Langsung ke konten utama

Tamparan di Februari



Februari tahun 2020 waktu itu baru menginjak beberapa hari. Pukul 3 pagi ketika sedang tidur nyenyak di kamar kontrakan di Lampung, handphoneku ditelpon berkali-kali. Oleh siapa? Oleh saudaraku di Jakarta. Tertera nama “Kak Fitri” beserta keterangan beberapa panggilan tidak terjawab. Namun getar tanpa suara itu berhasil membangunkanku. Kak Fitri chat di whatsapp. “Zah, Ayah masuk rumah sakit.” Terbelalak mataku melihat pesan itu, aku ingin memastikan bahwa pesan itu benar dan bukan mimpi. Selama ini Ayah tak pernah sekalipun dirawat di rumah sakit dan kabar itu begitu mengagetkanku. Tak lama handphoneku berdering kembali. Satu deringan langsung kujawab.

“Zah, tengah malam Ayah kena serangan jantung. Sekarang di rumah sakit sama A Kumar.”

“ya ALLAH beneran kak? Kok bisaaa?”

“Iya abis dari rumah temannya terus pingsan gitu aja.”

Lalu kutelpon nomor ayah yang rupanya sedang dipegang A Kumar. Telpon kualihkan jadi Video Call tak lama setelah A Kumar mengangkat. Beruntung, A Kumar sedang bersama Ayah di rumah sakit. Lalu Aa mengarahkan kamera ke arah Ayah. Hancur berkeping hatiku melihat Ayah sedang kesakitan memegang dada kirinya. Tak sanggup ia bicara dan mungkin tak sadar kalau sedang bicara denganku. Tak lama meleleh air mataku melihat Ayah merasakan sakit yang luar biasa. Itu pertama kalinya Ayah terkena serangan jantung.

“Ayaaahhhh kenapaaa ya ALLAH”. Tanyaku sambil meringis

Percakapanku dengan ayah tak berlangsung lama. A Kumar bilang, Ayah akan segera ditindak, jadi aku harus sabar dan berdoa menunggu tindak lanjut.

Kutelpon nomor mama di Bogor. Baiklah sedikit kujelaskan. Ayahku adalah pria kelahiran Jakarta dan sampai sekarang masih bekerja pulang pergi ke rumah kami di Bogor satu minggu sekali. Posisi Ayah ketika serangan jantung adalah sedang di rumah kawannya di Jakarta. Habis menghadiri selamatan.

Nomor mama aktif, tapi tak juga diangkat setelah aku telpon puluhan kali. Aku tidak tidur lagi sejak itu. Aku mengambil wudhu, shalat lalu berdoa tak henti-henti sambil sesekali mencoba menelpon mama lagi. Aku menyerah. Mama pasti sedang tertidur pulas. Lalu aku menelpon bibi pukul 5 pagi. Sambil menangis aku mengabari soal Ayah dan minta bibi ke rumah untuk mengabari mama.
Tak lama setelah itu Ibu Yaya yang merupakan ibu A Kumar sekaligus kakak perempuan Ayahku menelpon,

“Zah, Azizah mendingan pulan dulu yee temuin Ayah. Belain dah pulang dulu yeee Zah.” Ucap Ibu Yaya sambil menangis

Suara tangisnya membuat air mataku kembali banjir. Aku menangkap pesan yang sangat tidak mengenakan dari emosi yang terasa dari getar suara Ibu Yaya.

Aku mengerti Ibu Yaya baru kehilangan suaminya belum sampai 30 hari dan semacam mengalami trauma soal sakit dan rumah sakit. Luka di hatinya yang masih basah itu bertambah sekaligus terobek lagi dan itu sangat terasa.

“Iya bu, zizah memang ada niat pulang. Zizah pulang, zizah pulang.”Jawabku dengan menangis pula.

Habis subuh dan hari mulai agak terang, aku bergegas pergi ke pelabuhan untuk menyebrang menuju Jakarta. Tak banyak pakaian yang kubawa. Hanya 2 setel saja. Namun ada hal lain yang kupikirkan ketika menyiapkan pakaian, aku tak mau membawa pakaian warna hitam. Aku begitu takut melihatnya saat itu.

Di Kapal. Aku menangis sejadi-jadinya sambil duduk sendiri memandang lautan. Sesak yang paling sesak kurasakan dalam 3 tahun terakhir. Ombak berdebur dihajar mesin kapal dan berhasil menyamarkan jerit tangisku yang sesenggukan. Aku takut kehilangan Ayah. Takut sekali. Aku berdoa, bicara dengan diri sendiri lalu menangis lagi, hingga pesan masuk kembali ke whatsappku.

“Zah, Ayah ada penyumbatan aliran jantung. Harus dioperasi.”

Kembali pecah berkali lipat tangisku. Kubilang pada A Kumar, lakukan apapun yang penting Ayah selamat. Kami terus bertukar kabar selama di Kapal. Di kapal pula, aku berkomunikasi dengan mama akhirnya dan respon mama sudah pasti bisa ditebak. Kaget. Lalu bergegas mama juga menuju Jakarta.

Perjalanan Kapal yang terasa lambat jauh sekali dibanding degup jantungku yang berdebar cepat. Ayah sedang dioperasi ketika aku menyebrangi pulau. Aku berpindah menuju mushola lalu shalat dhuha meminta pertolongan kembali. Memohon dengan doa paling serius yang pernah aku panjatkan.
Sebelum Dzuhur, ayah sudah selesai dioperasi tapi masih di ruang IGD.

Singkat cerita, sampailah aku di Jakarta. Ibu Yaya menyuruhku untuk ke rumah sebelum pergi ke rumah sakit. Sesampainya di rumah aku dipeluk lalu tangis pecah kembali.

1 jam kemudian aku ke rumah sakit dan mendapati Ayah tersadar sedang duduk di tempat tidurnya. Aku datang menghampirinya dan langsung menangis. Ayah kelihatan sekali tak ingin melihat wajahku. Lebih tepatnya, tak kuat melihat anaknya menangis.

Tak lama perawat datang. Ia bilang bahwa ayah tak boleh merasakan emosi yang berlebihan dulu karena jantungnya belum stabil. Semenjak itu aku tak ingin lagi menangis di depan ayah.

“paling di sini 4 hari aja. Kalau kolesterol dan gula darahnya sudah stabil,  bisa pulang.” Kata perawat

Sesak di dadaku berkurang mendengar ucapan itu. Sudah puas aku menangis sejak subuh.

Hari-hari pun berjalan. Aku, mama dan saudaraku bergantian menjaga Ayah di rumah sakit. Aku sampai menginap dan tertidur sambil duduk. Ayah dan aku cukup banyak berbincang di rumah sakit. Aku cerita bahwa selama di Lampung aku belajar masak. Lalu Ayah juga bergurau kalau ia punya project besar yang harus dikerjakan, eh malah sakit hahaha.

Ini pertama kalinya ayah dirawat dan menjadi moment pertama kalinya pula aku menjaganya di rumah sakit. Selama ini ayah hampir selalu sehat dan selalu ada untuk keluarganya. Pola hidup ayah memang kurang baik. Ia adalah penggemar makanan berlemak juga perokok berat. Tak heran jantungnya mulai memberikan pelajaran.

“Ayah, janji ya kalau udah sembuh ayah nggak ngerokok lagi.”

“Iya janji. Kasihan sama anak-anak. Kasihan sama Aa”

Lega dadaku mendengarnya namun masih belum sepenuhnya percaya. Hanya berharap kalau itu memang terjadi.

Aku dan mama memang kerap debat soal kebiasaan ayah merokok. Aku tak senang kalau Ayah merokok ditambah merokok dekat anak-anak. Aku sungguh benci melihatnya dan kerap menegur. Lewat mama juga aku minta sampaikan bahwa sebaiknya ayah berhenti merokok. Mama sudah bosan sekali mengingatkan. Para perokok memang punya pembelaan dan idealisme yang belum bisa aku pahami hingga saat ini.

Namun aku belajar bahwa “tamparan” ini bukan hanya untuk Ayah saja, tapi untuk kami semua, sekeluarga. Untuk ayah sudah jelas hikmahnya. Namun untukku, aku menangkap satu pelajaran besar.

Sebagai anak pertama, aku harus siap sedia mengambil alih kemudi ketika ada hal terjadi di luar kendali. Selama ini ayah begitu memanjakan kami semua. Kami diberi apapun yang diinginkan selama ia mampu. Ini menjadikanku anak pertama yang juga masih bergantung pada ayah untuk beberapa hal. Aku menyadari bahwa aku tak siap sama sekali untuk kemungkinan yang lebih buruk, dan selama ini aku begitu lengah.

Ayah selalu ada untuk kami, keluarganya. Dan kami pun harus ada ketika ayah membutuhkan. Aku bisa saja memutuskan untuk tidak pulang dari Lampung. Namun percuma, aku akan bernafas sama sesaknya di sana. Tanpa Ibu Yaya telpon, aku akan tetap pulang dan ada berupaya ada untuknya.

Beruntung Ayah dan kami masih diberikan kesempatan lagi, namun pelajaran penting lainnya adalah, kita harus mulai menerima dan membiasakan diri dengan ketidakpastian. Kita harus berhenti mencoba memegang kendali atas semua hal karena ada “tangan” tidak terlihat yang sudah mengatur semuanya. Dan sesungguhnya ALLAH bisa melakukan apapun yang dikehendaki-Nya.

Aku memang bukan darah daging Ayah. Almarhum Bapakku meninggal ketika aku kelas 1 SD, lalu mama menikah lagi dengan Ayah beberapa tahun kemudian. Ayah adalah laki-laki pilihanku untuk mama di antara banyaknya pria lain yang mendekatinya. Ayah tak punya apa-apa ketika itu dibanding saingan-saingannya yang punya banyak uang dan mobil. Hati polosku ketika itu mudah saja untuk memilih, siapa yang tulus, terlihat jelas seperti aku melihat bantal dan selimut ketika menuliskan cerita ini. Ayah memang bukan ayah kandungku, namun ia memberikan seluruh cintanya dengan cara yang ia mampu dan dengan bentuk cinta yang bahkan sulit untuk aku mengerti.  Kami memang tak sering bicara yang macam-macam atau saling bertukar cerita. Bentuk cinta kami memang berbeda dari hubungan keluarga pada umumnya. Bapak dan Ayah, sama-sama pria terbaik yang ditakdirkan menjadi pemimpin keluargaku.

Alhamdulillah, sekarang bulan April. Dan ayah tak lagi merokok sejak kejadian itu. Senang sekali rasanya.

Aku tak pernah berjanji untuk selalu ada di setapak yang benar, Ayah. Akan ada hari dimana aku tersesat dan berharap tak pernah lupa jalan pulang. Namun kutahu kau adalah rumah. Mama dan adik-adik adalah rumah. Tempat terbaik dengan ucapan selamat datang yang tak pernah usang. Meski tak ada yang sempurna, keluarga kita indah apa adanya.

Komentar

  1. Tiba-tiba kepikiran videonya fiersa besari wkwkkw

    BalasHapus
  2. ArenaDomino Partner Terbaik Untuk Permainan Kartu Anda!
    Halo Bos! Selamat Datang di ( arenakartu.org )
    Arenadomino Situs Judi online terpercaya | Dominoqq | Poker online
    Daftar Arenadomino, Link Alternatif Arenadomino Agen Poker dan Domino Judi Online Terpercaya Di Asia
    Daftar Dan Mainkan Sekarang Juga 1 ID Untuk Semua Game
    ArenaDomino Merupakan Salah Satu Situs Terbesar Yang Menyediakan 9 Permainan Judi Online Seperti Domino Online Poker Indonesia,AduQQ & Masih Banyak Lain nya,Disini Anda Akan Nyaman Bermain :)

    Game Terbaru : Perang Baccarat !!!

    Promo :
    - Bonus Rollingan 0,5%, Setiap Senin
    - Bonus Referral 20% (10%+10%), Seumur Hidup


    Wa :+855964967353
    Line : arena_01
    WeChat : arenadomino
    Yahoo! : arenadomino

    Situs Login : arenakartu.org

    Kini Hadir Deposit via Pulsa Telkomsel / XL ( Online 24 Jam )
    Min. DEPO & WD Rp 20.000,-

    INFO PENTING !!!
    Untuk Kenyamanan Deposit, SANGAT DISARANKAN Untuk Melihat Kembali Rekening Kami Yang Aktif Sebelum Melakukan DEPOSIT di Menu SETOR DANA.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur...

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar...

Belajar Seni Melepaskan dari Gobind Vashdev Part I

Sumber foto : treindonesia Mendengarkan podcast, hobi baruku hampir setahun belakangan ini untuk mengisi waktu luang. Kadang kuputar sambil bersiap menuju tempat kerja atau sambil setrika baju, berkebun atau bahkan sambil masak. Salah satu podcast yang paling banyak kuputar adalah Podcast Inspigo : Inspiration on the Go dengan tema random mulai dari karir, percintaan, finansial dan lain-lain tapi tema kesukaanku adalah tentang Mindfulness. Podcast bagiku sangat membantu membuka perspektif-perspektif baru dan berlatih memahami ide dan sudut pandang orang lain yang mungkin bisa turut mempengaruhi sudut pandang kita. Salah satu yang paling berkesan bagiku adalah Podcast dengan narasumber Gobind Vashdev, seorang pria berdarah india yang berprofesi sebagai penulis dan pelatih self healing. Dia sebetulnya lebih senang dipanggil sebagai Heartworker atau pekerja hati. Aku tak tahu siapa dia sebetulnya. Baru kenalan dengannya 2 hari yang lalu ketika aku mendengarkan Inspigo sambil ber...