan tenaga. Sambil makan di tengah suasana hujan rintik syahdu tiada tara, kami ngobrol-ngobrol. Tak lama ada segerombolan anak sekolah dasar berjalan kaki di pinggir jalan sambil berlari-lari kecil, berkejaran dengan hujan. Pemandangan sederhana yang sudah jarang terlihat di tengah kota.
Setelah 4 jam perjalanan, kami mulai sampai di daerah Parung Kuda, Sukabumi. Hujan mulai turun dan kami memutuskan untuk berteduh di sebuah gubuk kecil sambil menyantap makan siang. Perjalanan yang panjang dan berkelok membuat perjalanan cukup melelahkan dan menghabiskan tenaga. Sambil makan di tengah suasana hujan rintik syahdu tiada tara, kami ngobrol-ngobrol. Tak lama ada segerombolan anak sekolah dasar berjalan kaki di pinggir jalan sambil berlari-lari kecil, berkejaran dengan hujan. Pemandangan sederhana yang sudah jarang terlihat di tengah kota.
Sekumpulan anak berlari dengan riang
Di antara serangan milyaran rintik
hujan
Tak peduli dingin, tak peduli basah
Hangat tubuh mereka ditolong oleh
gelak tawa
Berani menerjang, berani berjuang
Masa kecil adalah masa keemasan,
Indahnya jiwa anak-anak yang hidup
di tubuh anak-anak
Setelah
makan siang dan hujan cukup mereda, kami memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan dengan titik selanjutnya yaitu daerah pelabuhan ratu. Pelabuhan ratu
menjadi titik penentuan kami apakah perjalanan kami akan mengarah ke pantai
ujung genteng atau pantai sawarna. Saya pribadi tidak ada masalah mau pergi ke
pantai yang mana. Namun, penyakit “Terserah”
kami sampai sekarang memang belum ketemu obatnya. Dan sepertinya memang tak ada
penelitian untuk pengobatan penyakit “Terserah”
akut. Ada dampaknya ? tentu saja. Bikin lama ambil keputusan, hehehe.
Setelah berdiskusi dan sesekali bertanya
kepada penduduk pelabuhan ratu, kami putuskan untuk melancong ke pantai ujung
genteng sukabumi walaupun menurut warga jarak tempuh ke arah pantai sawarna
tidak berbeda jauh. Tak ada pertimbangan pasti dipilihnya pantai ujung genteng.
Kedua pantai tersebut sebenarnya sudah pernah kami kunjungi. Intinya kami hanya
mau pergi ke pantai.
“Let’s go to our beloved destination guys, Ujung Genteng
!”
Perjalanan
di tengah hutan jati dan perbukitan yang berkelok pun menjadi dessert makan siang kami. Tak terasa 2
jam sudah kami menunggang kuda besi dari pelabuhan ratu. Rasa lelah membuat
kami merasa bahwa perjalanan sangat amat jauh. Namun tak terpikir di benak kami
untuk berhenti dan memutar balik.
“Perjalanan adalah perjalanan, kadang kamu cuma perlu
menempuhnya selangkah demi selangkah, sedetik demi sedetik. Istirahatlah
sesekali. Karena perjalanan mundur seringkali lebih jauh daripada melangkah maju
ke depan.”
An Old Sign Board : Geopark Ciletuh
Perjalanan
bercabang yang ke sekian kalinya kembali kami temui. Namun kali ini ada yang
berbeda. Sebilah papan kayu usang menancap tegak sisi pertigaan. Samar terbaca
“Geopark Ciletuh”. Saya terpaksa berhenti mendadak karena penasaran. Tubuh
Dhebul tersungkur langsung ke punggung saya. Adis yang mengendarai motor di
belakang saya juga terpaksa ngerem
mendadak dan mulai ngomel-ngomel. Tapi pikiran saya hanya terpaku pada papan
tua tersebut. Terpikir ide untuk mencoba destinasi baru.
“Guys kalian mau coba tempat baru ga ? Tuh ada papan ke
arah Geopark. Ada pantai, air terjun sama bukit. Paket lengkap. Gue pernah liat
di instagram si lumayan oke. Ada puncak dharma juga. Bukit yang view-nya lautan.”
Sekali
lagi saya jelaskan, penyakit terserah mereka memang sudah ga ketulungan. Akhirnya Adis bersuara ingin
mencoba destinasi baru. Dhebul pun hanya menurut bagai Hayati di film Tenggelamkah Kapal Van Der Wijck ? Eh salah,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
maksudnya hahaha. Berubahlah tujuan destinasi kami yang super mendadak itu.
“Let’s go to our unpredictable destination, guys. Geopark
Ciletuh !
Another Unpredictable Destination : Puncak Panenjoan
![]() |
Pemandangan di Puncak Panenjoan Sumber : Azizah Photography |
Satu jam
dari pertigaan, kami mulai menjumpai destinasi dadakan yang lain. “Welcome
to Puncak Panenjoan” tempat di mana kami bisa melihat pemandangan bukit,
sawah dan lautan menjadi suatu komposisi alam yang maha indah. Meskipun namanya
puncak panenjoan, kami tidak perlu hiking
untuk berkunjung ke sini. Tempatnya sudah ada di pinggir jalan.
Memandang lukisan alam di puncak panenjoan ditemani angin sepoi-sepoi memang berhasil bikin hati meleleh. Puncak panenjoan adalah salah satu tempat yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Geopark Ciletuh. Tak heran kalo sebagian wisatawan menambah puncak panenjoan sebagai destinasi pelengkap saat melancong ke Geopark Ciletuh.
Memandang lukisan alam di puncak panenjoan ditemani angin sepoi-sepoi memang berhasil bikin hati meleleh. Puncak panenjoan adalah salah satu tempat yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Geopark Ciletuh. Tak heran kalo sebagian wisatawan menambah puncak panenjoan sebagai destinasi pelengkap saat melancong ke Geopark Ciletuh.
Puas
mencuci mata di puncak panenjoan, kami melanjutkan perjalanan menuju pantai Geopark.
Sampailah kami setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam dari puncak
panenjoan. Namun percayalah waktu tersebut tidak akan begitu terasa karena perjalanan
kami ditemani pemandangan perbukitan dengan beberapa air terjun yang asyik
mengalir terlihat dari kejauhan. Kami jadi teringat perjalanan touring di daerah Jawa Tengah.
“A Little Disappointment, A Big Satisfaction”
![]() |
Manusia-manusia terserah Sumber : Azizah Photography |
Sesampainya
di Pantai Geopark Ciletuh, perasaan kami memang sedikit kecewa karena pantai
ini tidak seindah yang kami bayangkan. Air laut yang kurang jernih disertai banyaknya
gundukan sampah di mana-mana menjadi pemandangan yang kurang sedap dipandang.
Semangat kami mulai turun ditambah efek lelah yang menghadang. Namun kami masih
punya harapan, puncak dharma. Saya dengar kendaraan bisa sampai hingga puncak
dharma. Namun, setelah bertanya pada penduduk setempat, ternyata kami harus hiking sekitar satu jam.
Kendaraan yang
bisa sampai hanya ojek motor kopling milik warga yang memang menjadi
transportasi komersial di puncak dharma. Kabarnya, harga transportasinya
sebesar Rp 60.000 untuk sekali jalan. Tiket masuk puncak dharma sendiri sebesar
Rp.10.000 sudah termasuk tiket masuk air terjun. Pikiran kami bimbang, kami
harus hiking sementara tubuh sepertinya mulai protes karena cukup kelelahan.
Ditambah cuaca mulai gerimis pada pukul 3 sore waktu itu.
Kali ini
penyakit terserah mereka mulai turun levelnya. Adis dan Dhebul bersuara untuk
tidak mau naik karena lelah. Khawatir membuat kondisi badan menjadi drop mengingat perjalanan pulang esok
hari menguras banyak tenaga dan konsentrasi. Tubuh saya pun sebenarnya sedang
dalam kondisi tidak fit. Kami pun memutuskan untuk berkemah di pesisir pantai Geopark
saja.
Setelah
istirahat sejenak, kami mulai membangun tenda di sebuah padang rumput. Tempat
ini sepertinya jarang dipakai untuk berkemah karena ladang tersebut adalah
tempat warga menaruh sapinya. Sapi atau kambing di milik warga di Geopark
Ciletuh rata-rata memang tidak hidup di kandang. Mereka dibiarkan hidup bebas
di kebun dan ladang meskipun tali masih harus diikat di leher mereka, khawatir
hilang pastinya.
![]() | |
Baluran of Sukabumi
|
Meskipun begitu, kami tak segan berkemah di sana karena memang
luas dan memiliki pemandangan yang cukup
aduhai. Tantangan tersendiri tidur berkemah dengan dua ekor sapi menemani
sejauh jarak 30 meter. Hanya ada tenda kami saja waktu itu. Dhebul adalah
sahabat saya yang paling parno. Ia khawatir sapi akan menyeruduk tenda kami di
malam hari. Namun saya tak berani terlalu percaya diri seperti itu, mereka
pasti lebih memilih tidur daripada melakukan hal konyol macam itu bukan ? Jadi
hati saya tetap enjoy saja toh leher
mereka terikat hehehe.
“A Right Place To Be A Ekstrovert Person”
![]() |
Senja di merasuk jiwa Sumber : Azizah Photography |
Malam tiba, kompor yang sudah kami sewa siap untuk dinyalakan. Mau “ngopi-ngopi cantik” sambil masak mie instan rencananya. Musik di handphone mulai kami putar demi memperindah suasana. Perpaduan suara ombak dan lagu melankolis menjadi suatu kesatuan yang harmoni. Apalagi dinikmati sambil minum kopi atau susu hangat. Pasti terasa sempurna.
Gas khusus kompor kemah pun mulai bergegas saya pasang dengan sepenuh hati. Namun, apalah mau dikata. Semangat yang menggebu itu sempat padam setelah saya tahu bahwa kompor yang kami sewa berada dalam keadaan rusak. Tidak kami cek terlebih dulu ketika menyewa dari seorang teman. Benar-benar jadi pelajaran.
Pupuslah harapan “ngopi-ngopi cantik” sambil makan mie instan. Tapi tak mengapa, masih ada cukup makanan dan air putih untuk disyukuri pada malam itu. Ditambah canda tawa yang akan selalu jadi menu tambahan paling sempurna. Selesai makan, waktunya bersantai bersama alam.
Malam semakin larut
Udara semakin dingin
Langit gelap dan cerah
Pertunjukan kilat dan petir di balik
samudera
Bintang-bintang muncul sembunyi
Cuma ombak yang konsisten sedari
tadi
Tiga sekawan duduk terdiam menikmati
simfoni alam
Mulut kami diam, hati kami bicara
Sekumpulan manusia yang sedang tak berselera untuk
terluka
Suasana
semakin sunyi dan tak ada lelucon yang asik untuk dibahas lagi. Canda tawa
berganti jadi renungan. Di tengah suasana indah bibir pantai, kami perlahan
mulai terbawa perasaan. Permainan “Jujur-jujuran”
yang sering kami mainkan kini jadi kebiasaan. Akhirnya saya memulai dengan
sebuah pertanyaan :
“Guys ... Kalo ada 3 hal yang pengen lo rubah dari kita yang
ada di sini, kira-kira apa ? jawab jujur ya.”
“Berat euy pertanyaannya. Hahaha” Ujar
Dhebul sambil cekikikan.
“Hmmm ... Bentar ya gue mikir dulu.” Jawab
Adis.
Mengalir
sudah kejujuran-kejujuran itu dari hulu pikiran dan perasaan. Tentang apa saja
yang sebenarnya kami harapkan satu sama lain agar menjadi lebih baik lagi. Tentang
kata demi kata yang lama terpendam. Tentang persepsi yang sekian waktu
terpendam rasa segan pribadi. Tentang penyesalan demi penyesalan, impian demi
impian.
Dan
terbuka pintu-pintu itu satu demi satu
Bertamulah
aku pada ruang-ruang terasing itu
Yang
selama adanya, Cuma kamu sendiri yang tau
Tak
berdebu, tapi terasa hampa
Tak
begitu indah, tapi punya sejumlah warna
Hitam
atau putih, kadang juga abu-abu
Tiga
sekawan berbagi ruang rahasia
Serpihan
masa lalu yang terseret hingga sekarang
Dalam
pikiran, dalam kenangan
Kami
tidak bicara soal benar, kami tidak bicara soal salah
Kami
tak mau jadi hakim
Apalagi
jadi jaksa
Hanya
ingin mendengar, hanya ingin didengar
Suara-suara
parau dari ruang hampa udara
Disatukan
di bawah bentang alam
Di
bawah megah kilat mimpi dan bintang-bintang harapan
Disaksikan
ombak lautan
Dengan
mereka, saya bisa bicara apa saja
Pepatah bijak mengatakan : “Orang kaya adalah mereka yang punya banyak
hal yang tak bisa dibeli oleh uang, dan sebaliknya.” Pada malam itu saya
tau bahwa saya punya kekayaan yang tidak ternilai, saat-saat yang tak mampu
dibeli, jutaan hal yang patut disyukuri. Hubungan yang harus dijaga. Rasa yang
wajib dipelihara.
![]() |
Sarapan ala-ala ... Sumber : Azizah Photography |
Cristopher
McCandlles dalam film Into The Wild
mengatakan bahwa “Yang terpenting dalam
hidup ini adalah bukan menjadi kuat, tetapi merasa kuat.” Ada rasa sakit,
namun terhapus canda tawa. Sekumpulan manusia yang memilih untuk tidak saling
meninggalkan satu sama lain. Bertahan walau kadang kesal. Bersabar walau kadang
marah. Sederhana, tapi luar biasa.
![]() |
Selfie from behind me |
Ada
banyak cerita lain yang belum bisa saya gambarkan mengenai petualangan seru di
Geopark Ciletuh. Kisah-kisah yang akan selamanya tersimpan dalam ingatan kami.
Dimasukkan dalam ruang memori kami sendiri. Geopark Ciletuh bagi kami bukan
hanya sebuah destinasi wisata, tetapi juga sebuah destinasi hati dan perasaan. Unexpected !!!
Komentar
Posting Komentar