Pagi ini aku menanam beberapa
tanaman obat di pekarangan belakang rumah. Sudah 9 bulan aku di Lampung dan
kepulanganku tak disambut tanaman sayur
apapun di halaman rumah. Meskipun begitu, aku bersyukur pekarangan rumahku
masih hijau oleh tanaman hias koleksi Ayah dan beberapa jenis pohon buah. Kebun
dan embun, adalah hal yang kurindukan selama di Lampung. Kontrakanku di sana
tak punya pekarangan luas. Ada pun pekarangan tanahnya begitu gersang dan
berpasir. Aku diberi kenikmatan pemandangan parkiran truck besar yang berjajar
persis di samping kamarku. Setiap pagi mereka menggerung, membangunkan dan
mengusir pagiku yang damai.
Sudah cukup lama aku punya
kecintaan terhadap tanaman. Mungkin sudah dari kecil. Aku sangat ingat dulu
waktu kecil pernah diajak almarhum Bapak pagi-pagi ke kebun untuk memanen
wortel, tomat dan buncis. Belum mandi, tapi begitu bersemangat. Aku masih ingat
aroma itu, wangi daun tomat berselimut embun di pagi hari. Aroma yang aku suka
sampai sekarang. Juga tanah yang gembur akibat ulahku mencabut wortel dari bumi.
Masih basah dan begitu lembab. Indah sekali rasanya.
Meski dari kecil sudah mengenal sayur, namun aku
baru menyadari ada cara pandang yang berbeda dariku terhadap tanaman dalam 4
tahun terakhir ini. Aku tak lagi memandang tanaman hanya sekedar penyejuk mata
dan sumber makanan. Lebih dari itu, bagiku mereka memberi pelajaran untuk
memaknai kehidupan.
Contohnya saja, aku menyadari bahwa
setiap tanaman punya karakteristik. Mempelajari beragam karakteristik tanaman
adalah hal yang cukup kompleks. Misal saja, tomat tak bisa terus menerus
diguyur hujan, maka buahnya akan mudah busuk. Sedangkan timun butuh banyak air,
karena kalau kekurangan, rasanya tidak begitu enak. Belum lagi dengan komposisi
tanah. Perbandingan antara tanah, sekam, pupuk dan lain sangat menentukan keberhasilan
tumbuh kembang tanaman. Soal ini, tanaman memberikan pelajaran bahwa semua
makhluk itu berbeda. Kita tidak bisa mengukur kepandaian ikan dari kemampuannya
memanjat pohon. Semua keadaan setiap manusia sekarang, adalah yang terbaik yang
harus dia terima. Setiap manusia memiliki “kenyamanannya” masing-masing. Tidak bisa
disamaratakan. Pun darimana manusia itu berasal. Komposisi “asupan”
pertumbuhannya apa saja, akan mempengaruhi perkembangan dan hasilnya.
Berkebun saat ini menjadi healing
tersendiri bagiku. Aku merasa tenang ketika menyentuh tanah dan memperhatikan
mereka di setiap paginya. Kadang aku membuka alas kaki ketika berkebun,
membiarkan kakiku langsung mengecup bumi di pagi hari. Ini semacam asupan
mental yang sangat baik bagiku. Itulah kenapa, jika diizinkan Tuhan, aku ingin
membangun rumah tangga di desa saja. Punya rumah sendiri dengan pekarangan yang
luas lalu membesarkan anak-anak bertumbuh bersama alam. Selama ada internet,
tak ada yang namanya pedalaman buatku.
Sensasi panen dan mengkonsumsi
hasil kebun akan sangat berbeda dari membeli bahan itu di pasar. Kenikmatan hasil
kebun tidak hanya terletak pada rasa makanannya, tapi proses yang kita pahami
sejak awal. Mengkonsumsi hasil kebun sendiri bagiku adalah bentuk merayakan
proses dan memberi harga terbaik dari makhluk berdasarkan sumbernya berasal.
Kata @kebunkumara, alam itu
psikologi terbaik. Mereka juga bilang bahwa manusia seperti halnya tanaman,
bertumbuh. Bukan Cuma fisik, tapi juga batin, emosi dan spiritual. Pohon tegap
berdiri bukan karena buah atau batangnya, tapi karena kedalaman akarnya. Nggak usah
tergesa-gesa. Bertumbuh, semua punya waktunya masing-masing. Yang penting
perkuat akarmu. Tenang aja, alam nggak terburu-buru tapi semuanya indah pada
waktunya kok.
Komentar
Posting Komentar