Langsung ke konten utama

Tentang Memotret Manusia


Hai, malam ini aku lagi pengen ngomongin soal fotografi. Bidang yang sudah cukup lama aku selingkuhi beberapa tahun belakangan. Dulu, jangan tanya tingkat kesukaanku akan fotografi, Maniak! Dan jurusan Ilmu Komunikasi yang kuambil cukup mendukung mengembangkan pengetahuan di bidang ini.

Aku mulai tertarik fotografi sejak SMA, tepatnya sejak dibelikan Nokia Lumia oleh Ayah. Kameranya yang bagus dan clear membuatku sering memotret dengan handphone yang hits di jamannya itu. Lalu, hobi ini juga yang sedikit banyaknya mempengaruhiku mengambil jurusan Ilmu Komunikasi. Di semester 3 Ayah membelikanku kamera Canon DSLR 600D untuk ngerjain tugas biar nggak pinjam terus. Wah, senangnya bukan main sampai kubawa setiap hari. Hampir tak ada sunset indah yang aku lewatkan sepulang kuliah. Koleksi foto matahariku sudah tak terhitung waktu itu. Kamera adalah mataku yang lain, begitulah aku menyebutnya. Kalau nggak bawa, dirasa ada yang kurang.

Nah karena dikenal teman-teman aku suka memotret, akhirnya pelan-pelan mulai datang job sampingan untuk memotret berbagai event mulai dari pre wedding, pernikahan, ulang tahun, acara, modelling hingga foto produk. Hobi inilah yang membiayaiku traveling selama kuliah. Di puncaknya, aku pernah menjuarai Juara 1 Fotografi Modelling di Kampus dan Juara 2 Fotografi Makanan salah satu produk oleh-oleh terkenal di Bogor. Namun, aku tak pernah benar-benar menjadikan fotografi sebagai cita-cita, hanya kesenangan jiwa saja. Kalau pun dapat job dari hobi ini, mereka yang meminta untuk difotokan, aku tak pernah memasarkan diri. Hal yang patut disyukuri tentunya.

Nah, aku mau sharing sedikit soal rasanya “pernah” jadi fotografer. Aku memang melahap hampir semua jenis fotografi, kecuali wild life photographer, namun yang paling menantang bagiku adalah Memotret Manusia.

Kenapa? Biar aku jelaskan sedikit diawali dengan kalimat yang pernah diucapkan oleh fotografer profesional Arbain Rambey ketika aku mengikuti seminarnya di Kompas tahun 2017 lalu;

“Sesungguhnya fotografi adalah soal memotret manusia, mostly. Umumnya orang salah memotret manusia, bukan karena salah teknik tapi filosofi memotret manusia itu sendiri yang disalahpahami. Memotret manusia itu bukan hanya tentang fotografi lagi, tapi bagaimana Anda memahami manusia.

Tantangan memotret manusia adalah bisa membuat dia lepas. Bukan masalah teknik, tapi soal hubungan Anda dengan modelnya. Buat dia merasa dimanusiakan, gali ekspresi dia sehingga Anda bisa dapat sesuatu yang menarik. Ekspresi menentukan karakter foto Anda.”

Nah, sudah jelas sebetulnya dari kalimat beliau, aku menggaris bawahi kalimat “Memotret manusia itu bukan hanya tentang fotografi lagi, tapi bagaimana Anda memahami manusia.”


Wadidaw ini mungkin yang bikin aku cukup greget ketika motret manusia. Di mataku bagus bukan berarti di mata client juga bagus. Di mataku cantik dan ganteng, di mata mereka mungkin senyumnya belum on sempurna. Di mataku tubunya sudah langsing, menurut mereka masih saja terlihat gendut. Skill ku dalam memahami mereka ketika itu belum sebanding dengan skill teknisku sepertinya. Sehingga di satu sesi pemotretan, tak jarang aku sampai mengambil ratusan foto lalu hanya memilih 10-20 saja yang terbaik.


Soal memahami manusia khususnya client ketika sesi pemotretan, aku belajar bahwa penting banget kita membangun chemistry dengan client. Ini bisa dibangun dengan cara banyak komunikasi sebelum pemotretan. Juga, aku biasanya suka minta instagramnya dulu sebelum hari H pemotretan, biar tahu gambaran karakter mereka. Lalu aku juga minta foto pasangannya kalau fotonya pre wedding, kalau ada foto berdua lebih bagus.


Banyak ngobrol dengan client sedikit banyaknya membuat kita paham dengan karakter mereka, maunya terlihat seperti apa, suasana apa yang mau dibangun difoto, dan sebagainya. Sedikit banyak membantu banget pas sesi dilaksanakan. Aku bukan tipe orang yang kesal kalau mereka mengulang-ngulang foto terus. Aku tak pernah membatasi jumlah foto dan mau sampai jam berapa sesi berjalan. Buatku yang penting mereka puas, sudah cukup. Soal foto prewedding, aku selalu ingat kata-kata Bang Arbain yang satu ini;

“Kalau foto wedding dan prewedding targetnya apa, kelihatan berdua dan mesra. Yang paling sulit itu bukan teknis, tapi interaksi anda ke modelnya. Mengarahkan gaya supaya indah dan enak dilihat. Foto wedding itu lebih mementingkan rasa dan keindahan. Kalau foto wedding kegiatan bersungut-sungut, itu foto gagal. Jadi itu foto yang bagus bukan warnanya keren, background-nya keren, tapi ia lupa mengarahkan ekspresi pasangannya, jadi foto wedding itu harus kelihatan indah (ekspresinya)”

Membangun rasa dengan “sengaja” juga adalah tantangan lain. Bayangin kalau dapat client pasangan yang keduanya kaku dan nggak senang foto, aku bak jadi sutradara yang mengarahkan artisnya untuk berekspresi. Namun itulah menariknya, kita ditantang untuk membuat mereka lepas, sehingga ekspresi yang tertangkap, itulah yang mereka benar-benar rasakan. Perlu diingat kalau usaha mereka juga penting, kalau hanya fotografernya yang kerja keras, pasti terasa timpangnya.

dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Kulanjut dengan kalimat Bang Arbain berikutnya ya;

“Motret manusia itu ambil kelebihannya buang kelemahannya. Kalau cowoknya lebih pendek daripada ceweknya, jangan berdiri dua-duanya karena nggak menarik, satunya duduk aja. Kalau motret manusia, kumpulkan contoh gaya sebanyak-banyaknya lalu anda tiru. Please deh nggak usah sok kreatif karena gaya manusia itu-itu aja.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Nah ini menantang banget. Hmm gimana ya jelasinnya. Nggak semua contoh gaya cocok dengan calon client kita. Tapi bukan berarti sama sekali nggak ada yang cocok. Hanya saja, tidak mudah menutupi kekurangan orang lain di foto buatku. Soal foto, manusia memang subjektif dan tantangan si fotografer untuk masuk memposisikan diri sebagai client sekaligus memahami cara pandang orang lain ketika melihatnya. Bikin model jadi sesempurna mungkin di kamera, nah seni inilah yang masih belum sempurna kupelajari hingga sekarang.



dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi



dokumentasi pribadi
Memotret manusia memang bukan lagi soal fotografi, tapi soal psikologi. Bayangkan kalau skill fotografi tidak diiringi dengan softskill pendekatan manusia, ini akan sangat berpengaruh terhadap nyawa dari foto yang dihasilkan. Dan belajar soal teknis itu mudah, tapi belajar soal pendekatan, butuh jam terbang yang tidak terbatas. Bang Arbain dengan rendah hati pernah juga bilang;

“Saya bukan pinter, cuma kebetulan saya makannya disitu jadi saya semua pernah melakukan. Jadi saya bukan pinter, saya lebih banyak motret dan lebih sering daripada Anda.”


dokumentasi pribadi

dokumentasi pribadi
Stay foolish stay hungry, yuk belajar lagi!

Komentar

  1. ArenaDomino Partner Terbaik Untuk Permainan Kartu Anda!
    Halo Bos! Selamat Datang di ( arenakartu.org )
    Arenadomino Situs Judi online terpercaya | Dominoqq | Poker online
    Daftar Arenadomino, Link Alternatif Arenadomino Agen Poker dan Domino Judi Online Terpercaya Di Asia
    Daftar Dan Mainkan Sekarang Juga 1 ID Untuk Semua Game
    ArenaDomino Merupakan Salah Satu Situs Terbesar Yang Menyediakan 9 Permainan Judi Online Seperti Domino Online Poker Indonesia,AduQQ & Masih Banyak Lain nya,Disini Anda Akan Nyaman Bermain :)

    Game Terbaru : Perang Baccarat !!!

    Promo :
    - Bonus Rollingan 0,5%, Setiap Senin
    - Bonus Referral 20% (10%+10%), Seumur Hidup


    Wa :+855964967353
    Line : arena_01
    WeChat : arenadomino
    Yahoo! : arenadomino

    Situs Login : arenakartu.org

    Kini Hadir Deposit via Pulsa Telkomsel / XL ( Online 24 Jam )
    Min. DEPO & WD Rp 20.000,-

    INFO PENTING !!!
    Untuk Kenyamanan Deposit, SANGAT DISARANKAN Untuk Melihat Kembali Rekening Kami Yang Aktif Sebelum Melakukan DEPOSIT di Menu SETOR DANA.

    BalasHapus
  2. Having been a freelance photographer for over six years, I have been fortunate enough to be involved with some very varied and influential clients. They have chosen me to represent their companies image and ideals because my work is always about ensuring a progressive aesthetic to any given campaign, with my results always standing out for the right reasons. View more of my work on my website: Tips Photography Tips Photography

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

Belajar Seni Melepaskan dari Gobind Vashdev Part I

Sumber foto : treindonesia Mendengarkan podcast, hobi baruku hampir setahun belakangan ini untuk mengisi waktu luang. Kadang kuputar sambil bersiap menuju tempat kerja atau sambil setrika baju, berkebun atau bahkan sambil masak. Salah satu podcast yang paling banyak kuputar adalah Podcast Inspigo : Inspiration on the Go dengan tema random mulai dari karir, percintaan, finansial dan lain-lain tapi tema kesukaanku adalah tentang Mindfulness. Podcast bagiku sangat membantu membuka perspektif-perspektif baru dan berlatih memahami ide dan sudut pandang orang lain yang mungkin bisa turut mempengaruhi sudut pandang kita. Salah satu yang paling berkesan bagiku adalah Podcast dengan narasumber Gobind Vashdev, seorang pria berdarah india yang berprofesi sebagai penulis dan pelatih self healing. Dia sebetulnya lebih senang dipanggil sebagai Heartworker atau pekerja hati. Aku tak tahu siapa dia sebetulnya. Baru kenalan dengannya 2 hari yang lalu ketika aku mendengarkan Inspigo sambil ber