Your Turn, Magelang !
Tak lama dari perbincangan itu, perjalanan kami dari Bantul ke Magelang pun dimulai. Sinta melajukan motornya dengan fokus, seolah sangat menikmati jalanan Jogja yang lebar dan tanpa hambatan. Saya asik-asik saja di belakang menikmati pemandangan di kanan kiri jalan. Angin berhembus mesra, meresap sampai ke hati.
Teruntuk engkau dada yang sesak
Tak lupa jua kau, tangis yang lelah terisak
Maafkan aku di sini yang jauh melupakan kalian berdua
Karna kurindu sekali rasanya bernafas lebih lega
Ruang di dadaku melebar, terlalu luas untuk kalian kuasai
Yang belakangan menyempit, dipenuhi harapan pahit
Apa kabar dirinya ?
Yang sejak semula membawa kalian semua
Tuan yang menawariku nirwana dipenuhi eloknya aurora
Lalu aku lupa aurora hanya ada di kutub utara
Sedang aku manusia di musim panas dan musim penghujan
Maaf ...
Aku tak bisa hidup di sana, aku tak bisa hidup di sana.
But the truth is, that i miss you ... so
Galau. Saya tiba-tiba galau. Memikirkan seseorang nan jauh di sana. Dan sepertinya tak baik kalau harus dibahas juga. Yasudah, cerita berlanjut soal perjalanan ke Magelang. Gasss terus Sinta, gas teruuuusss !!!
Menjelang magrib kami sudah sampai di jalan masuk ke Punthuk Setumbu. Sebuah jalan pedesaan yang sepi dan mulai diselimuti kegelapan. Terlihat pemandangan bernuansa abu kala itu mem-filter persawahan dan perbukitan. Kami mulai harap-harap cemas ngeri kesasar. Memang sudah biasa kesasar, tapi di waktu-waktu magrib begini, dirajai sepi, rasanya bukan waktu yang tepat untuk kehilangan petunjuk jalan. Untungnya tak lama kami temui plang “Punthuk Setumbu Borobudur Nirwana Sunrise” di bagian kiri jalan. Alhamdulillah. Alhamdulillah.
Punthuk Setumbu sendiri terletak di Desa Gombong, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Sekitar 40 Kilometer dari pusat kota Jogja. Sambil menunggu Sinta shalat magrib di masjid tak jauh dari tempat masuk ke lokasi, saya tanya penginapan dekat situ ke ibu-ibu yang baru selesai mengaji. Mereka mengarahkan saya ke rumah Ibu Kadus, tak jauh dari masjid cukup 5 menit berjalan kaki.
Di Rumah Ibu Kadus
“Assalamualaikum. Benar ini rumah ibu Kadus ? saya diarahkan kesini sama ibu pengajian masjid. Katanya ibu punya tempat semacam penginepan ya ? saya Azizah dari Bogor, dan itu teman Saya Sinta. Kita mau ke Punthuk Setumbu besok pagi.”
“Iya betul mba. Bisa kok nginap sini. Semalam 100rb aja yaa.”
“Wah ga bisa kurang bu, kami masih mahasiswa hehehe”
“Kalian perempuan semua ? Cuma berdua ?”
“Iya bu.”
“Yasudah. 50 ribu aja yaa.”
“Oke bu alhamdulillah. Makasih ya buu”
Hati saya senang bukan main. Kami dapat penginapan seharga Rp.50.000 dengan kamar luas serta WC di dalam. Kasurnya empuk. Kamarnya bersih. Airnya segar ! tak lama setelah istirahat di dalam kamar. Ibu Kadus mengetuk pintu. Secepat kilat saya pun berusaha meraih gagang pintu. Di tangannya ada sepiring kue untuk kami, sekaligus pesan untuk ikut rapat tak lama lagi.
“Mba bentar lagi ada rapat dengan ibu-ibu sekitar sini soal acara Magelang Peduli Sampah. Ikut rapat yaa. Nanti kita sharing-sharing”
Walau lelah, kami tak bisa menolak. Selain itu, ini akan menjadi pengalaman spesial ikut pembahasan serius dengan warga setempat. Habis mandi, kamipun ikut bergabung.
Oh ternyata, oh ternyata. Tahukah kalian kalau mereka rapat pakai bahasa jawa asli semua ? ada sekitar 10 orang ibu-ibu sibuk bicara ini itu sedang Saya dan Sinta malah mati kutu. Andai ada tulisan terjemahan di langit-langit ruangan. Akan kami baca sungguh-sungguh meski sampai harus sambil tiduran.
Ibu Kadus yang merupakan ketua tim sepertinya melihat kebingungan di wajah kami yang terbaca jelas bak slogan mie instan di billboard pinggir jalan. Tak lama iapun memimpin pembicaraan menggunakan Bahasa Indonesia.
“Jadi gini mba Azizah dan mba Sinta, minggu depan ada acara Magelang Peduli Sampah. Kami dari tim desa sini harus wakili satu karya dari barang plastik. Macam baju gitu lo. Kalo ada pendapat soal desain dan bahan bisa dikasih tau saja sama kami semua ya.”
Oh jadi rupanya itu persoalan yang sedari tadi dibicarakan, topik yang masih terus kami coba pahami lewat gerak mata dan gerakan tangan. Tak lama kami disuruh mengoperasikan komputer di pojok ruangan untuk cari-cari referensi lewat internet. Akhirnya setelah lihat beberapa referensi bersama beberapa anggota. Diputuslah untuk membuat dress berbahan plastik hitam dan putih. Yeay !
Rapat selesai, tinggal istirahat dan besok subuh otewe ke Punthuk Setumbu. Tidur yang nyenyak ya, anak-anak.
Punthuk Setumbu Borobudur Nirwana Sunrise
Pukul 04.00 kami sudah bangun dan mulai bersiap-siap. Barang yang kami bawa hanya uang, handphone dan kamera. Saatnya pamit ke Ibu Kadus dan mulai bertrekking ria ke puncak bukit Punthuk Setumbu.
Berbekal tiket masuk sebesar RP. 10.000 yang baru saja dibeli, kami nanjak subuh-subuh kala itu. Karena sudah lama tak berolah raga, nafas pun mulai menyempit saat fisik agak dikasih tekanan sedikit. Lupa bawa minum adalah salah satu pelajaran yang bikin tenggorokan kering kerontang. Untungnya ada warung di beberapa titik. Bisa untuk istirahat beli minum atau membeli kopi.
Muka bantals ... |
20 menit nanjak santai, akhirnya kami sampai. Masih agak gelap namun pengunjung sudah ramai. Yang lokal ada, mancanegara pun tak mau ketinggalan. Saya dan Sinta mulai mengklaim spot kami sendiri demi mendapatkan pemandangan di sudut yang menarik.
Sambil menyeruput kopi yang kami beli, keindahan Punthuk Setumbu pun mulai unjuk kebolehan. Udara yang dingin menjadi selimut terbaik dari alam. Gunung Merbabu dan Merapi menjadi background panorama perbukitan berkabut dan bermahkota penampakan Candi Borobudur. Matahari mulai naik mengikuti skenario Tuhan. Aroma udara segar pagi itu ikut menyegarkan pikiran kami. Ini ga bisa disebut suasana biasa aja, ini suasana luar biasa bersahaja.
![]() |
Borobudur Nirwana Sunrise |
![]() |
Rangga dan Cinta (Merbabu & Merapi) |
![]() |
Kenalan juga sama samudera awan |
Di tengah-tengah suasana syahdu begini, mungkin hati Sinta mulai menggerutu-gerutu cantik. Mulai berandai-andai.
“Harusnya gue kesini sama Rangga-nya gue, eh malah sama elo ya Zah. Hahahah”
“Nanti kita sama Rangga kita masing-masing Sin. Amiin”
Sinta nyariin Rangga ... |
Katanya, sebelum Punthuk Setumbu setenar sekarang semenjak diangkat ke film AADC 2. Tempat ini merupakan tempat khusus (sedikit rahasia) bagi para fotografer lokal maupun mancanegara untuk mengambil gambar Candi Borobudur dari kejauhan. Malah Nicholas Saputra sang Traveler sejati yang merekomendasikan lokasi ini ke Mira Lesmana.
Gereja Ayam Bukit Rhema
Punthuk Setumbu dan Gereja Ayam diibaratkan pasangan Best Couple Destinanion di Magelang. Maka keduanya sudah satu paket dan harus sama-sama dikunjungi. Namun rupanya harga belum termasuk satu paket dari Punthuk Setumbu tadi. Kami harus bayar lagi. Kalau ga salah Rp. 5.000 per orangnya.
Gereja Ayam atau Rumah Doa Bukit Rhema bisa ditempuh berjalan kaki melewati hutan jati milik warga. Sekitar 15 menit jalan santai menurun.
![]() |
Gereja Ayam dari kejauhan |
![]() |
Nongol di buntutnya |
![]() |
Ready ? ... |
Tampak depan |
Kami sampai di Gereja Ayam dan bergegas naik ke bagian kepala yang tersohor berkat adegan Cinta dan Rangga kembali saling jatuh cinta. Jepret sana jepret sini.
![]() |
Jangan ajak-ajak diaa ... |
![]() |
Heee...pi |
Di lantai dasar |
Ketika mengunjungi Gereja Ayam, saya sempat bingung. Kok bisa ada bangunan gereja di tempat terpencil seperti ini ? di tengah-tengah warga sekitar yang mayoritas agamanya adalah muslim. Dan, kok bisa berbentuk ayam ? beda jauh dari gereja-gereja lain di luar sana.
Dan jawabannya adalah ... Gereja ayam dibangun oleh Daniel Alamsjah yang mendapat mimpi untuk membangun rumah doa di atas sebuah bukit. Pembangunannya diberhentikan sejak tahun 2000an karena kehabisan dana. Namun selain hambatan keterbatasan dana, pertentangan dari warga sekitar pun menjadi salah satu penyebab diberhentikannya pembangunan. Meski beberapa waktu kemudian, bangunan rumah doa bukit rhema sempat dijadikan lokasi pengobatan pencandu narkoba. Kini gereja ayam hanya dijadikan sebagai tempat wisata.
Karena penasaran, saya pun mencoba menyambangi ruangan bawah tanah yang ada di sana. Nuansa ruangan yang gelap dan pengap menyambut kedatangan siapapun yang berkunjung. Terdapat ruangan-ruangan kecil yang sepertinya biasa digunakan untuk kegiatan baptis umat kristen. Auranya super aneh, ga enak. Saya bergegas ajak Sinta keluar dari ruangan bawah tanah tersebut.
Akhirnyaa, destinasi kami di Magelang berhenti sampai Gereja Ayam. Kami kembali ke rumah ibu Kadus dengan jalan santai sambil menikmati desa sekitar.
Akhirnya geng Cinta lengkap juga |
Saatnya kembali ke pusat kota Yogyakarta untuk beli oleh-oleh untuk keluarga di kampung halaman.
Back to Bogor
Pukul 12.00 kami sudah sampai di Malioboro setelah mengawali perjalanan pukul 09.00 dari Kecamatan Borobudur. Saatnya memilah oleh-oleh dan wisata kuliner.
Naik becak dulu ... |
Entah kenapa, es dawet selalu jadi pilihan sempurna di tengah siang bolong. Tak lama ditemani Bakso Kering khas Malioboro yang sukses bikin mulut pegal-pegal karena teksturnya yang garing serta porsinya yang besar.
Kereta kami terjadwal berangkat pukul 5.15 namun kami sudah ada di Stasiun Lempuyangan pukul 16.00 . Sambil nunggu jadwal keberangkatan baiknya kami istirahat duduk-duduk di kursi tunggu.
Tak lama, dua wisatawan wanita asal Norwegia menghampiri saya.
“Do you speak english ?”
“Just a little bit.” (Dijawab dengan nada gugup)
Wisatawan yang belakangan kutahu bernama Wor dan Andrea mulai bercerita panjang lebar seolah saya paham betul dengan semua perkataannya. Namun meski bingung bukan main, saya masih bisa mengerti inti dari masalah yang dia alami. Bicara soal harga transportasi menuju hotel di Malioboro yang dia rasa bertarif cukup mahal. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh.
Faktanya memang betul kalau mata uang negaranya punya nilai lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai tukar negara kita. Maka tak aneh kalau tarif wisatawan luar bisa naik hingga berkali lipat jika berkunjung ke destinasi di Indonesia. Namun bagi saya, semua wisatawan punya hak untuk menawar. Terlepas ia berasal dari lokal maupun mancanegara.
Saya pikir, apa salahnya jika saya coba bantu. Akhirnya saya coba bicara dengan tukang ojek dan dia mulai merasa kesal. Pembahasan nilai mata uang menjadi topik yang sudah saya prediksi bakal keluar. Saya coba sekali lagi untuk bernegosiasi, mengingat khawatir jika memang wisatawan asing tersebut membawa uang seadanya untuk berwisata ke Jogja. Akhirnya tukang ojek mau mengurangi tarifnya sebesar Rp.10.000 . Tidak cukup banyak berkurang memang, namun menurut saya sudah cukup adil.
Percakapan saya bersama Wor dan Andrea berakhir dengan ucapan terimakasih dan sekaligus menjadi kegiatan penutup saya dan Sinta di Jogja edisi ke-4. Pintu kereta sudah dibuka dan saatnya saya dan Sinta kembali ke Bogor menuntaskan tanggung jawab menyelesaikan skripsi.
Kali ini Jogja terlalu pemurah untuk memberi kami banyak pengalaman dan kesan menyenangkan.
Jogja bukan bagi kami bukan cuma soal nama kota, Jogja adalah semua hal yang menjadi bagian dari tubuh geografisnya.
![]() |
Stasiun Lempuyangan Yogyakarta |
Terimakasih banyak untuk :
Sinta, Ibu Ane, Haris, Ibu Mistari, Ibu Kadus, Wor dan Andrea, serta kamu yang sudah mau baca ☺
Komentar
Posting Komentar