Langsung ke konten utama

Melarikan Diri ke Lokasi Syuting AADC 2 (Part II)


Ride a Creativity !

Satu jam kemudian, tubuh kami berdua sudah ada di kawasan Alun-alun Kidul. Dari Malioboro cuma butuh waktu sekitar 15 menit menaiki sang kuda besi. Ramai malam itu. Muda mudi lokal maupun luar kota asyik berkumpul bersama orang-orang kesayangan. Mereka melebur jadi satu, membekukan sang waktu. Sedang kami cuma terpaku memandang objek unik yang berhasil mencuri perhatian.

“Sin liat noh banyak mobil-mobilan yang nyala gituh. Cobain yuk cobain haha.”

“Ih lucu-lucu-lucu. Ayok tanya tuh si bapanya berapaan sewanya.”

Foto sama mobil-mobilan
Harga Rp.25.000 untuk dua putaran alun-alun harus kami setujui demi bisa naik mobil-mobilan itu. Sebetulnya, itu adalah sepeda modifikasi yang di-cover menggunakan kerangka mobil dengan garis-garis lampu yang menyala di setiap sisinya. Mengendarainya pun harus dengan cara digoes. Saya yang goes sampai dua putaran penuh. Ditawari gantian berkali-kali, Sinta kekeuh tidak mau hahaha.

Sepeda berkerangka mobil
Kreatifitas selalu berhasil menjadikan hal-hal biasa jadi luar biasa, begitulah kira-kira.
Selesai coba-coba. Kami bingung mau kemana lagi. The Next Destination sebetulnya Candi Ratu Boko di daerah Sleman. Tapi masa mau pergi ke sana malam-malam begini ? tanya-tanya soal penginapan rata-rata seharga Rp. 300.000 semalam. Padahal waktu itu jam sudah menunjukan pukul 10 dan kami berencana pergi setelah subuh ke Sleman. Biaya yang terlalu sayang untuk dikeluarkan dengan rentang waktu menginap yang sangat singkat. Akhirnya kami putuskan untuk naik motor santai ke arah Sleman sambil cari penginapan murah di perjalanan.

Ternyata mencari penginapan di luar kawasan pusat kota Jogja susah-susah gampang. Tak terasa kami sudah sampai di kawasan dekat Candi Prambanan. Entah itu rute yang benar atau salah kami mulai malas untuk peduli. Badan terasa lelah, mata mulai mengantuk.

“Sin berenti di POM Bensin depan. Kita istirahat sambil shalat Isya. Ini udah hampir tengah malem.”

“Iya Zah gue juga mulai capek nih. Kita kesitu yaaa.”

Awal niat hanya untuk istirahat sebentar. Tapi pikiran saya mulai fokus pada mushola di POM tersebut. Pikiran ekonomis saya mulai jalan tanpa hambatan. Setelah diskusi dan Sinta setuju-setuju saja, saya beranikan diri izin ke petugas POM untuk menginap di mushola. Alhamdulillah, dia mengizinkan saja asal motor yang terparkir di depan mushola tak akan jadi tanggung jawab mereka.

Sleman dan Candi Ratu Boko

Pukul 4 dinihari, kami sudah bangun dan bergegas mandi membersihkan diri dan dilanjut shalat subuh. Pagi itu bisa saya katakan tak ada dingin-dinginnya. Biasa saja. Mungkin lagi musim kemarau juga.

Habis shalat subuh kami bergegas pergi menuju Kabupaten Sleman. Kali ini, Sinta ambil bagian mengendarai sepeda motor. Saya santai saja duduk di belakang sambil menikmati suasana kota Jogja sebelum matahari masuk kerja. Angin tak hentinya seliweran dan membuat kerudung terbang kemana-mana. Membuat kami lama-lama harus mengakui bahwa udara mulai terasa dinginnya.

Akhirnya, kurang dari satu jam perjalanan lancar tanpa hambatan membawa kami ke depan pintu masuk kawasan Candi Ratu Boko. Pukul 5 lewat kala itu. Kami tau bahwa wisata Candi Ratu Boko baru dibuka pukul 6 pagi.

“Zah belom dibuka itu candinya jam segini, gimana nih ?”

“Yaudah kita cari warung sambil ngopi-ngopi dulu Sin.”

Melanconglah kami ke warung yang belakang kami tahu milik ibu Mistari. Pesan kopi dan beli jajanan yang bernama “Ranting”.

Di depan warung Ibu Mistari
“Sin, di Sleman ternyata ranting bisa dimakan yak. Subuh-subuh begini lagi. Hahaha”

“Makan tuh lo zah ampe kenyang, kapan lagi kan ? hahaha”

Suasana hangat-hangat begitu nilainya eksklusif buat kami. Saya dan Sinta ngopi sambil ngobrol-ngobrol cantik dengan ibu Mistari.

“Semalam nginep di mana to mba ? kok pagi-pagi sudah sampai sini ?”

“Kita nginep di Mushola POM bu soalnya ga nemu penginapan yang pas hehe”

“Hoalah kalo nanti malem nginep dimana ? di rumah ibu aja. Ibu Cuma tinggal berdua sama anak. Mau mba ?

“Aduh ibu makasih banyak. Kita sih seneng-seneng aja. Cuma kayaknya malam ini kami ga di Sleman mau ke tempat yang lain soalnya lusa sudah harus pulang ke Bogor bu hehe”

“Oh yaudah ndak apa, tapi kalo ke sini lagi jangan sungkan main ke rumah ibu ya mba.”

“Terimakasih banyak bu, terimakasih.” (Sekali lagi, Tuhan membuktikan bahwa pertolongan-Nya menyebar di mana-mana)

Sudah pukul 6 kurang, saatnya bertamu ke Candi Ratu Boko. Ngeenngggg ...

Dari warung kopi Ibu Mistari butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di Candi Ratu Boko. Udara dingin khas pagi hari serta pemandangan sawah di kanan kiri yang luasnya sampai hingga ke kaki-kaki perbukitan jadi pemandangan yang super spesial.

Akhirnya kami sampai dan jadi pengunjung pertama. (Yaiyalah, siapa yang bisa nyampe Candi Ratu Boko jam 6 pagi kalo bukan gembel kaya kita-kita ini Sinta ? hehehe)

Bayar tiket masuk duluuu ...
“Zah zah, yang bagian Cinta sama Rangga lari-larian sama ngobrol itu dimana si ? ntar fotoin gue di situ yak.”

“Siap Juragan ! hahaha”

Di depan gerbang yang sepi sekali ...
Serasa candi milik berdua, begitulah kira-kira. Belum ada pengunjung sama sekali kecuali kami berdua. Dari awal kedatangan, kami sudah disambut gerbang Candi yang megah dan sempat berfoto-foto ria. 

Eksis dikit boleh, kan ? hehe
Muka bantal yang nampang di kamera tak jadi masalah besar. Dari ujung ke ujung kami telusuri sampai kolam dan gua.

Sunrise di Candi Ratu Boko

Tralala ... trilili ...
Candi Ratu Boko yang terletak di Bokoharjo, Prambanan Kabupaten Sleman ini sebetulnya lebih popoler dikunjungi untuk menikmati matahari terbenam dan akan selalu ramai di waktu-waktu tersebut. Namun kami malah kebalikannya, datang kesini saat matahari mulai terbit merajai alam semesta.

Tampak depan
Sekedar informasi, bangunan candi yang terlihat rapih menurut saya hanya pada bagian gerbang candi saja. Kawasan utama candi lebih terlihat tak beraturan. Konon, Candi Ratu Boko bukanlah merupakan candi sesungguhnya melainkan sebuah keraton atau istana Kerajaan Mataram yang runtuh. Oleh sebab itu, kawasan ini juga sering dipanggil dengan nama Keraton Ratu Boko. Banyak titik yang bisa dijelajahi di tempat ini di antaranya gerbang utama, candi batu kapur, sumur suci, pendopo, kolam, hingga gua bersejarah.

Kayaknya sih tempat Cinta ama Rangga ngobrol gitu ...

Halaman Candi Ratu Boko yang adems ...

Kemana Lagi Kita ? Coba Tebak Saja

Puas dua jam penuh menelusuri Candi Ratu Boko. Kami belum tau mau pergi ke mana. Setelah kembali ke warung Ibu Mistari untuk makan dan mengambil barang yang dititipkan waktu ke candi kami diam dan masih bingung soal tujuan selanjutnya.

“Ke pantai aja mba, ga terlalu jauh dari sini kok. Pantai di daerah Bantul.”

“Berapa jam bu ke Bantul dari sini ?”

“Ya paling 3 jam aja mba kalo pakai motor.”

“Bener nih bu ? Sin gimana sin lu mau ?”

“Ayook Zaah tancaappp !!!”

Ngeenngg... 3 jam kemudian setelah melewati ratusan kilometer jalan raya pedesaan Jogja yang luasnya bukan main. Sampailah kami di daerah Bantul. Cuaca panas mulai terasa membelai, segera saya buka jaket untuk membiarkan tubuh dirasuki udara. Pemandangan kanan kiri jalanan dihampar hijaunya pepohonan dan pedesaan. Tak lupa sungai eksotis menjegat kami untuk berhenti sejenak.

Bikin adem sampai ke hati ...
Bridge the Happiness
Nunjuk ...
A Doorprize of the Journey

Kesasar mungkin sudah jadi salah satu hobi saya ketika pergi jalan jauh, tak terkecuali ke pantai Parangkusumo di Bantul. Setelah memotret sungai indah yang ga sengaja ketemu di pinggir jalan, kami kembali melanjutkan perjalanan. Terus kami susuri jalan dan untuk sampai ke pantai, harusnya saya ambil jalur lurus dan saya malah ambil ke kanan. Meski tak jauh-jauh amat, kesasar tetaplah kesasar. Dia kekeuh ga mau ganti istilah.

Eits, tunggu dulu. Tak selamanya kesasar itu buruk. Tujuan kamu bisa saja diibaratkan sebongkah perak, namun perjalanan tak terdugamu bisa saja diibaratkan tambang emas permata.

Di titik kami hendak putar balik, tiba-tiba terlihat oleh mata kami keturunan gurun sahara terpampang manis di bawah terik sang raja hari. Gumuk Pasir Parangkusumo ! kami kesasar sedikit dan ketemu dengan objek menawan yang satu ini. Luaarrr biasaaa ...

Gurun sahara ala-ala Jogja 
Sinta kesenengan bukan kepalang. Hatinya jingkrak-jingkrak. Kalau hatinya bisa kelihatan saat itu, mungkin gerakannya akan mengalahkan moshing konser Slank terhebat sepanjang masa. Air mukanya berubah jadi jauh lebih segar di tengah terik siang yang makin unjuk kebolehan. Seolah semangatnya ikut terbakar, tak sabar dia mengajak bergegas  untuk berfoto-foto ria. Let’s go !

Senyum dikit, jepret !
We are nothing ...
Weeeeetttt ...

Be yourself !

Nyari gopean yang jatoh ...
Pantai Parangkusumo

Roti lapis dari alam
Setelah puas bermandi terik matahari di Gumuk Pasir Parangkusumo, saatnya ngadem di bawah pepohonan Pantainya Parangkusumo. Melesat kuda besi kami ke lokasi yang hanya berjarak 15 menit ga pake kebut-kebutan.

Matahari kala itu tepat berada di atas kepala. Menghujani kami udara yang bikin gerah secara merata. Kami titip motor di sebuah stand penjual es sekaligus mencharge baterai kamera untuk kemudian ditinggal bersantai di pinggir pantai.

Tengah hari waktu itu kami paksakan diri menyusuri pantai mencari tempat nyantai. Ada tempat yang enak tapi udah ada yang huni. Niatnya mau masang Hammock di sela pohon pinggiran pantai, namun tak ketemu lokasi yang dimau setelah cek berkali-kali. Pohon-pohon di sana tak ada yang lolos audisi untuk digelantungi. Masih kecil-kecil dan remaja. Entah orang tua mereka merantau ke kota mana.

Kami putuskan untuk santai tiduran di sela dua pohon mungil. Tak rimbun memang, tapi cukup untuk bersembunyi dari sinar matahari. Hammock hijau yang tadinya mau dipakai bergelantung ria, berubah fungsi seketika menjadi karpet dadakan yang siap digelar.

“Sin tiduran dulu deh, tidur beneran juga gapapa. Ntar sore kita baru otewe ke Punthuk Setumbu”

“Ngantuk gue juga nih mau maen ke pinggir pantai panas beud.”

Satu jam tidur pulas di pinggir pantai jadi obat mujarab penghilang rasa lelah. Sinta matanya mulai jeli melihat sana sini. Terpaku ia pada penjual kelapa muda 20 meter di belakang kami.

“Zah kelapa noh zah, lo mau ga ?”

“Ah sin bangun tidur di pinggir pantai begini si es kelapa muda bakal jadi primadona. Berapaan sin ? Nih bawa dulu ceban”

Keajaiban dunia ke-8
Entah karena kami merasa haus dan lumayan lapar juga, tapi es kelapa yg Sinta pesan serasa menyuguhkan kenikmatan 10 kali lipat tebih tinggi dari kelapa muda biasa. Ahhhh... Surgaaa !!!
Puas bersantai di Pantai Parangkusumo, saatnya ambil motor dan cuss ke Punthuk Setumbu di Magelang. Ya, sekarang kami ada di Bantul dan nanti malam sudah harus ada di Magelang. Don’t worry, ada Sinta si pembalap sejati !

Berjalan 10 menit, sampai kami di stand es Cappucino tempat nitip motor dan charge baterai kamera 3 jam yang lalu.

“Mba sudah mau berangkat nih, jadi berapa parkir sama charge?”

“5 ribu aja mba.”

“Hah ? 5 ribu, itu parkir aja apa sama charge juga?” (Tanyaku penasaran setengah mampus)

“Udah semua mba.”

Rp. 5.000 di Pantai Parangkusumo bisa buat charge plus titip motor selama 3 jam. Ini sih ibarat belanja di Indonesia pakai dolar Amerika. Menang banyak. Heran karena terlalu murah (Ets bukan sok kaya tapi murahnya kebangetan), saya beli saja es cappucino yang dia jual. Lumayan juga buat di perjalanan. Sambil nunggu Sinta shalat ashar, kami pun sempat ngobrol-ngobrol sebentar.

“Mba asli sini ? sudah lama jualan ?”

“Iya asli sini mba, lagi nabung aja sedikit-sedikit.”

“Nabung buat apa ? buat nikah ya ? hehe”

“Kalo uang saya cukup, pengen gitu lo main ke Jakarta. Pengen liat di sana kaya gimana. Liat suasana kota besar. Kan banyak tempat rekreasinya juga katanya.”

Saya dan Sinta yang kebetulan sudah nongol agak lama mulai bingung. Kami ini orang-orang bosan keramaian kota besar yang melarikan diri ke pelosok-pelosok Jogja. Tapi di Jogja, ada manusia bosan sepinya pedesaan dan ingin menceburkan diri di keramaian kota. Dan sepertinya sudah jadi bagian dari cita-cita pula.

Manusia memang seperti itu. Mereka sibuk mencari apa yang tak mereka miliki. Mungkin lebih tepatnya, mencari diri mereka sendiri di sisi-sisi lain yang berbeda dari sekarang. Saya jadi teringat kutipan kalimat Dee Lestari dalam novel kesukaan saya Supernova (Kstaria, Putri dan Bintang Jatuh) . Ingin sekali kusampaikan kutipan ini pada gadis penjual es itu, sekaligus kepada diri saya sendiri.

Berhentilah bertingkah seperti ikan di dalam kolam yang malah mencari-cari air. Semuanya ada padamu.-Dee Lestari (Continue to Chapter III)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

MAHAMERU, MAHASERU! - Bagian I

Kisah perjalanan Mahameru sudah terbingkai pada Agustus tahun 2016, hampir dua tahun sampai cerita perjalanan ini dibuat. Namun bagi saya tak ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah cerita selama setiap kenangan yang menyertainya masih tersimpan rapih dalam laci-laci ingatan. Kini saatnya membongkar arsip-arsip itu dan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, mentransformasikannya ke dalam bentuk tulisan. Selamat datang di alam teater pikiran dan selamat menikmati segala hal yang tersedia. Apa adanya. Bukan Pendaki 5cm. Saya sempat tergelitik ketika melihat desain kaos-kaos traveler di instagram yang bertuliskan “Bukan Pendaki 5cm.” Pemahaman akan tulisan tersebut luas sebenarnya. Siapapun yang membaca bisa saja punya persepsi yang berbeda-beda. Bisa saja menggambarkan makna “Gue naek gunung bukan karena pilem 5cm lho”, atau   “Cara gue naek gunung ga kayak pendaki pilem 5cm tau”, serta banyak pemahaman lain yang tak bisa dijabarkan satu per satu. Saya sendiri ?