Langsung ke konten utama

Pujangga dari Aceh



Hidup gak kaya ya santai aja
Yang penting jiwa masih merdeka
Hidup gak punya cinta ya santai aja
Gak maksa gila lemesin aja
Kau harus ingat woo..o..o cuma dunia
Dan ingat woo..o..o santai aja
Sering di sakiti cuma dunia
Gak perlu ambisi santai aja
Eh dan jadi orang gila saat mimpi tak sampaikan
Dan kau merasa tak adil
Tak bisa dapatkan semua isi dunia
Kau tak perlu lihat awan hitam
Tapi jadikan patokan jiwa
Dan tenanglah pandang dasar bumi
Hingga lapisan terbawah
Nikmat mana lagi yang kini coba dustakan
Dan bila di hitung lagi tak terhingga
Cuma Dunia – SMVLL
Aku tak pernah tau lagu itu, hingga pada akhirnya aku mengenalnya dengan salah satu cara yang paling tak disangka. Tanggal 27 Juni 2019 waktu itu, subuhku dibangunkan oleh lagu ini. Lagu yang merupakan bunyi alarm seorang kawan baru yang akan tidur sekamar denganku selama 15 hari ke depan. “Hidup nggak kayaaaa ya santai aja”, nyaring sekali terdengar tanpa intro sama sekali lalu membangunkan ku dari tidur sembari bertanya-tanya, “kok ada ya alarm macam begitu.” Musik pop biasa sebetulnya, namun suara penyanyinya cukup cempreng dan membawakannya dengan nada yang cukup slenge-an. Masih mengantuk sekali ketika itu, mau ndusel-ndusel lagi nggak bisa. Aku bangun duluan sebelum yang punya hp-nya terbangun. Kebetulan handphonenya dicharge kalau malam, dan lokasi hapenya dekat sekali dengan telingaku.

Itulah alarm handphone seorang Nita Juniarti, salah satu kawan baru yang aku sebutkan tadi. Kami bertiga sekamar untuk kegiatan training sebelum pendampingan ke daerah selama 9 bulan.  Aku, Nita dan Rima. Nita wanita asal Aceh, dan Rima wanita asal Cirebon. Ada cara asyik lain dalam mengenal rima, namun kesan cara mengenal Nita bagiku adalah soal alarm itu. Mungkin saking bagusnya pesan moral dalam liriknya, ia berniat membuat semua orang langsung mendapat pencerahan di subuh yang gelap. Semoga saja, hahaha.

Nita adalah lulusan Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam yang sangat senang membaca dan menulis. Tapi pembawaannya bukan macam orang kutu buku pada umumnya. Ia tak sekedar kawan sekamar, namun kawan recehku selama pelatihan. Kata kamar-kamar di sebelah kami, mereka kerap mendengar kami tertawa sampai larut malam. Nggak jelas pula sebetulnya apa yang dibicarakan. Semakin malam, semakin halu.

Aku tak akan menceritakan proses perkenalanku dengannya atau menceritakan karakter uniknya lebih mendalam karena bagiku sulit menggambarkan homo sapiens yang satu ini. Aku hanya ingin mengabadikan ucapan-ucapannya yang begitu berkesan untukku selama kami saling berkomunikasi 10 bulan ini baik lewat lisan maupun tulisan.

1.      Perihal Hujan

“Bagaimana prosesnya hujan turun ke bumi? Dia membawa pesan langit bahwa mereka tidak pernah berjumpa meski saling mencinta dan bertatap-tatapan. Hujan adalah perantara antara langit dan bumi. Kau harus tau itu anak muda. Jadi kenapa aromanya itu semerbak dan membuat kau candu? Karena itulah cinta mereka.”- Nita Juniarti

Aku masih menyimpan videonya saat mengucapkan kalimat ini dan betapa aku bak melihat pujangga muda di hadapanku ketika itu. Alamak, puitis sekali kata-katanya. Aku masih ingat dengan jelas waktu itu menjelang sore dan hujan deras menahan kami untuk pulang di Sendalu Permaculture, Depok. Saat itu kami duduk di teras rumah sambil menanti hujan reda. Obrolan receh berganti jadi kalimat puitis. Hujan memang mendukung suasana untuk berefleksi dan membawa nuansa syahdu. Gaya bicaranya yang Aceh sekali memberi nyawa melayu dalam kata-katanya. Aku bak ada di film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dengan naskah yang penuh hikayat itu. Ya Nita, hujan memanglah perantara, aku diam-diam setuju akan itu.

2.      Perihal Belanja Pengalaman

“Kebahagiaan itu ada 3 jenis kan : materi, sosial dan spiritual. Nah, kalo soal materi kalo mau abadi kebahagiannya belilah pengalaman. Gitu kata guruku. Aku sih percaya-percaya saja. Materi, belilah pengalaman, berbagi dan sedekah. Aku sejak gaji 500 ribu dampai sekarang ada dua yang nggak lupa. Buku dan jalan-jalan.”-Nita Juniarti

Ini adalah kalimat yang ia tulis lewat chat whatsapp saat aku menanyakan pendapatnya soal komentar orang lain yang menyayangkan kita yang menghabiskan uang untuk jalan-jalan, bukan untuk menabung. Dia punya keyakinan yang sudah bulat. Tak mau pusing-pusing mempersalahkan komentar orang lain. “Namanya juga hidup, kita yang jalanin orang lain yang komentarin.”tambahnya.

3.      Perihal Rindu
\
“Rindu itu bisa ditebus dengan dua cara yaitu telepon atau ketemu. Jika hanya bilang rindu saja tanpa melakukan keduanya, itu omong kosong belaka.”-Nita Juniarti

“Selamat tidur Zah. Aku tau kau rindu aku kan? Karena rindu itu ada sebab kenangan indah.”- Nita Juniarti

Bosan basa-basi. Tegaskan saja makna rindu itu dan apa yang harus dilakukan setelah perasaan itu ada, mungkin begitulah keyakinannya soal rindu. Ini membuatku membuka mata dan memiliki perspektif baru bahwa tak ada salahnya mengungkapkan perasaan dan menebus perasaan itu selagi memungkinkan. Temuilah orangnya entah dalam bentul virtual maupun langsung. Bayar perasaan itu dengan indahnya bertukar pesan cinta dengan suara yang membawa getar emosi jiwa. Oleh karenanya, kata-kata jadi punya nyawa. Segala yang dari hati akan sampai ke hati.

4.      Perihal Kebahagiaan

“Aku ingat pelajaran sejarah kan Zizah. Terutama sejarah nabi-nabi. Secara logika rasanya para nabi itu susah kali hidupnya dan real orang baik yang selalu tersakiti kan? Namun nggak ada satupun yang aku baca menuliskan bahwa mereka nggak bahagia. Gimana menurutmu? Kufikir itulah yang namanya bahagia, melalukan sesuatu untuk masa depan (agar semua orang menyembah Allah melalui dakwah) tapi menikmati proses masa kini.”-Nita Juniarti

“Aku ingat jaman kuliah dulu waktu kami kuliah tentang filsafat. Nah, ada pertanyaan dosen yang sampe sekarang aku ingat penjelasannya. Dia tanya, “kenapa manusia butuh agama? Butuh Tuhan?” Coba bayangkan jika terjadi bencana alam pasti secara tidak sadar manusia akan menyebut Tuhannya karena dia percaya ada kekuatan lain di luar dirinya yang lebih besar. Kan ada 3 jenis kebahagiaan. Dan yang tertinggi adalah kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan spiritual itu membuat yang lainnya ikut.”-Nita Juniarti

“Uang bisa membeli kebahagiaan. Jika benar cara menggunakannya.”-Nita Juniarti

Aku tahu keingintahuannya yang besar membuatnya banyak bertanya dan menggali segala hal, termasuk hakikat kebahagiaan. Soal kebahagiaan, ia menawarkan banyak sudut pandang selama yang kutau. Lewat makna kebahagiaan dari para nabi, dari filsafat hingga realitas kebahagiaan terkait soal materi. Luar biasa!

Ia kerap menggali pemikiran orang dengan meminta pendapat. Termasuk waktu itu, ia menanyakan soal apakah sumber kebahagiaan adalah uang? Kita memang baiknya tidak bersikap munafik karena uang nyatanya bisa membeli kebahagiaan, jika benar cara menggunakannya.

5.      Perihal Cinta Pada Apa yang Dilakukan

“Anak-anak. Dunia yang selalu membuatku merasa pulang.” -Nita Juniarti

“Jika saya ke pelosok negeri lantas menghidupkan lilin untuk menerangi kegelapan, apakah setelah kepergian saya lilin itu akan tetap menyala? Sebab, secara fakta tanpa kiasan sebatang lilin maksimal tahan beberapa jam saja.” -Nita Juniarti



Karyanya banyak yang membuatku merefleksikan diri dan berpikir. Termasuk dua kalimat ajaib itu. Tentang arti rumah yang sesungguhnya tempat dimanapun hati kita berada. Anak-anak. Dan juga arti mengambil bagian dalam memberikan cahaya untuk orang lain. ia memanglah lilin yang bisa menerangi sekitarnya, namun ketika ia pergi, pilihan lilin itu tetap menyala atau tidak menjadi pilihan orang-orang itu. Kita datang hanya membantu menyiramkan minyak agar cahaya mimpi-mimpi yang sempat padam itu bisa menyala kembali.

Sebetulnya masih banyak kalimat-kalimatnya yang membuatku tertegun. Ia bak perpustakaan berjalan dan tak bisa kubayangkan jika pertemuan kami tak sebatas via sosial media saja 9 bulan belakangan ini. Aku bisa ikut belajar jadi cendikiawan dan pujangga.

Tulisan ini kubuat sebagai bentuk rasa terima kasih karena ia telah mengajakku bersama-sama melakukan tantang 6 hari menulis dan ini sudah hari terakhir. Kami membuat kesepakatan 6 hari yang lalu. Aku sudah lama tidak menulis dan rasanya menjadi sangat sulit untuk memulai. Dia telah menjadi lilin bagi “ruang kerja menulisku” yang sudah lama gelap. Tulis saja apapun yang ingin ditulis, tak usah mikir macam-macam dulu soal teknis dll, mengalir saja. Buatku, menulis tak pernah seringan ini sejak 3 tahun terakhir. Terima kasih Nita Juniarti, kini pilihanku untuk menjaga lilin yang kau nyalakan itu tetap menyala atau tidak. Doakan.

Komentar

  1. Doa terbaik untuk kita. Seperti iman, mendapatkannya semudah bersyahadat namun istiqamah di dalamnya? Butuh ribuan bahkan jutaan hingga miliyaran usaha. Semoga selalu istiqamah, menulis agar abadi.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Nasi Ketan Kuning

Dokpri Pengalaman jadi anak kost untuk pertama kalinya ketika merantau ke Lampung selama 9 bulan membuatku sehari-hari terbiasa menyiapkan makanan sendiri. Kebetulan di kosan setiap hari selalu masak karena aku dan kawan kost tak terlalu tertarik dengan menu makanan yang dijual di luar. Selain itu, hemat juga kaaann. Nah seringnya masak membuat pelan-pelan aku terdorong mencoba menu-menu baru. Salah satunya ketika diberi beras ketan oleh ibu guru. Awalnya bingung mau diapakan, akhirnya karena aku suka kunyit, kenapa tak kubikin ketan kuning saja, pikirku. Hari itu pun tiba, tapi aku tak ingin bahas tutorial cara membuat nasi ketan kuning karena infonya sudah tak terhitung di Om Google. Yang menarik untukku adalah, aku menemukan satu makna tersembunyi dari makanan yang satu ini. Begini ceritanya ... Awalnya aku membuat nasi ketan kuning sedikit terlebih dahulu sebagai tahap awal percobaan. Hasilnya? Enak tapi terlalu lembek. Pelajarannya adalah, jumlah airnya harus aku kur

Jaling, Lalapan Super dari Lampung

Kenalkan. Ini adalah Jaling. Lalapan yang katanya masih satu geng dengan jengkol dan Pete. Aku menemukan ini pertama kali di Lampung ketika diajak makan bersama oleh Kantor di sebuah rumah makan dan kedua kalinya ketika makan bersama dengan kader Posyandu. Katanya, ini adalah lalapan khas Lampung. Aku dari kecil tidak dibiasakan orang tua makan Pete dan jengkol entah kenapa, sehingga sampai sekarang aku jadi nggak suka rasanya. Teman-teman suka meledek, "Sunda macam apa kamu nggak suka makan Pete jengkol." Hahaha oke-oke emang agak nggak sesuai sama orang Sunda kebanyakan ya. Jadi nggak heran kalau aku juga nggak suka dengan Jaling ini. Waktu itu diminta nyoba oleh Kader, kuicip dengan menggigit sedikit dan rasanya ... Wow ... Lebih tidak enak dari jengkol buatku. Ditambah aromanya yang jauh lebih menyengat berkali-kali lipat. Si Jaling ini masuk daftar lalapan yang belum cocok mampir di lidahku. Tapi terlepas dari itu, aku selalu senang bertemu makanan khas yang jar

Belajar Seni Melepaskan dari Gobind Vashdev Part I

Sumber foto : treindonesia Mendengarkan podcast, hobi baruku hampir setahun belakangan ini untuk mengisi waktu luang. Kadang kuputar sambil bersiap menuju tempat kerja atau sambil setrika baju, berkebun atau bahkan sambil masak. Salah satu podcast yang paling banyak kuputar adalah Podcast Inspigo : Inspiration on the Go dengan tema random mulai dari karir, percintaan, finansial dan lain-lain tapi tema kesukaanku adalah tentang Mindfulness. Podcast bagiku sangat membantu membuka perspektif-perspektif baru dan berlatih memahami ide dan sudut pandang orang lain yang mungkin bisa turut mempengaruhi sudut pandang kita. Salah satu yang paling berkesan bagiku adalah Podcast dengan narasumber Gobind Vashdev, seorang pria berdarah india yang berprofesi sebagai penulis dan pelatih self healing. Dia sebetulnya lebih senang dipanggil sebagai Heartworker atau pekerja hati. Aku tak tahu siapa dia sebetulnya. Baru kenalan dengannya 2 hari yang lalu ketika aku mendengarkan Inspigo sambil ber