Langsung ke konten utama

Bukan Sekedar Samudera di Atas Awan (Trip Puncak B-29)


Satu bulan sudah saya menuntut ilmu belajar bahasa inggris di Pare, Kediri. Salah satu tempat paling tersohor di Indonesia untuk belajar bahasa inggris secara intens. Tentu dengan segala aktivitas yang membutuhkan cukup banyak konsentrasi dan bikin pikiran saya tegang juga hehehe. Setelah saya menyelesaikan studi selama satu bulan, saya pikir apa salahnya pergi liburan beberapa hari sebagai hadiah untuk diri sendiri setelah sebulan bergulat dengan grammar, speaking dkk.

Bulatlah niat saya untuk pergi liburan sebelum kembali ke kota kelahiran di Bogor, Jawa Barat. Setelah mempertimbangkan beberapa tempat untuk dijadikan destinasi, akhirnya puncak B-29 yang berlokasi di Desa Argosari Kabupaten Lumajang menjadi pilihan final karena jarak tempuh yang cocok untuk berlibur selama dua hari.

“ Cobalah nikmati hidupmu di setiap kesempatan yang Tuhan berikan. Sesering dan semampu yang kamu bisa.”

Let’s Start The Journey !

Berbekal bantuan Google Maps dan motor sewaan yang super kece, berangkatlah saya bersama Sisca, seorang teman sekamar sekaligus teman satu-satunya dari Kota Bogor. Perjalanan kami mulai pukul 06.00 WIB dengan rute Pare – Jombang – Mojokerto – Pasuruan – Bangil – Probolinggo – Lumajang – Senduro – Argosari. Senang sekali karena kondisi jalan yang mulus tanpa macet membuat keberangkatan kami terasa menyenangkan walau dengan jarak tempuh yang cukup jauh.

Memasuki kabupaten Probolinggo, si ganteng Mahameru mulai menampakkan keperkasaannya, bagai lukisan berwarna lembut dihiasi nuansa langit biru serta sedikit debu polusi, membuat kami semakin yakin jarak tempuh sudah semakin dekat.

Unpredictable Fan, Hehehe.

Pukul 11.45 WIB sampailah kami di Desa Argosari, udara dingin pun perlahan mencari celah untuk memeluk tubuh yang mulai kelelahan setelah menempuh perjalanan selama berjam-jam. Sayangnya, jarak menuju puncak B-29 masih membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Ketika sedang menikmati nuansa perbukitan yang dihiasi kabut berarus cepat, tiba-tiba datanglah ‘fans’ dadakan yang mengikuti perjalanan kami. Dua orang pria paruh baya dengan motornya koplingnya masing-masing. Tampak sebuah kain sarung bercorak khas melingkar miring di tubuh mereka,

Oh pasti penduduk setempat.” pikirku.

“Mbak, ojeg mbak. Ke atas ndak bisa lho motor matic kaya gini, ndak bakal kuat”. Ucapnya dengan logat khas Jawa.

“Ga apa-apa pak, kita belum butuh ojeg. Makasih ” ujarku.

Kondisi jalan di desa Argosari memang berkelok dan menanjak namun jalanan masih beraspal halus dan nyaman untuk dilewati oleh motor matic. Meskipun sudah menolak, kedua pria tadi tetap mengikuti perjalanan kami hingga kami putuskan untuk menepi di sebuah mushola sambil menunaikan ibadah shalat dzuhur. Mereka terus meyakinkan bahwa kami membutuhkan jasa ojeg karena perjalanan akan semakin menantang dan kami pasti kewalahan jika menggunakan motor matic. Harga Rp. 150.000 per-orang pulang pergi pun ditawarkan. Katanya bukan harga resmi, kalau harga resmi bakal lebih mahal lagi. Berbekal nekat dan memang kami tidak menyediakan budget untuk jasa ojeg maka kami tetap menolak. Meski begitu, kedua bapak tadi tetap anteng menunggu kami di depan mushola. Saya pikir kita perlu pakai cara lain agar mereka mau pergi.

Pak mohon maaf sebelumnya. Saya ga enak sama bapak kalo ditungguin kayak gini. Kita memang belum tau kondisi jalan kayak gimana. Tapi kita mau coba sendiri dulu pak semampunya. Jadi saya minta nomor HP bapak aja jadi kalo ada apa-apa kita bisa
 telpon bapak buat pesan ojeg. Nanti kalo kita butuh pasti ditelpon.” Kataku.

Oh gitu ya mbak, yaudah kalo gitu”. Jawabnya sambil menyebutkan nomor telepon.

Akhirnya kami bisa bebas dan melanjutkan perjalanan dengan tenang. Tujuan kami sama-sama baik sebenarnya. Namun kami juga sama-sama punya pilihan, hehehe.

Semakin dekat menuju lokasi kondisi jalan memang semakin berkelok dan semakin sempit. Tak lama kami memasuki jalanan di area perkebunan warga dengan kontur jalan dari batu bata. Pemandangan nan luar biasa khas perkebunan sayur yang menjulang sampai ke puncak-puncak bukit pun menyambut kedatangan kami. Seperti memandang sebuah lukisan raksasa 3 dimensi. Indah sekali.

Perkebunan Warga di Desa Argosari
Sumber : Dokumentasi Pribadi (AzizahPhotography)

Bunga di Tepi Jalan, Alangkah Indahnya ...
Sumber : Dokumentasi Pribadi (AzizahPhotography)
Lokasi pun semakin dekat dan masuklah kami ke tempat administrasi wisata puncak B29, dengan biaya Rp. 10.000 per-orang akhirnya kami resmi jadi pengunjung wisata puncak B29. Rencana kami adalah menginap dengan menyewa tenda di sekitar daerah tersebut. Kami pun mencari informasi dari penjaga tiket soal penyewaan tenda. Terkejutlah kami dengan harga sewa tenda di puncak B29 yang 10 kali lipat lebih mahal dari harga sewa tenda pada umumnya.

Harga tersebut tentu dengan fasilitas berbeda. Pengunjung hanya tinggal masuk tenda yang sudah terdapat alat masak di dalamnya. Kami tetap ragu dan akhirnya memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan dan membicarakan soal dimana kami harus menghabiskan malam nantinya.

Setelah tempat administrasi kami lewati, jalanan mulai semakin curam hingga sesekali saya harus turun agar motor bisa berjalan naik hingga akhirnya sampai di puncak B-29. Cuaca cukup cerah saat itu, namun tak lama kabut berlomba-lomba mulai menutup panorama yang sedari tadi menemani perjalanan. Kontur jalan yang terdiri dari susunan bata dengan lebar sekitar 2 meter yang diapit oleh tebing dan lembah perkebunan warga menjadi karakteristik jalanan menuju puncak B-29. Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit dari pintu masuk, sampailah kami di puncak B-29 Lumajang.

Sesampainya di tempat parkir, kami langsung disambut hamparan savana, perbukitan dan gunung Bromo yang berada di bawah kami. Harus saya akui, ini adalah tempat parkir dengan pemandangan paling indah yang pernah saya temui. Tiada duanya. Terlihat jalan setapak berupa garis-garis berkelok dari kejauhan. Di mata saya, pemandangan di bawah puncak B-29 seperti sebuah peta raksasa. Mengagumkan.

Kawasan Puncak B-29
Sumber : Dokumentasi Pribadi (AzizahPhotography)

Teman Baru Dari Suku Tengger

Saya bersama Yulia
Di atas puncak B-29 terdapat banyak tenda warung berjejer menawarkan aneka minuman dan makanan. Cocok sekali untuk beristirahat makan dan minum sambil menikmati pemandangan kabut hilir mudik menari bersama udara. Tenda yang dibicarakan penjaga tiket berjejer nan rapi di atas puncak B-29. Terlihat beberapa pengunjung sudah menyewa tenda. kami pun berjalan santai sambil menikmati pemandangan. Tak lama, penduduk setempat terdengar menyapa kedatangan kami. Seorang wanita remaja berusaha membuka obrolan.

“Nan dhi mba ?” 
“Maaf mba saya ga ngerti bahasa Jawa. Itu artinya apa ya ? hehe” 
“Dari mana mba ?” 
“Oh, kami dari Bogor mba. Mba asli sini ?”
“Nje mba, saya jaga warung di sini. Itu warung saya.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah warung yang berada tepat di belakang kami.
“Perkenalkan mba saya Azizah dan ini teman saya Sisca.”
“Saya Yulia mba.”

Percakapan kami pun berlangsung cukup panjang dengan Yulia. Kami menanyakan soal penginapan di daerah puncak B-29 yang ternyata ia pun kurang mengerti soal sistem penginapan di sana. Tak lama yulia berinisiatif menawarkan kami untuk menginap di rumahnya. Saya awalnya ragu dan enggan karena merasa takut merepotkan.

Namun Yulia mengaku senang jika punya teman ngobrol di rumah karna kerap merasa kesepian. Apalagi kami sama-sama perempuan, bisa berbagi banyak hal katanya. Akhirnya kamipun bersedia menginap di rumah Yulia, seorang remaja yang mengaku sebagai keturunan suku tengger. Di satu sisi, memang bisa hemat biaya juga sih hehehe.

Keramahtamahan Tuhan tersedia di mana saja
Unlimited
Menyebar di setiap milimeter luas bumi bahkan di antara celah-celahnya
Belilah kembali dengan keramahan
Jangan lupa ditambahkan garis demi garis senyuman
Lalu kau belah guratan-guratan kesempatan itu
Kemudian nikmati dan tuailah secukupnya

Warung di sekitar puncak B-29 rata-rata bukanlah warung 24 jam. Warung Yulia pun ditutup pukul 3 sore dan kami ikut pulang ke rumahnya. Dengan lihai Yulia pun memimpin perjalanan berkelok dengan motor giginya yang kelihatan tangguh. Perjalanan dari puncak B-29 sampai ke rumah Yulia memakan waktu sekitar 20 menit. Kabut perlahan mulai turun menyelimuti perjalanan kami dengan udara dingin khas pegunungan. Udara di rumah Yulia pun sama dinginnya. Kami langsung di arahkan ke dapur karena ada tungku perapian di sana.

Kami bisa menghangatkan diri sambil bercengkarama dan memasak makanan bersama. Saya pun bertugas mengiris kubis yang nantinya akan Yulia olah menjadi tumisan. Kata Yulia, penduduk setempat di sekitar wilayah puncak B-29 hampir setiap hari makan sayuran hasil dari kebun sendiri. Sampai bosan terkadang. Sehingga jika ada pesta perkawinan, sama sekali tidak ada sayuran menampakkan diri di meja hidangan. Fakta yang cukup menarik juga ya hehehe.

Jadi Guru Les Dadakan.

Malam pun tiba, udara semakin dingin namun percakapan kami semakin hangat. Setelah kenyang menyantap tumis kubis segar buatan yulia yang enak sekali, kami pun bercengkrama banyak hal. Yulia meminta kami mengajarinya bahasa Inggris karena ia mengaku kerap kali bingung kalau ada wisatawan asing berkunjung ke warungnya. Mati kutu katanya. Meskipun kemampuan bahasa inggris kami  masih harus banyak dikembangkan, saya pikir tak apa jika hanya mengajari ungkapan dasar. Materi dasar bahasa Inggris pun kami bagi semampunya. Tawa seringkali meledak melihat cara pengucapan bahasa Inggris logat Jawa khas Yulia. Malam yang indah bersama seorang teman baru dari suku tengger semeru.

What is your name ?
Kau ucap jadi wat is yaur na me’
Nice to meet you
Kau ucap jadi ni ce’ to met yau ...
Yulia muda berbicara bahasa lain bangsa
Tak lupa logat Jawa senantiasa selalu ikut terbawa
Bahasa itu bukanlah rumah kita, Yulia
Melainkan seorang  tamu yang mulai jadi penghuni lama

Indahnya Samudera Awan Puncak B-29

Pukul 4 pagi kami bergegas mengejar tujuan utama, menikmati samudera awan khas puncak B-29. Perjalanan begitu gelap karena tidak ada lampu jalan yang membantu penerangan sehingga hanya bisa dibantu lampu kendaraan. Dari kejauhan mulai tampak guratan garis jingga mulai mewarnai pekatnya langit desa Argosari. Tanda bahwa pagelaran matahari terbit negeri di atas awan puncak B-29 akan segera dimulai. Genderang semangat mulai berbunyi nyaring di dalam diri.

Sesampainya di puncak B-29, Yulia bergegas membuka warung karena suasana mulai ramai didatangi pengunjung. Yulia tidak bisa ikut serta menikmati matahari terbit bersama kami karena punya tanggung jawab melayani pembeli. Kami berjalan sekitar 5 menit menuju dataran yang lebih tinggi demi mendapat pemandangan yang paling sempurna. Meskipun langit masih cukup gelap, samar-samar terlihat gumpalan samudera awan mulai naik ke permukaan. Seperti ombak lautan yang membeku di atas udara. Saya pun bergegas mengeluarkan kamera DSLR Canon yang selalu setia menemani perjalanan saya.

Bagiku, fotografi adalah salah satu cara membekukan keindahan dengan cara yang cukup manis untuk dikenang.

Samudera Awan Puncak B-29
Sumber : Dokumentasi Pribadi (AzizahPhotography)


Memandang Peta Raksasa
Pagi yang buta perlahan mulai terang disinari sang matahari. Namun pagelaran samudera awan puncak B-29 masih terus berlangsung. Sepertinya sang aktor memang belum puas mempertunjukan kebolehannya. Mahameru pun ikut ambil bagian. Keperkasaannya terlihat jelas menampang, bak sutradara teater alam yang mengawasi jalannya acara.

Samudera Awan Puncak B-29
Sumber : Dokumentasi Pribadi (AzizahPhotography)
Hampir semua pengunjung terlihat asik menikmati pagelaran ini dengan caranya masing-masing. Ada yang sibuk berfoto, minum kopi sambil bercengkrama, hingga menjelajah bagian demi bagian puncak B-29.

Sebuah lagu indah tak sengaja diputar dalam kepala saya. Lagu berjudul puisi alam dari Fourtwnty mengisi ruang pikiran.

Rebahkan lelah tubuh
Di tempat tinggi tak berpenghuni
Lupakan sejenak masalah duniamu
Lembut sang awan kan menyambutmu

Bermimpi ku berada
Di tempat indah yang tak terjamah
Hanya ada aku, dan teman-temanku
Mimpi-mimpi tak seperti mimpi

Bahagia . . .
Bahagiaku cukup sederhana 
Tak terhingga
Sekalipun harta dan tahta
Tak sanggup membayarnya

Bercanda dan tertawa 
Berbagi apa saja yang ada
Tak terpikir dunia
Tak peduli juga apa yang ada di bawah sana

Pejamkan mata jiwa
Alam indah pengahantar tidurku
Memuji karya-Mu lewat kalimatku
Dengarkanlah puisi alamku
Dengarkanlah puisi alamku ...

Back to the Real World

Setelah puas menikmati keindahan puncak B-29, kami bergegas menuju warung Yulia untuk menikmati sarapan sambil menceritakan keindahan alam yang baru saja kami saksikan. Namun sayangnya, kami tak bisa berlama-lama bercengkrama dengan Yulia karena harus mempersiapkan kepulangan menuju Bogor di Kediri. Kamipun mengabadikan foto bersama sebagai bentuk kenang-kenangan. Rasa haru mulai menjalar di dalam hati karena harus segera pamit pulang.

Saya pun memberikan beberapa aksesoris kesayangan sebagai pengingat pertemanan kami. Balasan yang tidak seberapa di banding dengan sebongkah kepercayaan yang ia berikan. Tentang seorang perempuan remaja yang rela menerima orang belum dikenal makan dan menginap di rumahnya. Tentang kebaikan yang ia tuangkan tanpa berharap balas, tanpa berharap budi.

Yulia tak segan menganjurkan kami kembali menginap di rumah Yulia jika suatu hari nanti kembali mengunjungi desa Argosari. Keramahtamahan yang tak akan mampu diukur pakai materi. Rasa haru pun mulai kami rasakan karena harus meninggalkan Yulia, seorang teman baru yang terasa seperti kawan lama. Perjalanan wisata ke puncak B-29 menurut saya tidak hanya menjanjikan keindahan alam, namun juga menyajikan keindahan hati para manusianya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

MAHAMERU, MAHASERU! - Bagian I

Kisah perjalanan Mahameru sudah terbingkai pada Agustus tahun 2016, hampir dua tahun sampai cerita perjalanan ini dibuat. Namun bagi saya tak ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah cerita selama setiap kenangan yang menyertainya masih tersimpan rapih dalam laci-laci ingatan. Kini saatnya membongkar arsip-arsip itu dan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, mentransformasikannya ke dalam bentuk tulisan. Selamat datang di alam teater pikiran dan selamat menikmati segala hal yang tersedia. Apa adanya. Bukan Pendaki 5cm. Saya sempat tergelitik ketika melihat desain kaos-kaos traveler di instagram yang bertuliskan “Bukan Pendaki 5cm.” Pemahaman akan tulisan tersebut luas sebenarnya. Siapapun yang membaca bisa saja punya persepsi yang berbeda-beda. Bisa saja menggambarkan makna “Gue naek gunung bukan karena pilem 5cm lho”, atau   “Cara gue naek gunung ga kayak pendaki pilem 5cm tau”, serta banyak pemahaman lain yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Saya sendiri ?