Langsung ke konten utama

Mencoba Pakaian Tradisional Lampung


Hai. Ini adalah Rima, Aku dan Une. Di suatu malam yang gabut ketika di Lampung kami iseng mencoba pakaian tradisional Lampung milik kader posyandu yang belum sempat dikembalikan sehabis meminjamnya untuk keperluan syuting. Kapan lagi kan bisa dapat kostum gratis dengan sukarela dipinjamkan oleh ibu yang baik hati? Hehehe.

Lampung sangat khas dengan pakaian tradisionalnya yang terkesan mewah dan elegan. Pernak-perniknya glamour serta warna dan motif kainnya berani. Motif kain yang kami pakai sendiri adalah kain Tapis. Yang asli harganya bisa sampai jutaan. Sedangkan yang nangkring di kepala kami adalah siger yang merupakan mahkota kebanggaan masyarakat Lampung, biasa juga digunakan oleh pengantin wanita di acara pernikahan. Nah, di dekat pelabuhan Bakauheni, kita akan menemukan bangunan berbentuk siger yang menjadi monumen khas Lampung. Ketika akan tiba menggunakan kapal menuju pelabuhan Bakauheni, bangunan ini akan terlihat tampak gagah menyambut kedatangan setiap pengunjung.

Oke kembali ke kostum ya. Nah, kostum yang kami pakai ini namanya kostum penari sembah atau biasa disebut tari Sembah Sigeh Penguten. Tarian sembah sendiri adalah tarian yang ditujukan untuk menyambut tamu kehormatan. So sudah pasti tarian ini selalu diletakkan di awal acara dan biasanya sebagai bentuk pembuka kegiatan. Tarian sembah relatif sederhana namun memerlukan ketenangan. Lemah gemulai para penarinya yang seluruhnya wanita sangat menonjolkan kesan feminisme dalam tarian ini.


Dokpri

Sebagai perwakilan dari persembahan, biasanya ada ratu tarian sembah yang akan berkeliling membawa kotak kecil berisi kapur sirih dan permen ke para tamu kehormatan. Para tamu dipersilahkan mengambil sesuka hati antara kedua pilihan itu. Jika ada tamu yang ingin memberikan uang ke dalam kotak tersebut, sangat diperbolehkan sebagai bentuk dukungan dan apresiasi terhadap para penari.


Dokpri

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah tarian sembah tidak boleh dilakukan 2 kali dalam suatu acara karena akan menghilangkan makna, unsur eksklusif dan kesakralannya. Pernah acara perusahaan akan menampilkan tarian ini 2 kali karena sifatnya pertunjukan budaya saja, akhirnya banyak orang yang protes ketika gladi resik berlangsung. Itu sama saja dengan tidak menghormati budaya mereka, katanya. Akhirnya kami memilih alternatif lain.

Suatu pengalaman yang menyenangkan mencoba pakaian ini. Apalagi bareng Rima dan Une, terasa seru sekali. Tapi pakaian yang kami pakai kurang lengkap karena harusnya kami pakai baju kurung warna kuning. Karena nggak cukup semua, jadinya kami putuskan pakai baju hitam saja. Yang cukup menantang adalah memakai kuku-kuku keemasan yang lancip itu, hehehe.

Dokpri
Dokpri

Komentar

  1. Halo, kak! Saya baca tulisan kakak ttg perjalanan ke Kampung Tokyo, bisa kasih informasi ga kak dimana kakak menginap? Apa Kampung Tokyo itu sendiri bisa diinapi? #MohonPetunjuk

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

Belajar Seni Melepaskan dari Gobind Vashdev Part I

Sumber foto : treindonesia Mendengarkan podcast, hobi baruku hampir setahun belakangan ini untuk mengisi waktu luang. Kadang kuputar sambil bersiap menuju tempat kerja atau sambil setrika baju, berkebun atau bahkan sambil masak. Salah satu podcast yang paling banyak kuputar adalah Podcast Inspigo : Inspiration on the Go dengan tema random mulai dari karir, percintaan, finansial dan lain-lain tapi tema kesukaanku adalah tentang Mindfulness. Podcast bagiku sangat membantu membuka perspektif-perspektif baru dan berlatih memahami ide dan sudut pandang orang lain yang mungkin bisa turut mempengaruhi sudut pandang kita. Salah satu yang paling berkesan bagiku adalah Podcast dengan narasumber Gobind Vashdev, seorang pria berdarah india yang berprofesi sebagai penulis dan pelatih self healing. Dia sebetulnya lebih senang dipanggil sebagai Heartworker atau pekerja hati. Aku tak tahu siapa dia sebetulnya. Baru kenalan dengannya 2 hari yang lalu ketika aku mendengarkan Inspigo sambil ber