Langsung ke konten utama

Karena Covid-19, Ramai Sepi Milik Bersama




Seberapa jauh dari sini
Tembok-tembok ini tak berarti
Asal kulihat senyummu hari ini
Mendengar keluhmu malam nanti

Saat semua tak jelas arahnya
Kita hanya punya bersama
Lewati curam terjalnya dunia
Ramai sepi ini milik bersama

Ramai sepi ini milik bersama
Kita sama-sama takkan kemana
Selama kau ada, aku tak apa
Apapun yang terjadi tidak apa

Melihat tawa, tangis dan isak
Mendengar kabar berbagai macamnya
Kali ini kita belajar banyak
Yang runtuh kita ulangi nantinya

Saat semua tak jelas arahnya
Kita hanya punya bersama
Lewati curam terjalnya dunia
Ramai sepi ini milik bersama

Saat terasa berat-beratnya
Ku tahu kau pun berjuang juga
Hadapi semuanya langsung di muka
Apapun yang terjadi tidak apa

Setiap hari ku bersyukur, melihatmu
Berselimut harapan Berbekal cerita
Saat semua tak jelas arahnya
Kita hanya punya bersama
Lewati curam terjalnya dunia

Ramai sepi ini milik bersama
Ramai sepi ini milik bersama
Kita sama-sama takkan kemana
Selama kau ada, aku tak apa
Apapun yang terjadi tidak apa

(Hindia – Ramai Sepi Bersama)

Sudah dua bulan Indonesia “istirahat” karena makhluk kecil bernama Covid-19. Kita semua sama-sama tahu bahwa banyak sekali hal menjadi sangat terbatas. Bumi sedang butuh istirahat namun kebanyakan manusia tak pernah mau mengalah, akhirnya sedikit “dipaksa” agar semesta bisa sedikit bernafas lega.

#dirumahaja menjadi hastag paling populer semenjak virus itu hadir. Segala jenis manusia mulai dari yang introvert hingga esktrovert mau tak mau harus berdiam diri. Mengambil jeda dari aktivitas luar yang begitu dibanggakan selama ini.

Termasuk aku. Sejak covid-19 mampir, sejak itu pula pekerjaan terhenti dan waktu lebih banyak dihabiskan di dalam rumah. Kalau dulu, aku paling bisa bertahan nggak kemana-mana hanya selama 3 hari, kalau sekarang, rasanya hari-hari ke depan tak perlu dituntut sesuai keinginan khususnya membuat jadwal ke luar.

Situasi sekarang memang tak mudah bagi banyak orang dan bukan hal adil mungkin membandingkan kesulitan antara manusia satu dengan manusia lainnya karena setiap orang menghadapi tantangan yang berbeda-beda. Namun seperti kata lagu Hindia di atas yang begitu kusuka “Saat terasa berat-beratnya, Ku tahu kau pun berjuang juga”, kita semua “dipaksa” bersatu merasakan hal yang sama, jangan merasa sedih sendirian karena di luar sana banyak yang sama-sama berjuang juga.

Aku sempat berpikir, “Manusia sepertinya sedang diminta berdiam diri sekaligus melakukan perjalanan ke dalam diri”. Kita diberikan banyak waktu untuk “istirahat” dari segala hiruk pikuk yang membuat hidup kita begitu sesak. Kita diberikan kesempatan untuk menemui hal-hal yang telah banyak “ditinggalkan”, lalu kita diberikan peluang untuk kembali ke hakikat manusia yang sebenarnya.

Kita terlalu banyak memakan obat kimia lalu covid-19 melambungkan kembali rempah sebagai amunisi “perang”. Kita begitu jorok dan malas cuci tangan sehingga covid-19 menyadarkan kita pentingnya kebiasaan yang satu ini. Kita terlalu banyak dicekoki junk food lalu Covid-19 membuat kita lebih suka makan buah dan sayuran. Kita terlalu malas bergerak kemudian covid-19 memaksa kita untuk rajin berolahraga. Dulu kita terlalu malas shalat berjamaah di masjid lalu covid-19 membuat kita benar-benar sulit melakukannya lagi dan membiarkan kita merasakan keterbatasan yang mahal itu. Kita terlalu sibuk dengan dunia covid-19 menyadarkan kita untuk kembali dekat dengan keluarga. Kita terlalu menyepelekan waktu untuk bertemu orang tua di kampung halaman sehingga covid-19 “memaksa” kita merasakan dengan sengaja untuk membuat batas yang begitu nyata.  Dan kita melangkah terlalu cepat sehingga covid-19 “memaksa” kita untuk mengambil jeda.

Makhluk kecil itu atas izin Allah membuat kita jadi banyak berpikir. Semua seolah diputarbalikan. Kini untuk menjadi teguh tak harus berjabat erat, tapi menjaga jarak. Kini cara menyayangi orang tua adalah dengan cara tidak menyentuh mereka dan tak langsung bersua. Kini definisi keren itu bukan traveling ke sana ke mari atau sibuk sana sini tapi keren itu adalah dia yang paling konsisten #dirumahaja.

Covid-19 membawa kita ke setapak jalan menyelami diri. Di antara banyaknya derita yang manusia rasakan, sejuta hikmah dari situasi ini menanti untuk dipelajari. Setelah ini, banyak hal di dunia ini yang takkan pernah sama lagi. And welcome to a new normal!

Semoga dunia lekas sembuh dan manusia lekas belajar sungguh-sungguh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur...

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar...

Belajar Seni Melepaskan dari Gobind Vashdev Part I

Sumber foto : treindonesia Mendengarkan podcast, hobi baruku hampir setahun belakangan ini untuk mengisi waktu luang. Kadang kuputar sambil bersiap menuju tempat kerja atau sambil setrika baju, berkebun atau bahkan sambil masak. Salah satu podcast yang paling banyak kuputar adalah Podcast Inspigo : Inspiration on the Go dengan tema random mulai dari karir, percintaan, finansial dan lain-lain tapi tema kesukaanku adalah tentang Mindfulness. Podcast bagiku sangat membantu membuka perspektif-perspektif baru dan berlatih memahami ide dan sudut pandang orang lain yang mungkin bisa turut mempengaruhi sudut pandang kita. Salah satu yang paling berkesan bagiku adalah Podcast dengan narasumber Gobind Vashdev, seorang pria berdarah india yang berprofesi sebagai penulis dan pelatih self healing. Dia sebetulnya lebih senang dipanggil sebagai Heartworker atau pekerja hati. Aku tak tahu siapa dia sebetulnya. Baru kenalan dengannya 2 hari yang lalu ketika aku mendengarkan Inspigo sambil ber...